Naiknya Gatot ke panggung konflik internal PD memang sedikit menambah ramai suasana gempita politik. Hal ini mengingat sebelumnya kontestasi perebutan PD hanya terjadi di antara kubu AHY dan kubu Moeldoko saja.
Namun, Gatot hanya muncul sekejap saja. Mungkin hanya sedikit waktu yang disediakan. Setelah menjelaskan kaitannya dan posisinya mendukung PD versi Cikeas, Gatot pun lenyap tanpa pengaruh politik yang jelas. Â Meskipun telah menjelaskan perbedaan sikap politiknya dengan Moeldoko, Gatot tetap saja tidak dalam posisi setinggi Moeldoko dalam berhadapan dengan AHY. Dan Gatot pun tertutup oleh babak baru dari skenario tentang baku lapor tadi.
Di luar skenario Cikeas?
Skenario awal melibatkan pemerintahan Jokowi dengan mengirimkan surat tidak berbalas sesuai keinginan PD versi Cikeas. Menteri Sekretaris Negara Pratikno telah menjelaskan dengan gamblang bahwa pemerintah tidak perlu membalas surat itu karena isinya adalah persoalan internal PD.
Skenario lain tampaknya juga tidak berjalan sesuai harapan. Hingga SBY mengadakan konperensi pers kedua tentang the good, the bad, and the ugly. Permintaan AHY meminta 'tolong' pemerintah untuk 'menertibkan' Moeldoko berujung pada upaya SBY melakukan labelisasi terhadap tindakan pemerintah yang diam seribu bahasa. Â Pemerintah tetap tidak menanggapinya. Pemerintah tetap mempertahankan posisinya berada di luar persoalan internal PD.
Upaya memprovokasi Presiden Jokowi pun tidak berbalas sesuai harapan. Presiden Jokowi seperti langgam biasanya tetap berfokus pada kerja, kerja, dan kerja. Para politisi semestinya sudah belajar mengenai perilaku politik Jokowi yang seperti itu sejak menjadi Presiden di 2014.
Kritik lunak dan, bahkan, keras, terhadap diamnya pemerintah terhadap perilaku Moeldoko pun tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Ham, Mahfud MD, menegaskan pemerintah tidak ikut campur dengan urusan PD, baik versi Cikeas maupun KLB.
Bahkan terkait dengan legalitas kedua kepemimpinan PD, Menteri Hukham, Yasonna Laoly, malah secara emosional meminta AHY dan SBY untuk menghormati sikap dan posisi pemerintah. "Kami objektif menilainya dan tunggu saja hasilnya," kata Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, melalui keterangan tertulis (Pikiran Rakyat, 9/3).
Skenario yang paling dikhawatirkan PD versi Cikeas adalah bahwa pemerintahan Jokowi akan melakukan copy-paste kebijakan SBY. Pada saat menjadi Presiden, SBY mengakui PKB-nya Muhaimin Iskandar. Sebaliknya, Presiden SBY memperlakukan PKB-nya Abdurrahman Wahid sebagai tidak legal dan harus gugur demi hukum. Dengan copy-paste kebijakan itu, maka pemerintahan Jokowi dikhawatirkan akan mengakui PD versi KLB. Ini tentu saja tidak diinginkan PD versi Cikeas.
Skenario terakhir itu tentu saja belum tentu terjadi. Pihak PD versi Cikeas dan KLB tentu saja akan berjuang keras agar pengakuan legalitas pemerintah berpihak ke salah satu dari mereka. Masing-masing pihak pasti telah memiliki argumetasi dan berbagai alat pendukung agar legalitas itu diberikan ke pihak mereka dan, konsekuensinya, pihak lain menjadi tidak legal.
Proses politik masih berlangsung dan seperti biasanya cenderung komplek, njilmet, dan tidak terduga. Entah bagaimana skenario yang sebenarnya, mana yang telah terwujud, mana yang gagal, dan mana skenario dadakan baru. Yang paling tahu skenario itu tentu saja adalah AHY dan, sang sutradara, yaitu SBY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H