Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kecil Kemungkinan ASEAN dan Myanmar Saling Meng-"Ghosting"

10 Maret 2021   18:22 Diperbarui: 11 Maret 2021   16:51 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengunjuk rasa memamerkan plakat dalam aksi protes di dekat Kedutaan Besar Indonesia di Yangon, Myanmar Selasa (23/2/2021). (AP via KOMPAS.COM)

ASEAN terlalu penting bagi Myanmar. Sebaliknya, Myanmar juga sangat penting bagi ASEAN. Alasan itulah yang menyebabkan sikap ASEAN sebagai organisasi regional satu-satunya di wilayah Asia Tenggara ini dianggap tidak jelas atau keras alias lunak terhadap Myanmar. 

Sikap seperti itulah yang secara tidak langsung justru membuat ASEAN dan Myanmar ---dan negara-negara anggota lainnya--- menjadi saling membutuhkan atau tidak mungkin saling meninggalkan. Istilah kerennya, kedua pihak, bahkan, tidak mungkin saling meng-ghosting.

Pertemuan ASEAN
Apakah ASEAN diam saja atau tidak melakukan upaya apapun untuk membantu Myanmar mengatasi krisis politik domestiknya? Tidak mungkin seperti itu. Kenyataannya, sebuah pertemuan informal para Menteri Luar Negeri (Menlu) se-ASEAN telah diadakan pada 2 Maret lalu. Para Menlu ASEAN bertemu secara khusus untuk membahas kudeta dan krisis politik di Myanmar.

Pertemuan merupakan yang pertama diselenggarakan ASEAN sejak militer Myanmar menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Pertemuan ini menyusul pembicaraan segitiga di Thailand pada Rabu 24 Februari, antara Menlu Thailand Don Pramudwinai dan Menlu utusan junta Myanmar Wunna Maung Lwin.

Dari pertemuan para menlu itu, Ketua ASEAN (2/3) memberikan pernyataan penting. Pertama, ASEAN mengimbau semua pihak terkait untuk mencari solusi damai, melalui dialog konstruktif dan rekonsiliasi untuk kepentingan masyarakat.

Kedua, ASEAN prihatin atas situasi di Myanmar dan meminta semua pihak untuk menahan diri dan tidak melakukan kekerasan lebih lanjut dan siap untuk membantu Myanmar secara positif, damai, dan konstruktif."

Pernyataan itu menimbulkan dua interpretasi berbeda mengenai sikap ASEAN. Organisasi regional se-Asia Tenggara ini sebenarnya mendukung atau menolak pemerintahan militer Myanmar yang berkuasa pada saat ini? Atau apakah ada pertimbangan lain mengenai sikap seperti itu?

Akibatnya, pertemuan ASEAN itu mendapat kritik keras dari kelompok sipil di Myanmar. Mereka menganggap pertemuan itu memberikan legitimasi kepada perwakilan junta militer Myanmar. Mereka juga menuntut ASEAN melibatkan pihak internasional untuk menekan pemerintahan militer Myanmar.

Dukungan
Keanggotaan ASEAN berbasis pada pemerintah. Anggota ASEAN adalah pemerintahan di sebuah negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, kecuali Timor Leste. 

Setiap negara anggota ASEAN pada umumnya memiliki sistem politik yang secara teratur memilih pemimpinnya pada periode waktu tertentu. Perkecualian biasanya muncul di Thailand dan Myanmar. 

Sependek pengamatan saya, selama ini ASEAN tidak pernah menyatakan penolakan terhadap pemerintahan yang ada di sepuluh negara anggotanya itu.

Selain itu, keanggotaan ASEAN  juga tidak berkaitan dengan sistem politik atau ekonomi yang dianut negara anggotanya. Hingga saat ini, ke-10 negara anggota ASEAN memiliki sistem politik yang berbeda-beda. 

Dari Indonesia yang sistem politiknya paling terbuka hingga Kamboja, Laos, Vietnam yang paling tertutup. Hal yang sama juga terjadi pada sistem ekonomi ke-10 negara anggota ASEAN yang berbeda.

Yang pasti, keanggotaan ASEAN sangat berbeda dengan keanggotaan Uni Eropa (UE). ASEAN lebih banyak diisi oleh perbedaan-perbedaan anggotanya, sedangkan UE malah sebaliknya. 

Sebuah negara harus memenuhi berbagai macam syarat yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota UE sebelumnya. Itu yang membuat Turki mengalami kesulitan bergabung dengan UE, walaupun kontroversi lain juga ada berkaitan dengan gagalnya negara itu menjadi anggota UE.

Dalam kasus Myanmar, maka ASEAN mendukung siapa pun yang berkuasa di sebuah negara. Tentu saja dukungan tersebut dibungkus dengan bahasa-bahasa diplomatis. 

Lalu, apakah ASEAN mendukung kudeta militer di Myanmar? Hingga saat ini ASEAN tidak pernah mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap kudeta militer itu, baik secara langsung atau tidak langsung maupun secara terbuka atau tertutup. 

Semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, telah memberikan selamat kepada Aung San Suu Kyi atas kemenangan NLD pada pemilu November 2020. 

Sebaliknya, ke sembilan negara anggota ASEAN tidak memberikan selamat kepada Jenderal Hlang Mint Hlaing yang memimpin kudeta pada 1 Februari lalu. 

Constructive engagement
Tugas utama ASEAN adalah mengajak siapa pun yang memerintah untuk berpartisipasi secara aktif di organisasi regional itu. Constructive engagement menjadi konsep utama untuk tetap mengajak negara-negara yang mengalami krisis untuk tetap menjalin komunikasi dengan negara anggota lain di ASEAN.

Buktinya adalah pertemuan segitiga secara informal antara tiga menlu dari Thailand, Myanmar, dan Indonesia di Thailand. Pertemuan itu merupakan bagian dari upaya diplomasi ulang-alik (shuttle diplomacy) Menlu Indonesia Retno Marsudi. Tujuannya adalah untuk memelihara komunikasi dengan Myanmar, mengumpulkan fakta perkembangan terakhir, dan memetakan kemungkinan-kemungkinan peluang perdamaian dari krisis politik di Myanmar. 

Melalui contructive engagement seperti itu, ASEAN ingin negara yang mengalami krisis tetap memiliki forum bersama untuk menyampaikan pendapatnya. Negara itu tidak (merasa) dikucilkan di ASEAN atau di Asian Tenggara.

Dalam kasus negara-negara CLMV (Cambodia, Lao, Myanmar, dan Vietnam), ASEAN sangat berhati-hati agar sikapnya tidak membuat keempat negara itu lebih mendekat ke China. Faktor China ini kemungkinan besar menjadi salah satu pertimbangan utama agar Myanmar tetap memberikan akses informasi kepada ASEAN dan peluang menciptakan perdamaian.

Selain itu ---ini yang utama--- ASEAN tidak bisa secara langsung dan terbuka mengeluarkan kecaman, baik keras maupun lunak, kepada Myanmar. ASEAN terikat pada prinsip non-interverence yang telah disepakati bersama oleh ke-10 negara anggotanya. 

Pelanggaran terhadap prinsip itu dalam menyikapi sebuah krisis politik di sebuah negara anggota ASEAN akan berimplikasi pada pelanggaran serupa terhadap krisis lain. Potensi-potensi risiko ini yang selalu dicoba dihindari oleh ASEAN dan negara-negara anggotanya hingga saat ini. Jika hal itu terjadi, maka stabilitas regional kawasan ini dapat terganggu.

Karena sikap itu, ke-10 negara anggota ASEAN bisa bersatu hingga saat ini. Ketimbang organisasi regional lainnya, ASEAN dikenal sebagai satu-satunya organisasi regional yang negara-negara anggotanya relatif jarang terlibat saling konflik. Kalaupun ada, konflik-konflik itu bisa diselesaikan secara bilateral. 

Pada beberapa konflik, ketika ada eskalasi konflik maka negara-negara anggota lainnya mencoba membantu mencari penyelesaian. Konflik pun bisa mereda, walau untuk sementara waktu. Konflik perbatasan Thailand dan Kamboja menjadi salah satu contohnya. Konflik mereda, tapi belum selesai secara tuntas.  

Tergantung Myanmar
Upaya mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik sedang diupayakan ASEAN. Beberapa pertemuan ASEAN mengindikasikan keseriusan dan kemauan ASEAN untuk membantu Myanmar. Sebaliknya, kehadiran Menlu Myanmar juga perlu diapresiasi. Kehadirannya merupakan bentuk keinginan dari pemerintahan militer Myanmar untuk mendorong peran ASEAN.

Namun demikian, seperti kebanyakan konflik lainnya, peluang perdamaian sangat tergantung kepada kemauan pihak-pihak yang bertikai. Dalam kasus Myanmar, ASEAN seharusnya juga mengajak pihak NLD dalam membicarakan perdamaian Myanmar. 

Namun hal itu tidak mudah dilakukan. ASEAN harus mendorong pihak pemerintahan militer Myanmar agar membuka peluang ASEAN berkomunikasi dengan NLD, khususnya Aung San Suu Kyi yang masih ditahan militer Myanmar.

Menlu Singapura Vivian Balakrishnan menjelaskan bahwa ASEAN mendorong dialog antara pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan junta. Dan ASEAN membantu menyatukan mereka.

Inisiatif Singapura itu menggambarkan bahwa masing-masing anggota ASEAN masih memiliki peluang untuk membantu Myanmar melalui mekanisme ASEAN.

Pada pengarahan pers setelah pertemuan para menlu ASEAN, yang juga dihadiri oleh menteri yang ditunjuk militer Myanmar Wunna Maung Lwin, Menlu Retno menjelaskan, “It takes two to tango. Keinginan dan niat baik ASEAN untuk membantu tidak dapat dijalankan jika Myanmar tidak membuka pintu bagi ASEAN."

Kata akhir tetap berada di tangan Myanmar untuk membangun perdamaian di negara-nya. Dengan harapan itu, ASEAN juga berharap dapat tetap memainkan peran sebagai juru damai. Akhirnya, ASEAN dan Myanmar tidak perlu saling meng-ghosting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun