Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jalan Terjal Menuju Demokrasi di Myanmar

16 Februari 2021   15:54 Diperbarui: 16 Februari 2021   16:00 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hingga hari ini, jalan menuju demokrasi di Myanmar masih belum jelas. Berbagai upaya politik ---baik di tingkat domestik maupun internasional--- belum mampu memberikan prospek mengenai demokrasi di negeri Pagoda Emas itu. Tekanan internasional dalam bentuk sanksi juga belum mampu meredam kekuatan militer Myanmar.

Kelompok-kelompok yang bertikai dan pihak-pihak yang mendukung sipil dan mengecam kudeta militer masih berada pada posisi mereka masing-masing. Beberapa usulan dari beberapa negara belum mendapat tanggapan memadai dari kelompok yang bertikai di tingkat domestik.

Identifikasi dan pemetaan mengenai kelompok ini dapat membantu memahami posisi masing-masing, hubungan-hubungan di antara mereka, dan kemungkinan peluang demorasi di Myanmar. Beberapa kelompok itu, meliputi:

Pertama, kelompok sipil

Kelompok-kelompok sipil yang berdemonstrasi belum menunjukkan kapabilitasnya dalam mendorong demokratisasi di jalur ekstra-parlementer. Sementara itu, jalur parlementer tidak mungkin dilakukan pada saat ini. Parlemen Myanmar sebagai hasil pemilu 2020 telah dibubarkan kelompok militer. Pemerintahan sipil yang juga hasil pemilu 2020 dikudeta kelompok militer pada 1 Februari yang lalu.

Ekskalasi konflik antara kelompok demonstran dengan pemerintahan militer Myanmar semakin meningkat. Jumlah dan kelompok peserta demonstran semakin beragam. Gerakan perlawanan warga sipil di Myanmar semakin meningkat dengan bergabungnya para dosen dan mahasiswa dalam memprotes kudeta militer.

Sementara itu, sejak ditangkap kelompok militer, Daw Suu Kyi dan kawan-kawan belum menunjukkan diri sehingga memunculkan pertanyaan mengenai keberadaannya. Ribuan orang tetap turun ke jalan berunjuk rasa menentang kudeta pekan lalu.

Protes massa Myanmar pada saat ini adalah yang terbesar sejak lebih dari satu dekade lalu. Protes itu menghidupkan kembali ingatan massa hampir setengah abad pemerintahan militer mengenai gelombang pemberontakan berdarah pada tahun 1988 sampai militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil pada tahun 2011.

NLD sebagai satu-satunya kelompok sipil yang dominan dan dipercaya rakyat Myanmar sebagai pemenang pemilu 2020 belum menunjukkan kekuatannya semenjak militer melakukan kudeta dan menggantikan dengan pemerintahan militer hingga setahun ke depan. Tuntutan kelompok sipil pada saat ini adalah pembebasan Suu Kyi dan kawan-kawan dari tahanan militer.

Kedua, kelompok militer

Di lain pihak, pemerintahan militer telah berjanji menyelenggarakan pemilu, namun belum ada kejelasan mengenai kapan dan bagaimana pemilu dijalankan.

Baru-baru ini, militer memberlakukan larangan kerumunan dan jam malam diterapkan baru-baru ini. Militer bahkan melakukan penangkapan terhadap beberapa orang yang mendukung demonstrasi. Upaya pemerintah mengambil hati rakyat Myanmar dengan melepaskan lebih dari 20ribu orang tahanan tidak memberikan hasil signifikan.

Diamnya China, Rusia, dan beberapa negara ASEAN tampaknya dimanfaatkan oleh pemerintahan militer Myanmar untuk terus menekan kelompok sipil dan NLD agar bersedia menjalankan agenda politik militer Myanmar.

Militer Myanmar tidak bergeming dengan sanksi internasional itu. Kelompok militer memiliki ‘pengalaman’ menghadapi tekanan internasional itu.

Dari pernyataan protes atau kecaman hingga sanksi ekonomi telah dirasakan oleh Myanmar, khususnya kelompok militer yang berkuasa. Bahkan kabarnya, beberapa jenderal Myanmar itu sudah berada di bawah sanksi AS yang diberlakukan pada tahun 2019 atas pelanggaran terhadap Muslim Rohingya dan hak asasi manusia kelompok minoritas lainnya.

Ketiga, Sanksi AS dan sekutunya

Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah menjatuhkan sanksi kepada Myanmar berupa pembekuan aset senilai US$1 miliar sehingga para jenderal pelaku kudeta itu tidak bisa mengakses aset tersebut.

Sementara itu, pemerintah Selandia Baru sudah menjatuhkan sanksi mengenai larangan perjalanan para jenderal Myanmar. Pihak swasta Singapura dan Jepang juga telah menghentikan beberapa hubungan bisnis dan investasi mereka dengan Myanmar.

Persoalannya adalah sejauh mana efektifitas sanksi internasional itu dapat menekan pemerintahan militer Myanmar untuk memenuhi tuntutan negara AS dan sekutunya? Kenyataannya adalah hanya  beberapa negara saja yang memberikan sanksi itu. Walaupun AS dan sekutunya memberikan sanksi ekonomi (dan mungkin politik), masih ada banyak negara tetangga di sekitar Myanmar yang masih ‘bersahabat’. Negara-negara anggota ASEAN tidak memberikan sanksi dan masih menempatkan Myanmar sebagai anggota ASEAN yang sama dengan sebelum kudeta.

Selain itu, hingga sekarang, tidak atau belum ada satu negara pun yang menerapkan sanksi diplomatik. Belum ada negara yang menarik duta besar-nya sebagai bentuk protes atau kecaman kepada militer Myanmar.

Keempat, ASEAN

Presiden Joko Widodo bersama dengan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin setelah melakukan pertemuan bilateral di Istana Negara, Jakarta, Jumat (5/2) meminta ASEAN melakukan pertemuan khusus antar-menteri luar negeri ASEAN untuk membantu mencari solusi damai bagi kudeta militer di Myanmar.

Namun demikian, ASEAN belum menunjukkan tanda-tanda menggerakkan instrumen diplomasi regionalnya untuk membantu mengatasi persoalan domestik Myanmar. Brunei yang baru saja ditunjuk sebagai ketua ASEAN pada 2021 ini tampaknya terlalu sibuk mempersiapkan pertemuan tingkat tinggi ASEAN mendatang.

Pilihan Jalan Menuju Demokrasi

Dari keempat kelompok tersebut, demokrasi di Myanmar tentu saja sangat tergantung pada kemauan politik dari kelompok sipil atau NLD dan militer. Pengalaman mengenai dinamika demokrasi di negeri itu menunjukkan bahwa NLD tidak bisa mendominasi atau mendiktekan jalan demokratis-nya kepada militer.

Sebaliknya, demokrasi di Myanmar tidak mungkin dijalankan oleh kelompok militer yang cenderung menodai demokrasi melalui kudeta.

Sementara itu, campur tangan asing untuk memaksakan penerapan demokrasi di Myanmar sudah bukan lagi mekanisme prosedural yang bisa diterima banyak pihak.

Termasuk di sini adalah kecenderungan tekanan internasional melalui berbagai sanksi-nya tidak mampu mendorong demokratisasi di Myanmar.

Dalam situasi itu, usulan Indonesia dan Malaysia sebenarnya termasuk yang paling rasional dan realistis di tengah ketidakpastian politik domestik di Myanmar pada saat ini.

ASEAN mengajak Myanmar untuk bertemu dalam forum menteri luar negeri. Undangan ini secara tidak langsung menjadi pengakuan diplomastis dari ASEAN terhadap pemerintahan militer Myanmar sekarang.

Meskipun demikian, kelompok sipil (NLD) dan militer Myanmar belum menanggapi usulan Indonesia dan Malaysia melalui pertemuan menteri luar negeri se-ASEAN.

Jalan menuju demokrasi di Myanmar memang masih terjal, namun demokratisasi itu tidak bisa mengabaikan dua kelompok yang dominan pada saat ini, yaitu NLD dan militer.

Dinamika di antara kedua kelompok itu yang akan menentukan warna-warni demokrasi di negeri Pagoda Emas itu dengan segala kelebihan dan kekuarangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun