Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

ASEAN Perlu Tegas kepada Pemerintahan Militer Myanmar

11 Februari 2021   22:13 Diperbarui: 11 Februari 2021   22:50 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aseanourcommunity.files.wordpress.com


Hingga hari ini, ASEAN tetap diam atau sekedar memberikan tanggapan yang relatif lunak terhadap kudeta militer di Myanmar, 1 Februari 2021. ASEAN selalu kesulitan merespons isu-isu HAM di kawasannya sendiri. Hal itu lebih disebabkan oleh kebijakan ASEAN memegang prinsip non-interference atau tidak ikut campur urusan politik internal negara-negara anggota.

Dalam pernyataannya, Ketua ASEAN tahun 2021, Brunei Darussalam, meminta agar pihak yang berseteru di Myanmar mematuhi prinsip yang tertuang dalam Piagam ASEAN, termasuk kepatuhan pada prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum dan pemerintahan yang baik, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.

Lunaknya sikap ASEAN ini ditambah dengan terbelahnya pandangan negara-negara anggotanya. Paling tidak, ada tiga sikap berbeda, yaitu pertama, negara Thailand, Kamboja, dan Filipina lebih memilih untuk tidak terlibat langsung dan menganggap kudeta militer Myanmar sebagai urusan dalam negeri.

Kedua, pemerintah Brunei Darussalam, Vietnam, dan Laos, belum mengeluarkan pernyataan terkait kudeta Myanmar.

Ketiga, pemerintah Singapura, Malaysia, dan Indonesia mendesak semua pihak untuk menahan diri dan bekerja menuju hasil yang positif dan damai.

Presiden Joko Widodo bersama dengan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin setelah melakukan pertemuan bilateral di Istana Negara, Jakarta, Jumat (5/2) meminta ASEAN melakukan pertemuan khusus antar-menteri luar negeri ASEAN untuk membantu mencari solusi damai bagi kudeta militer di Myanmar.

Usulan Indonesia dan Malaysia sebenarnya termasuk paling rasional di tengah ketidakpastian politik domestik di Myanmar pada saat ini. Apalagi situasi politik tidak menentu ini juga berdampak pada penanganan Covid-19 dan pengungsi Rohingya di Myanmar.

Pembangkangan sipil
Protes massa Myanmar pada saat ini adalah yang terbesar sejak lebih dari satu dekade lalu. Protes itu menghidupkan kembali ingatan massa hampir setengah abad pemerintahan militer mengenai gelombang pemberontakan berdarah pada tahun 1988 sampai militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil pada tahun 2011.

Sementara itu, pembangkangan sipil melalui demonstrasi jalanan pada saat ini telah berkembang tanpa diduga. Pertama, polisi Myanmar dilaporkan melakukan penggerebekan kantor Partai Liga Nasional untuk Demokrasi atau NLD besutan Aung San Suu Kyi pada Selasa (9/2/2021) malam waktu setempat.

Kedua, aksi masa yang terus berlanjut sejak akhir pekan lalu diiringi oleh keberingasan aparat keamanan. Seorang demostran perempuan tertembak di bagian kepala dan dalam kondisi kritis. Meski begitu, massa tetap meanjutkan aksinya. Beberapa dari mereka menyatakan siap bahkan apabila terjadi pertumpahan darah yang serius.

Ketiga, militer Myanmar menangkap warganegara asing. Sean Turnell, penasihat ekonomi asal Australia untuk pemimpin de-facto Myanmar Aung San Suu Kyi, turut ditahan oleh militer (6/2/2021). Sebelum ditangkap, Turnell sempat memposting beberapa kali ke akun Twitter-nya setelah kudeta, mengkonfirmasi keselamatannya dan menyatakan kekecewaan atas situasi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun