Tulisan ini merupakan sebuah dokumentasi mengenai perilaku diplomasi Indonesia di awal pemerintahan pertama Presiden Jokowi. Dokumentasi ini penting untuk mengingatkan kembali mengenai bagaimana konteks internasional dan domestik tertentu telah mempengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara, termasuk Indonesia.
Kebijakan Jokowi pada pemerintahan pertamanya yang lebih mengutamakan diplomasi bilateral. Kebijakan itu tentu saja muncul karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Sejak Jokowi dilantik sebagai presiden pada Oktober 2014, hubungan luar negeri Indonesia dengan negara lain lebih banyak diwarnai suasana panas dingin.
Dua kebijakan
Ada dua kebijakan nasional yang secara potensial bisa mengganggu hubungan bilateral Indonesia, yaitu terkait dengan hukuman mati dan kebijakan maritim mengenai penangkapan/penenggelaman kapal asing pelaku pencurian ikan.
Kontroversi internasional atas pelaksanaan hukuman mati merupakan salah satu ujian bagi diplomasi Jokowi hingga awal 2015. Pemerintah dari warga negara yang akan dieksekusi melancarkan protes diplomatik terhadap Indonesia.
Belanda dan Brasil menarik pulang duta besar mereka sebagai akibat kegagalan melobi Presiden Jokowi guna membatalkan eksekusi hukuman mati. PM Australia Tony Abbott juga diprediksi mengambil kebijakan serupa andai lobi diplomasinya gagal. Bahkan Sekjen PBB Ban Kim Moon juga mendesak Indonesia membatalkan eksekusi mati terhadap dua warga negara Australia.
Sebelumnya, muncul persoalan dalam hubungan bilateral berkait kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti menangkap dan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan. Protes terhadap kebijakan unilateral Indonesia itu dilancarkan pemerintah Thailand, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Hingga awal 2015, protes berbagai negara tersebut belum mampu melunakkan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK demi menjaga dan melindungi kedaulatan nasional kita. Risiko gangguan hubungan bilateral antara Indonesia dan negara-negara lain menjadi isu mendesak yang harus disikapi pemerintahan Jokowi.
Pengiriman red notice dan pemanggilan pulang dubes memang tidak mencerminkan memburuknya hubungan bilateral secara keseluruhan. Karena itu, usaha Menlu Retno Marsudi, menjelaskan posisi dan alasan pemerintah Indonesia memberlakukan hukuman mati kepada pemerintah negara-negara lain, perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan luar negeri yang lebih terukur dan responsif.
Berbeda dari pemerintahan SBY, pemerintahan Jokowi cenderung menerapkan kebijakan secara keras dan tegas. Indonesia lebih mengutamakan upaya menegakkan kedaulatan nasional dengan risiko mengindahkan norma global tentang HAM. Kedaulatan maritim Indonesia juga mengalahkan solidaritas regional ASEAN dengan tetap melanjutkan kebijakan itu.
Demi kedaulatan nasional pula, Indonesia mengambil risiko menurunnya tingkat diplomasi bilateral. Potensi kedinamisan hubungan bilateral antara Indonesia dan negara-negara lain tampaknya perlu diantisipasi oleh semua pemangku kepentingan politik luar negeri Indonesia.
Mereka perlu membiasakan diri dengan kemungkinan naik turunnya hubungan bilateral mengingat tak bisa dihindarinya kaitan antara kebijakan domestik dan hubungan internasional. Prinsip pemerintahan Jokowi-JK sudah jelas dan tegas, yaitu kebijakan domestik (termasuk hukuman mati) tetap merupakan bagian dari kedaulatan nasional yang tidak bisa diintervensi negara lain, termasuk PBB.
Keberhasilan Diplomasi
Memang, tak semua hubungan bilateral dalam 100 hari pemerintahan Jokowi-JK memburuk. Presiden Jokowi menunjukkan efektivitas diplomasi bilateralnya ketika menghadiri pertemuan tingkat tinggi APEC di Beijing, forum ASEAN di Nayphidaw, dan forum ASEAN-Korea Selatan di Busan.
Penandatangan kontrak pembelian langsung minyak antara Indonesia dan Angola juga bisa dirujuk sebagai keberhasilan diplomasi bilateral.
Kerjasama Multilateral
Selain itu, bilateralisme bukan satu-satunya mekanisme hubungan luar negeri. Politik luar negeri Indonesia juga perlu dijalankan melalui hubungan multilateral dalam berbagai forum yang melibatkan aktor-aktor negara dan nonnegara.
Kompleksitas persoalan, sifat lintas batas negara, dan keperluan respons bersama aktor negara dan nonnegara memerlukan diplomasi multilateral. Kehadiran Jokowi pada KTT APEC dan ASEAN di akhir 2014 memberikan sinyal positif mengenai kelanjutan keaktifan Indonesia melalui jalur diplomasi multilateral.
Forum multilateral memang lebih banyak merundingkan berbagai aturan main multilateral di antara negara-negara anggota forum itu. Perkembangan diplomasi Indonesia selama 10 tahun pemerintahan SBY telah menunjukkan prestasi global.
Indonesia dianggap sebagai middle power dalam diplomasi multilateral. Walaupun orientasi global-regional pemerintahan SBY menimbulkan persoalan berkait kedaulatan nasional, realitas itu tidak perlu dengan serta merta menghilangkan aspek positif dari diplomasi multilateral bagi kepentingan nasional kita.
Tantangan
Walaupun diplomasi bilateral menjadi prioritas politik luar negeri pemerintahan Jokowi, Indonesia tetap perlu melanjutkan komitmennya dalam berbagai forum multilateral. Argumen Indonesia mengenai kedaulatan nasional tetap dapat digunakan. Dalam konteks ini, pemerintahan Jokowi perlu bisa menggunakan diplomasi bilateral dan multilateral sebagai strategi yang saling melengkapi.
Selain itu, perkembangan diplomasi Indonesia mengungkapkan bahwa arti penting diplomasi bilateral tidak serta merta berakibat pada berhentinya praktek hubungan multilateral. Diplomasi Indonesia di pemerintahan pertama Presiden Jokowi memandang hubungan bilateral lebih menguntungkan bagi perekonomian nasional ketimbang diplomasi multilateral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H