Non-interference
Hingga 2011, Myanmar memang diperintah oleh angkatan bersenjata. Namun, sesudah itu mereka melakukan reformasi demokrasi dan mengakhiri kekuasaan militer. Kudeta militer yang terjadi pada 1 Februari lalu telah menarik mundur proses demokrasi yang sudah berjalan selama ini.
Sebagai satu-satunya organisasi regional, ASEAN telah menerapkan prinsip non-intervensi yang ketat dari tiap-tiap negara anggota, seperti tertuang pada pasal 2 Piagam ASEAN. Meski begitu, Piagam ASEAN juga mendesak negara anggota mematuhi asas demokrasi, HAM, dan pemerintahan konstitusional. Justru dengan kudeta itu, ASEAN sebenarnya memiliki alasan untuk menyatakan bahwa pemerintahan militer Myanmar telah melanggar prinsip-prinsip universal itu.
Dalam konteks itu, ASEAN perlu melakukan tindakan progresif dalam menyikapi persoalan yang terjadi di Myanmar. Selama ini ASEAN selalu dipandang sangat lamban dan tak banyak berfungsi dalam mengatasi persoalan-persoalan semacam itu. ASEAN juga dianggap tidak memiliki posisi tawar terhadap pemerintah militer Myanmar dalam menangani masalah Rohingya, apalagi kini ada kudeta.
Padahal ASEAN sebenarnya telah melakukan beberapa pengecualian terhadap pasal non-intervensi. Pengecualian itu dapat diihat lagi pada beberapa catatan yang pernah terjadi sebelum ini, seperti respon ASEAN terhadap topan Nargis yang melanda Myanmar pada 2008.
ASEAN merespon kemarahan internasional atas buruknya penanganan bencana oleh pemerintahan militer Myanmar. Contoh lain adalah respon ASEAN terhadap tindakan genosida miiter Myanmar terhadap etnis Rohingya.
Dengan kedua contoh itu, ASEAN seharusnya bisa didorong untuk menafsirkan ulang atas prinsip non-interference secara lebih progresif. Sebab, selama ini prinsip tersebut justru malah telah membelenggu ASEAN sendiri untuk melakukan tindakan tegas, jika ada konflik yang terjadi di negara anggotanya.
Tanpa upaya pengecualian dan redefinisi terhadap prinsip non-intervensi, pemerintahan militer Myanmar yang berkuasa sekarang dapat beranggapan bahwa mereka mendapatkan 'legitimasi' atau pengakuan internasional atas kebijakan kudeta mereka.
Kedaulatan negara anggota ASEAN memang perlu dihormati, namun asas atau prinsip non-interference seharusnya tidak lagi menyebabkan ASEAN dianggap bersikap pasif atau lunak atas situasi di Myanmar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H