'Cek Ombak' tidak lagi milik pribadi mantan Menteri Susi Pudjiastuti, tapi juga dipakai dengan jitu oleh Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Pada keterangan pers-nya di kantor DPP Partai Demokrat (PD), Jakarta, Senin (1/2/2021), AHY menyampaikan adanya upaya pengambilalihan atau kudeta kepemimpinan PD secara paksa. Gerakan itu melibatkan pejabat penting di pemerintahan. Seperti sudah direncanakan, AHY tidak menyebut nama pejabat itu
Itulah strategi cek ombak pertama. Tanpa menyebut nama, strategi itu langsung berjalan sendiri mengagetkan jagat politik dan didukung strategi kedua.Â
Strategi kedua, orang lingkar dalam AHY kelihatan secara jelas rajin menyebutkan nama-nama yang dimaksud oleh AHY sebagai orang-orang yang ingin melakukan kudeta terhadap Demokrat.Â
Strategi cek ombak kedua bekerja lebih efektif dan efisien. "Tersangka" utama yang dituduh akan melakukan kudeta kepemimpinan di Partai Demokrat bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Moeldoko yang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), termasuk salah satu orang paling dekat dengan Presiden Joko Widodo. Dia seorang tokoh nasional yang juga mantan Panglima TNI. Dan, yang tidak kalah penting adalah posisi strategis posisi-nya di masa lalu sebagai salah seorang yang berhasil membawa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden 2 kali periode.
Tujuan umum kedua strategi itu adalah untuk mengetahui respon masyarakat, khususnya komunitas politik domestik. Secara khusus strategi ini bisa menyasar pada peluang politik AHY di pilkada 2022/2023 (kalau jadi) atau di pilpres 2024.
Tujuan khusus ini amat penting buat PD yang berukuran kecil secara kursi dan pengaruhnya dalam persaingan antar-partai politik. Berbagai analisis menegaskan lebih baik mengkudeta partai politik yang lebih banyak kursinya dan lebih besar kekuatan politiknya, seperti PDIP, Partai Golkar, atau Gerindra. Tidak mungkin SBY yang dikenal dengan Thinking General tidak tahu dan tidak paham soal ini.Â
Justru dengan strategi cek ombak itu, SBY (Ketua Dewan Pembina PD, bukan AHY) bisa saja ingin mengkapitalisasi respon masyarakat itu: siapa yang 'pantas' dijadikan kawan atau lawan, termasuk dengan mempertimbangkan kekuatan dan jaringan politiknya.
Yang perlu diingat, yang 'nembak' Moeldoko bukanlah AHY, apalagi SBY, tapi orang-orang dekat AHY. Bisa jadi ini strategi untuk mengingatkan Moeldoko supaya jangan lupa sejarah (jasmerah). Di pihak lain, konon, orang-orang dekat Jokowi masih mencurigai Moeldoko sebagai orangnya SBY yang disusupkan ke pemerintahan Jokowi.Â
Kita tidak tahu bagaimana rencana PD dengan Moeldoko. Namun, SBY mungkin saja ingin Moeldoko 'pulang' ke PD, atau setidaknya membantu AHY untuk naik kelas di pilkada atau pilpres.
Bahkan cek ombak ini yang awalnya dipakai untuk kepentingan politik AHY, ternyata bisa juga dipakai untuk mengetahui respon masyarakat terhadap Moeldoko jika dicalonkan di pilpres 2024.
Jangan lupa, di antara para kandidat pesaing di pilkada dan pilpres mendatang, hanya AHY yang berstatus 'pengangguran' atau non-job. Artinya AHY adalah satu-satunya kandidat yang tidak punya pengalaman bekerja di pemerintahan. Bandingkan dengan Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, Sandiaga Uno, Prabowo Subianto. Kalaupun sudah berusaha keras dengan berbagai cara, AHY telah gagal di pilkada dan pilpres yang lalu.
Setelah dipasang-pasangkan dengan Anies dan lain-lain, analisa politik juga ingin mengetahui manfaat dan mudharatnya pasangan AHY dan Moeldoko atau sebaliknya untuk pilpres 2024, seperti tersirat pada tanggapannya.
Dengan kondisi struktural itu, SBY tidak bisa bergantung pada 'kecilnya' ukuran PD. Istilah kerennya size does not matter. Cara itu pernah dipakai di sidang DPR ketika semua anggota PD keluar dari ruangan karena ada instruksi all out. Kabarnya terjadi mis-komunikasi karena instruksi yang seharusnya adalah all-out! Yang benar yang mana, saya tidak tahu.Â
Yang pasti, cara itu berhasil menempatkan PD sebagai partai kecil yang berpengaruh. Mungkin PD belajar dari kekuatan PKS yang kecil berpengaruh dan dianggap sering mengganggu pada masa SBY dan PD berkuasa selama 10 tahun. Cara-cara seperti itulah yang kemungkinan besar bakal terus dimainkan PD.
Senegatif-negatifnya komentar atau respon terhadap strategi cek ombak itu seharusnya tetap perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari tujuan konperensi pers itu.Â
Menurut saya, AHY telah berhasil membuat ombak itu bergoyang-goyang. Masalahnya adalah apakah goyangan ombak itu membawa AHY kembali ke bibir pantai lagi atau menjauh ke tengah lautan politik yang lebih dinamis? Bersama Moeldoko atau yang lain? Itu yang saya belum tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H