Self reward menjadi topik pilihan menarik untuk menulis di Kompasiana, apalagi jika dikaitkan dengan masa pandemi pada saat ini. Ada banyak aspek telah ditulis.Â
Saya mencoba menulis topik ini dari sudut pandang seorang pengajar, khususnya di perguruan tinggi.
Sejak masa pandemi diikuti dengan kebijakan bekerja dari rumah work from home (WFH), semua kegiatan belajar dan mengajar tidak lagi berlangsung di kampus. Sebagai seorang dosen, ruang kerja telah berpindah ke rumah.
Tidak ada lagi ruang-ruang kelas. Semua perkuliahan dilakukan dari rumah. Tidak ada perbedaan antara ruang publik untuk kuliah dan ruang privat (kegiatan rumah).
Dimensi ruang-ruang kelas dan kamar-kamar rumah secara tidak disadari telah menyatu dan tidak bisa dibedakan lagi. Akibatnya, self reward yang terkait dengan pekerjaan pun menjadi gampang-gampang susah dilakukan.
###
Self reward merupakan upaya untuk memberikan "hadiah" kepada diri sendiri. Upaya ini merupakan sebuah bentuk apresiasi diri (self appreciation) setelah menyelesaikan sebuah tugas atau pekerjaan penting atau sulit.
Salah satu tujuan dari pemberian self reward adalah untuk memotivasi diri agar lebih bersemangat dalam melakukan pekerjaan selanjutnya. Lepas dari rasa penat dan capai setelah berkonsentrasi penuh dalam periode waktu tertentu perlu diganjar dengan self reward.
Bentuk self reward tentu saja bermacam-macam. Dari segi harga atau biaya, bentuk self reward tidak harus mahal, namun perlu disesuaikan dengan kemampuan keuangan. Apalagi ketika self reward bisa dilakukan berkali-kali pada setiap meraih prestasi, maka faktor keuangan perlu dipertimbangkan.
Dengan alasan itu, bentuknya bisa berbeda pada setiap individu. Self reward bisa berupa melakukan sesuatu yang diinginkan sebagai bentuk dari me-time (seperti berlibur, bersepeda, berkunjung ke museum atau kegiatan lainnya), membeli sesuatu yang diidam-idamkan (misalnya es krim, buku dan lain-lain), atau bersantai meluangkan waktu dengan keluarga di rumah tanpa diganggu hape atau orang lain.
###