Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ambyarnya Demokrasi dan Peluangnya di Myanmar

13 Maret 2021   22:28 Diperbarui: 15 Maret 2021   18:00 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puluhan ribu orang berdemonstrasi menentang pengambilalihan militer di kota terbesar Myanmar Yangon dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi, pada Minggu (7/2/2021). (Sumber: AP PHOTO via kompas.com)

Demokratisasi di Myanmar berjalan terseok-seok, bahkan dikhawatirkan telah ambyar. Upaya mengembalikan demokrasi seperti sebelum kudeta 1 Februari pun menjadi makin sulit dan kompleks. 

Meski begitu, optimisme tetap harus ditularkan kepada masyarakat dan pemerintah Myanmar agar tercapai penyelesaian damai. Dengan perdamaian di antara kedua pihak itu, demokratisasi diyakini lebih mudah dibangun di negeri itu.

Repotnya adalah kesepakatan demokratis itu telah hilang. Kelompok militer dan sipil (National League for Democracy/NLD) yang telah bekerjasama membangun demokrasi itu sejak 2010 telah berakhir secara tragis dengan kudeta militer. Kelompok militer mempertontonkan kekuasaan absolut dan dominatifnya. 

Pihak NLD, sebaliknya, seolah tidak berkutik. Tidak ada perlawanan atau penentangan keras dan terbuka dari politisi NLD dalam demonstrasi melawan militer. 

Yang terjadi adalah kelompok pembangkangan sipil melakukan demonstrasi di berbagai kota telah berlangsung hampir tiap hari setelah kudeta militer pada 1 Februari 2021. Hingga saat ini, kekerasan militer telah menimbulkan korban lebih dari 70 orang demonstran sipil. 

Suasana berbagai kota semakin mencekam. Pemerintahan militer yang berkuasa melakukan berbagai penangkapan terhadap banyak aktivis sipil. 

Sementara itu, militer juga tidak bergeming terhadap tuntutan pembebasan Aung San Suu Kyi dan para petinggi NLD. Informasi AS yang menggagalkan penarikan dana kelompok militer Myanmar di perbankan AS tidak membuat militer bergeming, namun justru makin keras menekan rakyatnya.

Tergantung pada NLD
Meskipun begitu, demonstrasi yang makin membesar itu sangat bergantung pada kekuatan partai politik NLD. Hingga sekarang, demonstrasi masyarakat sipil tidak berujung pada munculnya berbagai macam kelompok sipil yang berbasis di masyarakat atau kampus-kampus.

Selain itu, kelompok-kelompok sipil yang turun ke jalan belum menunjukkan kapabilitasnya dalam mendorong demokratisasi di jalur ekstra-parlementer. Belum ada upaya-upaya strategis dari kelompok sipil atau NLD untuk berbicara untuk mencapai kesepakatan tertentu di antara kedua kelompok itu.

Padahal, jalur parlementer tidak mungkin ditempuh untuk mewujudkan demokrasi pada saat ini. Parlemen Myanmar sebagai hasil pemilu 2020 telah dibubarkan kelompok militer pada kudeta 1 Februari yang lalu. Bahkan para politisi NLD di luar Daw Suu Kyi tidak terdengar suaranya.

Akibatnya, kelompok militer di bawah menjadi satu-satunya kelompok politik dominan di Myanmar. Setelah kudeta itu, Jenderal Min Aung Hlaing membentuk pemerintahan militer yang dipimpin oleh Wakil Presiden dari pemerintahan sebelumnya. 

Dominasi militer
Dominasi itu semakin mengeraskan kekuasaan militer untuk tidak mempertimbangkan kemungkinan membangun kesepakatan-kesepakatan politik dengan kelompok sipil atau NLD.

Tanpa NLD dan Parlemen hasil pemilu 2020, militer membentuk pemerintahan yang berkuasa pada saat ini hingga satu tahun ke depan. Salah satu janjinya adalah penyelenggaraan pemilu. Dengan kekuasaannya, militer Myanmar bakal mengatur berbagai aturan main yang menguntungkannya. 

Sistem pemerintahan dan politik Myanmar kembali ke sistem sebelum 2010. Jenderal Hlaing telah menyatakan pemerintahan dijalankan berdasarkan Konstitusi 2010. Meskipun demikian, pemerintahan militer itu tidak lagi menyertakan NLD di dalam kabinetnya. 

Peluang demokratisasi
Dalam kondisi seperti ini, kritik para aktivis demonstrasi Myanmar terhadap ASEAN sebenarnya cenderung mengurangi peluang demokrasi terbangun kembali di negeri itu. 

Perkembangan politik di Myanmar menunjukkan beberapa hal menarik. Pertama, kelompok sipil, termasuk NLD, tidak mampu mendesakkan kepentingan demokratisnya kepada pemerintahan militer. Tuntutan pembebasan Daw Suu Kyi dan pemimpin NLD tidak disetujui pihak militer.

Kedua, demokratisasi yang dibangun oleh kekuatan militer hanya akan membuka peluang bagi kudeta-kudeta selanjutnya. Militer tidak benar-benar kembali ke bangsal, tetapi selalu mengintai untuk menghancurkan demokrasi. Demokrasi cenderung mengurangi kekuasaan dominatif militer. Selain itu, terlalu sedikit pengalaman demokratisasi di dunia yang diinisiasi oleh kelompok militer mampu menghasilkan demokrasi yang stabil dan berkesinambungan.

Ketiga, kelompok sipil dan militer Myanmar tampaknya tidak membuka peluang bagi pembenyukan pakta atau kesepakatan demokratis di antara mereka. Perkembangan politik di Myanmar hingga saat ini membuktikan kecilnya kemungkinan kedua pihak bersepakat untuk berdamai dan berdemokrasi. Masing-masing pihak bersikeras membangun demokrasi, tanpa melibatkan pihak lain.

Keempat, peluang demokratisasi hanya mungkin muncul dari faktor internasional. Aktor di luar Myanmar itu harus mempunyai kemampuan menjembatani kepentingan NLD dan militer. 

Tujuannya adalah mendorong dialog demi perdamaian dan mendesain jalan demokratisasi. Hingga saat ini, ASEAN menjadi aktor internasional yang paling berpeluang menjalankan peran mediator itu, ketimbang Amerika atau China, atau bahkan PBB.

Walaupun peluang keempat menjadi yang paling mungkin ditempuh, realisasinya sangat tergantung pada persetujuan pihak-pihak yang bertikai Di Myanmar. 

Kedua pihak ---yaitu militer dan NLD--- perlu didengar pendapatnya dan harus menyampaikan kesepakatan mereka untuk meminta ASEAN melakukan mediasi untuk menciptakan perdamaian dan demokrasi di Myanmar.

Proses ini semua bukanlah sesuatu yang mudah, namun bukannya tidak mungkin terjadi atau dilakukan. Proses ini juga memerlukan waktu lama, namun insiden dadakan atau tiba-tiba bukannya tidak mungkin terjadi. 

Akhirnya proses ini harus segera dimulai agar potensi terciptanya peluang demokratisasi menjadi terbuka bagi Myanmar. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun