Bekerja sebagai seorang dosen sebenarnya bukanlah sebuah cita-cita. Setelah lulus kuliah S1, mimpinya adalah bekerja di kantor pemerintahan di Jakarta. Ada optimisme bahwa setiap kementerian ---zaman dulu namanya departemen--- memiliki satu bagian kerja sama atau hubungan internasional.Â
Namun, optimisme itu harus berhadapan dengan situasi yang tidak bersahabat. Kenyataan di lapangan amat berbeda dan ternyata tidak seindah impian itu. Persaingan tinggi dan sedikitnya jumlah lowongan kerja memaksa saya pulang kampung. Kembali ke Jogja saja.
Kebetulan ada lowongan menjadi dosen. Untungnya diterima dan tak terasa sudah lebih dari 20 tahun menjadi dosen. Rasanya memang sudah berada di zona nyaman dan aman.Â
Nyamannya adalah dengan usia sudah segini dan keluarga berada di Jogja, kebutuhan untuk resign menjadi sangat tidak mendesak, bahkan mencapai titik terendah.
Apa lagi yang dicari dari keputusan resign kalau akibatnya ternyata harus berjauhan dengan keluarga. Namanya berkeluarga itu ya harus berada di satu rumah yang sama, tidak berjauhan. Begitulah saran orang tua.
Rasa aman juga ada di profesi dosen ini. Bekerja di profesi ini dan berada di Jogja tentu saja memberikan suasana aman. Walaupun lalu lintas makin macet, tetap saja tidak semacet kota-kota lain. Jumlah mahasiswa makin banyak dengan bertambahnya jumlah kampus.Â
Namun Jogja tetaplah lebih "sepi" dari kota lainnya. Apalagi suasana sepi semakin menjadi-jadi di masa pandemi sekarang ini. Terlalu banyak mahasiswa yang pulang kampung, sebaliknya, Jogja menjadi apa adanya.
Godaan
Lalu, apakah tidak pernah digoda keinginan untuk resign?Â
Tentu saja godaan untuk resign itu pernah ada, tapi tetap saja resign untuk menjadi tetap dosen di kampus lain. Bukan resign berganti profesi lain.
Jika mengingat bahwa proses sebelum, pada saat, dan setelah resign juga bakal ada masalah, maka overthinking soal resign menjadi masalah tersendiri. Ketimbang overthinking berlarut, keputusan untuk resign sebaiknya dipertimbangkan ulang.
Memang ada banyak profesi menarik dan menggiurkan di luar pekerjaan sebagai dosen. Profesi atau pekerjaan itu menarik karena gaji tinggi, nama kantor, pemiliknya seorang konglomerat atau orang terkenal, dan banyak faktor semacam lainnya. Namun semua itu hanya menempatkan saya pada posisi atau situasi sebagai seorang 'bawahan'.
Lalu, apakah di dalam profesi dosen itu seorang dosen tidak mengalami situasi sebagai bawahan? Di dalam profesi dosen itu sebenarnya tidak ada posisi bawahan atau atasan. Semua dosen berposisi setara atau seimbang.
Bukan karena seorang dosen itu masih muda atau pegawai baru, sehingga dia bisa diperlakukan sebagai "bawahan" atau disuruh-suruh. Namun tentu saja tidak diminta bikin teh atau kopi oleh dosen yang lebih senior...hehehe... Setidaknya itu adalah pengalaman saya dan beberapa rekan dosen di kampus-kampus lainnya.
Sementara itu, senioritas seorang dosen ---selain ditentukan oleh usia dan lamanya bekerja di sebuah kampus--- juga ditentukan oleh gelar atau kompetensi akademiknya. Senioritas kadangkala juga ditentukan oleh networking atau jejaring dosen itu di antara para "penguasa" ilmu atau bidang lainnya.
Di sinilah, senioritas dosen itu bersifat cair. Tidak cuma ditentukan oleh usia dan lamanya bekerja, namun ada faktor lainnya.Â
Seorang dosen muda bisa dianggap senior karena alasan khusus atau tertentu. Misalnya, dosen muda yang memiliki banyak proyek penelitian dengan berbagai lembaga nasional atau internasional. Dengan situasi dan kondisi ini, dosen muda tidak bakal disuruh-suruh oleh seniornya hanya karena masih pegawai baru.
Situasi ini sangat berbeda dengan orang-orang yang bekerja, misalnya, di sektor perbankan, perhotelan, atau korporasi. Bagi mereka ini, resign biasanya perlu dilakukan untuk menaikkan gaji (penghasilan) dan posisi. Alasan lain tentu saja masih banyak dan itu bukan bahasan di tulisan ini.
Mereka ini senang dan nyaman dengan berpindah kerja dari satu tempat dan tempat lain. Itu pun wajar dan manusiawi semuanya. Tak ada juga yang melarang apalagi menghukum karena resign itu pilihan sendiri.
Kembali ke profesi dosen, suasana kerja yang cair, (ny)aman, dan setara itu yang membuat profesi dosen itu menyenangkan. Akibatnya, muncul anggapan jarang ada dosen resign di Indonesia. Meskipun pada kenyataannya, beberapa rekan dosen berpindah ke kampus lain. Â
Pada akhirnya pilihan untuk resign atau bertahan di profesi atau kantor yang sama itu bersifat sangat personal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H