Masalahnya adalah self-reward terkait erat dengan pekerjaan di kampus atau kantor. Sebelum pandemi, self reward selalu dilakukan di luar kampus. Pada saat itu, rumah menjadi salah satu tempat untuk melakukan self reward itu.
Sekali lagi, situasi pandemi ini menyebabkan upaya mewujudkan self reward menjadi gampang-gampang susah.
Di satu sisi, pandemi mengharuskan perkuliahan diadakan dari rumah, bukan kampus. Rumah pengajar atau dosen bahkan berubah menjadi kampus-kampus digital yang bersifat pribadi.
Di sisi lain, pandemi mengharuskan kita semua tanpa terkecuali menerapkan protokol kesehatan. Mudahnya daya tular Covid-19 bahkan menempatkan anggota keluarga sendiri sebagai ancaman paling potensial, sehingga muncul kluster keluarga.
Sementara itu, kegiatan di luar rumah harus dihindari untuk mencegah kerumunan dan kontak fisik yang lebih memudahkan penularan virus Covid-19 antar-manusia.
Pekerjaan harus dilakukan di rumah. Kegiatan di luar rumah tidak mungkin dilakukan secara leluasa. Sementara itu, anggota keluarga harus saling menjaga kesehatan dengan mengurangi kegiatan di luar rumah juga.
Sebaliknya, konsentrasi pekerjaan di rumah juga mempersulit membedakan waktu antara bekerja dan tidak bekerja. Waktu melakukan pekerjaan di rumah bisa menjadi lebih panjang atau lebih pendek daripada di kampus dengan jam kantornya (office time).
Jam kantor menjadi fleksibel atau malah tidak jelas. Absensi digital menggantikan absensi dengan jempol tangan dan bentuk-bentuk lainnya.
Lalu, apa yang kita harus dilakukan agar self reward tetap bisa diwujudkan?
Pertama, komitmen waktu bekerja harus jelas antara sedang bekerja atau tidak sedang bekerja. Tanpa kejelasan waktu, muncul kesulitan bagi pengajar yang memiliki anak kecil yang masih memerlukan perhatian atau kasih sayang.
Kedua, perlu ruangan khusus di rumah sebagai tempat kerja. Ruang atau kamar itu menjadi semacam penanda bahwa kita sedang bekerja ketika berada di kamar itu. Anggota keluarga dapat mengerti kondisi itu dengan mudah.