Di tengah hingar-bingar berbagai peristiwa politik domestik, kegiatan tahunan Bali Democracy Forum (BDF) dihelat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia dengan lancar dan sukses di tengah pandemi Covid pada 10-11 Desember 2020. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, acara BDF 2020 ini digelar secara virtual dan langsung dengan mengangkat tema "Democracy and COVID-19 Pandemic."
Pemerintah Indonesia melalui Kemlu tidak dapat disangkal telah menjadikan BDF ini sebagai ikon diplomasi demokrasi Indonesia di panggung internasional. Melalui BDF 2020, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memperoleh kesempatan secara langsung untuk berbagi pengalaman mempraktekkan demokrasi dalam menangani pandemi. Apalagi BDF ini termasuk merupakan kegiatan diplomasi multilateral terbesar di pemerintahan ke-2 Jokowi (2019-2024) di masa pandemi ini.
Yang Menarik
Ada beberapa hal penting dan menarik yang diusung di BDF 2020 ini.Â
Pertama, dari tema "Democracy and COVID-19 Pandemic. Menlu Retno Marsudi menegaskan bahwa pandemi merupakan "sebuah ujian bagi demokrasi dan nilai-nilai demokrasi. Forum BDF diyakini bisa menjadi wadah yang akan memberikan kesempatan bagi satu sama lain untuk saling membahas sejumlah masalah, seperti konsekuensi COVID-19 bagi demokrasi, pengaruh demokrasi dalam mitigasi dampak pandemi hingga cara mempertahankan demokrasi pasca-pandemi."
Pengalaman nyata beberapa negara demokratis menunjukkan bahwa sistem itu mengalami kegagapan serius dalam merespon pandemi. Sistem kesehatannya tampak kurang responsif, sehingga pandemi secara mengagetkan menimbulkan banyak korban di negara-negara Eropa dan Amerika.
Laporan majalah Times (05/10/2020) menegaskan melemahnya demokrasi ketika berhadapan dengan pandemi. 91 negara tercatat telah menerapkan kontrol baru terhadap media berita karena Covid-19 dan setidaknya 72 negara telah membatasi kebebasan bicara dan bersikap kritis kepada pemerintah, antara lain: India, Filipina, China, dan Rusia.
Meski begitu, kaitan langsung antara sistem demokrasi dengan keberhasilan penanganan pandemi memang masih bisa diperdebatkan. Meski begitu berbagai penelitian lebih melihat adanya variabel lain di dalam atau di luar sistem demokrasi yang menjadi penyebabnya.Â
Selain itu, kritik atas demokrasi juga tidak serta merta berdampak pada upaya mengganti sistem demokrasi. Meskipun bekerja tidak atau kurang efektif dalam masa pandemi, sistem demokrasi tetap yang terbaik dari pilihan-pilihan sistem politik yang ada pada saat ini. Survei mengenai Indeks Persepsi Demokratik 2020 bahkan menunjukkan 78% penduduk dunia masih mempercayai sistem demokrasi di negaranya.Â
Dengan demikian, penanganan pandemi ini diyakini justru menguatkan komitmen terhadap praktek demokrasi. Selain itu, demokrasi juga tidak perlu menghambat upaya bersama untuk mengatasi pandemi secara efektif, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Kedua, tema BDF 2020 ini juga mendorong bahwa demokrasi seharusnya membuka peluang dialog bagi pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat selama pandemi ini. Upaya ini dapat menjadi dasar kepercayaan antara masyarakat dan pemerintahnya.
Selain itu, demokrasi juga dipandang mampu mengakamodasi keterbukaan sebagai faktor penting untuk membangun kepercayaan masyarakat. Keterbukaan atau transparansi itu dapat diwujudkan melalui partisipasi semua pemangku kepentingan sebagai faktor-faktor utama dalam membangun kepercayaan di masa pandemi ini.
Partisipasi masyarakat, misalnya, dilakukan dengan cara melibatkan berbagai komponen masyarakat, seperti kelompok pengusaha, media, masyarakat sipil (Bali Civil Society and Media Forum), dan mahasiswa (melalui Bali Democracy Student Conference/BDFC) sejak 2018 hingga sekarang.
Tiga, BDF ke-13 telah berhasil dalam menekankan arti pentingnya sebagai forum untuk saling belajar mengenai penanganan pandemi Covid-19. Situasi pandemi ini tidak perlu lagi menempatkan jumlah peserta, perwakilan negara, dan jumlah kepala negara atau pemerintahan yang hadir di BDF ini sebagai prestasi BDF 2020, Â walaupun sebagai catatan historis mengenai dinamika penyelenggaraannya tetap masih relevan.
Apalagi sejak pemerintahan Jokowi 2014, BDF tidak lagi dibangun sebagai forum kepala negara atau pemerintahan. Ini sangat berbeda dengan citra high profile BDF yang dikembangkan selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Â
Selain itu, sejak awal perkembangannya di 2008, BDF digagas sebagai forum pembahasan isu demokrasi di wilayah Asia Pasifik. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa Presiden Jokowi tidak selalu hadir di forum tahunan ini.
Menlu Retno Marsudi membuka acara, yang dilanjutkan dengan pernyataan dari tujuh tokoh VIP, antara lain: Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Perubahan ini sangat signifikan selama pemerintahan Jokowi sejak 2014. BDF dikembalikan ke 'kittah'-nya sebagai forum antar-masyarakat dari berbagai negara untuk berbagi pengalaman berdemokrasi.Â
Keempat, perkembangan BDF sejak 2008 menunjukkan bahwa forum tahunan ini memiliki cara yang unik dalam menyebarkan demokrasi. Saling belajar mengenai praktek demokrasi di antara negara-negara peserta menjadi tujuan strategis BDF. Setiap peserta berbagi pengalaman mengenai nilai-nilai demokrasi yang diterapkan di negaranya masing-masing.Â
Satu hal yang sangat menarik dari BDF adalah pengakuan bahwa praktek demokrasi tiap negara bersifat unik dan berbeda dengan negara lainnya, walaupun ada ukuran tertentu mengenai tingkatan demokratis pemerintahan di sebuah negara.
Kelima, perubahan lain dalam penyelenggaraan BDF di era pemerintahan pertama Jokowi adalah perluasan forum BDF ke negara-negara lain, seperti: BDF Chapter Tunisia (2017) untuk promosi demokrasi di Afrika Utara.
Isu utama yang dibicarakan adalah kerja sama di bidang penguatan demokrasi berbasis lokal (homegrown democracy). Pada 2018, BDF chapter Berlin diadakan dengan tujuan pertukaran pengalaman guna menangani isu migrasi serta berbagai sistem demokrasi dan perbedaannya. Sejak awal 2020, pandemi telah menunda kontinuitas perluasan forum-forum BDF ke negara-negara lain.Â
Tantangan
Apresiasi yang tinggi perlu diberikan ke Kemlu atas keberhasilan penyelenggaraan BDF 2020 di tengah pandemi. BDF ini termasuk forum multilateral terbesar pertama yang diadakan secara hybrid, yaitu campuran antara sebagian virtual dan sebagian peserta hadir dengan protokol kesehatan secara ketat di Denpasar, Bali.
BDF 2020 secara virtual dihadiri sekurangnya 1.000 orang dari 71 negara dan 4 organisasi internasional. Sementara itu, 44 peserta dari 26 negara dan 3 organisasi internasional hadir secara langsung di Nusa Dua, Bali.
Beberapa hal penting menjadi tantangan Kemlu sebagai aktor utama dalam diplomasi demokrasi Indonesia ini.
1. Kemlu perlu menegaskan capaian forum tahunan BDF ini dalam kerangka politik luar negeri Indonesia (PLNI) yang bebas dan aktif. Pengalaman baik dan rutinitas kesukseksan penyelenggaraan secara tahunan perlu dipakai sebagai titik berangkat untuk lebih berorientasi pada hasil konkrit yang ingin dicapai setiap tahun. Hasil konkrit itu perlu ditempatkan dalam kerangka strategi jangka panjang berkaitan dengan domain BDF di dalam diplomasi soft power Indonesia.
2. Dengan cara itu, Kemlu perlu mengidentifikasi dan memetakan posisi Indonesia dalam diplomasi demokrasi di berbagai forum multilateral, termasuk yang berkaitan dengan isu kesehatan, khususnya pandemi Covid-19 ini. Di tahun-tahun mendatang, diplomasi demokrasi perlu dikaitkan dengan isu-isu kesehatan, termasuk vaksinasi dalam konteks nasional maupun global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI