Salah satu fenomena paling menarik dalam hubungan internasional sejak Maret hingga Desember 2020 ini adalah bahwa dunia ternyata telah berjalan menghadapi pandemi Covid-19, tanpa ’campur tangan’ Amerika Serikat (AS).Â
Kemampuan itu bertumpu pada komitmen kerjasama mutilateral di antara berbagai negara, baik dengan atau tanpa koordinasi dengan PBB atau WHO. Jadi, pandemi Covid-19 secara tidak langsung mendorong multilateralisme di antara negara-negara yang ada, tanpa AS.
Posisi AS
Sementara itu, seperti kita ketahui bersama, Trump terlalu sibuk dengan masalah domestik. Untuk kesekian kalinya setelah keluar dari berbagai kerjasama global, AS tidak mengambil peluang kepemimpinan global dalam mengatasi krisis pandemi Covid-19.
Situasi dunia tanpa AS ini masih akan berlangsung hingga 20 Januari 2021 ketika Presiden terpilih AS Joe Biden dilantik. Bahkan situasi itu bisa berlangsung lebih lama hingga akhir tahun pertama pemerintahan Biden.Â
Pada tahun pertama, Biden akan disibukkan dengan perbaikan penanganan pandemi di tingkat domestik dan mengambil langkah-langkah pemulihan partisipasi AS dalam berbagai kerjasama multilateral.
Dunia seperti itulah yang dikenal sebagai normal baru dalam politik global. Hingga bulan ke-9 ini adalah bahwa dunia berjalan tanpa kepemimpinan global Amerika Serikat (AS). Apalagi transisi kepemimpinan di AS ternyata berjalan tidak selancar seperti biasanya.
Kalaupun Biden akan memulihkan kepemimpinan global AS, hubungan internasional tidak lagi seperti sebelum Trump menjadi presiden AS pada 2017. Tatanan dunia pada saat ini juga sangat beda dengan pada masa 10 tahun Biden menjadi wakil presiden AS di bawah Presiden Obama.
Yang membuat pandemi Covid-19 berbeda dibanding pandemi lainnya adalah semua negara menjadi korban. Hampir tidak ada negara di dunia yang luput dari serangan global Covid-19, termasuk AS. Karena tidak ada satu pun negara yang terbebas dari pandemi itu, negara-negara yang bekerjasama adaah juga negara-negara yang menjadi korban pandemi itu.
Anarki Internasional
Dunia tanpa pemimpin global telah secara mengkhawatirkan menimbulkan anarki di antara berbagai negara sebagai respon nasional mereka terhadap pandemi Covid-19.
Hingga tiga bulan pertama 2020, pandemi Covid-19 telah memaksa berbagai negara mengambil kebijakan nasional masing-masing secara langsung dan unilateral.Â
Kesepakatan warganegara sendiri menjadi pertimbangan utama menutup perbatasan internasionalnya. Mereka tidak merasa perlu berkonsultasi ke AS. Tidak merasa perlu menunggu respon AS terhadap pandemi Covid-19 yang kemudian bisa dipakai sebagai rujukan kebijakan di tingkat nasional.
Negara-negara di Asia Tenggara juga telah abai dengan ASEAN, seolah kebijakan nasional mereka tidak terkait dengan kesepekatan regional di kawasan Asia Tenggara. Jepang dan Korea Selatan bersitegang soal penanganan warganegaranya di negara lain.
Sebagian negara-negara di Eropa malah kecewa dengan respon Uni Eropa (UE). Â Jerman, Perancis, Italia protes ke AS yang merebut pesanan alat kesehatan dari Cina. Negara-negara anggota Uni Eropa (UE) dan NATO curiga dengan bantuan Rusia dan Cina kepada Italia.
Kebijakan nasional yang unilateral atau sepihak itu sebenarnya telah menciptakan anarki dalam hubungan internasional. Situasi anarki masih berlanjut hingga Agustus 2020 ketika berbagai negara berebut menemukan vaksin Covid-19. Anarki ini yang kemudian mengerucut ke dalam nasionalisme vaksin.
Dalam nasionalisme vaksin itu, berbagai negara berupaya keras memperoleh jaminan akses terhadap vaksin demi persediaan vaksin bagi warganegara-nya sendiri. Negara-negara maju bahkan berada di barisan terdepan dalam gerakan nasionalisme vaksin ini, termasuk AS.
Anarki internasional dalam bentuk nasionalisme vaksin itu juga dikawatirkan menimbulkan persaingan geopolitik antara China, AS, dan juga melibatkan Rusia. Kerjasama berbagai negara dengan produsen vaksin menunjukkan dukungan mereka atas perlombaan penemuan vaksin.
Hingga kini, pandemi Covid-19 telah menyebabkan lebih dari 200 negara terinfeksi. Persebaran global virus Covid-19 tidak mengenal negara kaya atau miskin, wilayah maju di Eropa atau terbelakang di Afrika, atau mayoritas/minoritas rasial/agama tertentu, bahkan negara-negara beriklim berbeda. Hampir semua negara terkena Covid-19 tanpa terkecuali.
Kerjasama Multilateral
Walau dunia tanpa AS dan dalam tekanan nasionalisme vaksin, dunia tampaknya menemukan keseimbangannya, yaitu keseimbangan atas nilai-nilai kemanusiaan di antara berbagai negara. Komitmen itu menjadi pendorong utama bagi berbagai inisiatif kerjasama multilateral, bahkan di antara beberapa negara maju yang dituduh melakukan nasionalisme vaksin.
Kerjasama multilateral sebenarnya telah menjadi salah satu isu global penting sejak awal pandemi Covid-19 menyebar ke berbagai negara. Kerjasama multilateral ini justru merupakan wujud paradoks dari perilaku negara-negara dalam menyikapi pesatnya persebaran virus corona. Di satu sisi, negara-negara mengambil kebijakan nasional membatasi mobilitas internasional manusia dan menutup pintu-pintu internasional.
Namun, di sisi lain, negara-negara juga menyadari kebutuhan akan jaminan suplai alat-alat kesehatan (essential goods) di tingkat domestik. Jaminan suplai ini dilakukan dengan tetap membuka pintu-pintu internasional itu bagi lalu-lintas barang khususnya alat-alat kesehatan antar-negara.
Kerjasama multilateral untuk merespon pandemi Covid-19 ternyata mengambil bentuk berbeda. Pertama, kerjasama multilateral tidak lagi bersifat vertikal dan koordinatif yang berujung pada PBB atau WHO sebagai otoritas global di bidang kesehatan.Â
Kritik atas kurang tanggapnya WHO di awal pandemi telah menyebabkan negara-negara tidak menggubris himbauan WHO. Selain tidak harus melibatkan PBB dan/atau WHO, kerjasama multilateral di masa pandemi juga tidak mengerucut pada kehadiran AS atau Cina atau negara kuat lainnya.Â
Kedua, ada kebutuhan bersama untuk meningkatkan peran dan kemampuan WHO dalam merespon dan menangani pandemi Covid-19 ini. Walaupun ada kesadaran kurang efektifnya peran WHO, berbagai negara tetap menganggap penting upaya peningkatan peran WHO.Â
Ini termasuk pada otoritas koordinatif WHO dalam pengembangan vaksin Covid-19. Oleh karena itu, upaya-upaya multilateral di antara berbagai negara selama ini juga dalam rangka penguatan kelembagaan WHO.
Berbagai inisiatif itu telah menghasilkan resolusi DK PBB mengenai pandemi Covid-19 ini. Hasil yang paling penting adalah komitmen multilateralisme vaksin bagi semua penduduk dunia atau vaccine for all.
Semangat kerjasama multilateral itu setidaknya telah menepis kekawatiran atasi anarki dalam hubungan internasional. Walaupun potensi konflik antar-negara tetap (bahkan tanpa pandemi Covid-19) ada, namun berbagai inisiatif multilateral itu tetap memperlihatkan komitmen berbagai negara terhadap solidaritas global yang lebih besar.
Perkembangan di awal 2021 nanti mungkin memperlihatkan bahwa AS akan mengambil peran kepemimpinan global lagi di bawah pemerintahan Biden. Namun demikian, kenyataan menarik yang berlangsung hingga di penghujung 2020 ini adalah bahwa kerjasama multilateral itu telah berjalan tanpa AS.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H