Banyaknya polisi yang berjaga-jaga di Naypyidaw sejak Jumat (29/1/2021) ternyata bukan untuk mengawal pembukaan kembali sidang Parlemen pada 1 Februari ini. Namun penjagaan itu malah menjadi pertanda awal dari kudeta militer Myanmar dan Parlemen batal bersidang untuk pertama kalinya setelah pemilu Myanmar November 2020 lalu.
Seolah menjadi kebiasaan, kudeta militer di Myanmar tidak terlalu mengejutkan rakyat negara itu. Sudah terlalu lama kelompok militer mendominasi kehidupan politik dan pemerintahan di negeri itu sejak merdeka di tahun 1948. Saking dominannya, kelompok militer seringkali tidak sabar atau terlalu curiga kepada kelompok sipil.
Kecurigaan itu pula yang menjadi alasan militer Myanmar mencampuri urusan politik alias melakukan kudeta militer. Berbekal kecurigaan pada lebih dari 10 juta pelanggaran suara, mikiter meminta komisi pemilu untuk melakukan pencocokan dengan temuan tersebut. Sebelumnya, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima militer Myanmar, memberikan ancaman kudeta bahwa dia tak segan mencabut konsitusi jika dia menganggap tidak dihormati.
Situasi politik dalam negeri Myanmar memanas. Sejumlah tokoh sipil seperti Aung San Suu Kyi dan tokoh-tokoh Liga Nasional untuk Demokrasi ditangkap dan dijeblokan ke penjara. Selain itu, Presiden Win Myint dan tokoh-tokoh lain juga “dijemput” pada Senin 1 Februari 2021 dini hari.
Krisis politik dalam bentuk kudeta militer itu sekaligus menghentikan transisi demokrasi di negeri itu. Sidang Parlemen Myanmar yang baru terpilih dan dijadwalkan bertemu untuk pertama kalinya pada Senin (1/2/2021) harus dibatalkan.
Setelah menangkap sejumlah pemimpin sipil, militer mengumumkan keadaan darurat dan bakal berkuasa selama satu tahun. Myint Swe, mantan jenderal yang menjadi sebagai wakil presiden, akan menjabat presiden hingga tahun depan. Sementara itu, kendali pemerintahan, dan hukum akan dipegang Jenderal Min Aung Hlaing.
Pemilu 2020
Hasil pemilihan umum (Pemilu) November 2020 itu telah memberikan kemenangan kepada NLD. Partai politik Aung San Suu Kyi itu memenangkan 396 dari 498 kursi Parlemen, yaitu 258 kursi di House of Representatives (majelis rendah) dan 138 kursi House of Nationalities (majelis tinggi). Dominasi NLD pada 2020 mampu memperbaiki kemenangannya pada lima tahun sebelumnya.
Bagi Myanmar, pemilu November 2020 merupakan pemilihan demokratis. Pada 2015 dan 2020, Liga Nasional Demokrasi (NLD) mencetak kemenangan telak yang membuatnya menjadi mayoritas di parlemen. Kemenangan NLD sekaligus mencerminkan transisi demokrasi sejak 2015.
Pada pemilu 2020, NLD berhasil mengalahkan USDP bahkan di bekas benteng pertahanannya. Sebagai proksi militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) memprotes pemilu 2020. Beberapa tuntutan USDP, meliputi pemilu baru yang diawasi militer, mengajukan hampir 200 keluhan, dan membawa masalah tersebut ke Mahkamah Agung.
Protes USDP ini setidaknya dipakai sebagai dasar kecurigaan pihak militer terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu 2020, serta menjadi 'pintu masuk' bagi kudeta militer.
Demokrasi ala Militer
Demokratisasi di Myanmar dihadapkan pada dua tantangan, yaitu Konstitusi 2008 yang menjadi prinsip dasar penyelenggaraan negara. Menurut Konsitusi 2008, militer secara otomatis memiliki 25 persen dari kursi yang tersedia. Konstitusi 2008 yang dirancang militer memungkinkan penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis. Namun demikian, Konstitusi itu juga memastikan militer tetap memegang kendali atas lembaga-lembaga utama tertentu dan tetap berada di luar otoritas sipil.