Bagi penulis pemula, khususnya, ketidaktahuan mengenai sesuatu yang hendak ditulis tentu saja merupakan salah satu hambatan besar untuk menulis. Seorang penulis, misalnya, mempunyai ide untuk menulis sesuatu yang sangat bagus, komprehensif, dan berkaitan dengan nasib bangsa. Ada idealisme dan norma-norma positif dalam ide tulisannya. Persoalannya adalah penulis itu tidak tahu banyak informasi tentang obyek tulisannya.
Lalu, bisakah menulis sesuatu karena ketidaktahuan? Menulis karena tidak memiliki data atau informasi mengenai obyek tulisan? Tentu saja bisa. Kita perlu optimis dan tetap berpikiran terbuka. Optimis bahwa semua persoalan atau isu yang menjadi obyek itu bisa ditulis atau menjadi tulisan. Kita harus memiliki pikiran terbuka, yaitu menulis itu cara berekspresi melalui tulisan secara bebas. Karena sikap optimisme dan berpikiran terbuka itulah, tulisan ini memiliki alasannya.
Mungkin cara berpikirnya perlu dibalik, yaitu kita menulis karena keingintahuan. Rasa ingin tahu itu disebabkan oleh ketidaktahuan. Tulisan ini berbeda dengan tulisan saya berjudul “4 Cara Melahirkan Ide” dan “Trik Jitu Memilih dan Memilah Ide Untuk Menulis”. Pada tulisan pertama, penulis benar-benar tidak memiliki ide, namun sangat ingin menulis. Sedangkan tulisan kedua menghadapi penulis yang kebanjiran ide, sehingga perlu dibantu dengan memilah dan memilah ide.
Nah, posisi penulis pada tulisan ini berada sedikit di atas tulisan pertama, tetapi masih jauh di bawah tulisan kedua. Dalam konteks itulah, tulisan ini hadir berbagi cara menulis dengan skenario tidak tahu tentang obyek yang hendak ditulis. Ketidaktahuan ini artinya penulis tidak memiliki informasi yang dibutuhkan untuk menulis. Kita akan mengalami kesulitan untuk menulis sesuatu yang sama sekali tidak diketahui, walau solusi biasanya dapat diperoleh.
Baiklah.... walaupun tidak tahu, kegiatan menulis dapat tetap dilakukan dengan beberapa cara.
1. Menulis sesuatu yang sepele, sederhana, kecil, dan tidak menjadi perhatian banyak orang. Seorang penulis pemula sering ingin menulis sesuatu yang besar dan kompleks. Isu reshuffle kabinet yang menjadi salah satu topik pilihan bisa dianggap sebagai ide besar maupun ide kecil dalam pengertian cakupan bahasannya. Bagi penulis berpengalaman, isu reshuffle bisa dipilah berdasarkan beberapa ide seperti perlu atau tidaknya, reshuffle besar atau sebagian (mengisi jabatan 2 kementerian yang kosong), sebagai bentuk tekanan dari luar (kelompok kritis/oposisi) atau kebutuhan internal pemerintah, dan lain-lain.
Sedangkan penulis pemula bisa saja menghadapi situasi yang lebih kompleks, seperti keinginan untuk memasukkan banyak isu dalam tulisannya. Sementara itu, ruang tulisan terbatas sehingga penulis pemula mengalami kesulitan untuk menulis sesuatu yang baru dari tulisannya. Kesulitan menemukan fokus tulisan. Oleh karena itu, kemampuan menemukan sesuatu yang sepele, sederhana, atau unik dari isu reshuffle kabinet sangat diperlukan oleh seorang penulis pemula.
2. Menuliskan ketidaktahuan tentang obyek tulisan secara terus-terang. Cara menulis seperti ini agak berbeda dengan nomer tiga. Penulis secara terbuka menulis dan membahas mengenai sesuatu yang diketahui saja. Ketika sesuatu itu bisa berkaitan dengan isu-isu lain, penulis secara terus-terang mengatakan keterbatasannya atau ketidaktahuannya dengan cara yang elegan secara tertulis.
3. Menggunakan kalimat-kalimat tanya untuk menegaskan ketidaktahuan. Saya pernah membaca tulisan yang berisi banyak pertanyaan di dua alinea pertama di bagian pendahuluannya. Sangat menarik membaca tulisan itu. Ditulis dengan cara berbeda, tetapi tetap mengandung analisa menarik mengenai isu politik tertentu. Sayang sakali saya lupa judul tulisan itu. Cara menulis seperti ini sangat menarik karena berbagai pertanyaan itu ditulis di bagian awal tulisan, sehingga pembaca diajak memahami situasi penulis. Dari berbagai hal yang tidak diketahui itu, lalu penulis mencoba membahas isu tertentu yang diketahuinya saja.
4. Mencari data atau informasi dengan membaca pustaka, observasi, dan wawancara. Ini menjadi cara yang dilakukan banyak penulis jika memang ingin belajar lebih banyak untuk menjadi bahan dalam kegiatan menulis. Melakukan riset dalam bentuk membaca, bahkan observasi dan wawancara menjadi bagian penting bagi tulisan-tulisan akademik atau serius. Ada argumentasi yang didukung data atau informasi yang diperoleh dari studi pustaka dan/atau wawancara.
5. Banyak membaca tulisan-tulisan para Kompasianer:) Cara ini bukan merupakan pesan sponsor. Ide tulisan ini muncul karena saya kecanduan atau istilah kerennya addicted membaca tulisan-tulisan Kompasianer. Ada-ada saja ide untuk menulis dan menjadi tulisan yang sangat inspiratif. Banyak tulisan di Kompasiana yang membuat saya kaget karena dibahas dengan cara berbeda.
Bahkan, bahasan mengenai isu tertentu yang sangat sensitif bisa dilakukan dengan bentuk yang berbeda dan ditulis dengan apik. Kompasiana ini ibarat sebuah 'supermarket' atau 'mall', Kita bisa menemukan berbagai macam tulisan, dari yang humor, serius, dan sensitif hingga yang menyedihkan.
Selain itu, banyak tulisan yang bentuknya out of the box alias tidak terlalu terpaku atau terperangkap pada aturan mainnya. Misalnya, satu bait puisi harus memiliki empat baris. Jadi, saya coba memaknai kata kecanduan yang cenderung negatif itu menjadi positif.
Sambil membaca, saya mengamati beberapa hal dari tulisan-tulisan inspiratif para Kompasianer. Saya pun mencoba meniru dengan mencoba belajar menulis cerita pendek (cerpen). Saya belajar menulis cerpen ‘yang lebih pendek’ atau yang yang lebih dikenal sebagai cerita tiga kalimat (tatika).
Sebelum saya tutup tulisan ini, saya perlu menyampaikan bahwa cara-cara ini hanya sebagian kecil saja dari melimpah ruahnya cara yang tersedia dan bisa dicari di mesin pencari google atau bing. Cocok atau tidaknya cara tersebut sangat tergantung pada praktek menulis dari penulis itu sendiri. Berlatih menulis setiap hari, satu hingga tiga alinea mengenai berbagai hal yang ada di depan kita akan menjadi ujian tersendiri bagi penulis pemula.
Seorang pelatih menulis mengatakan jika ingin menulis cerpen, maka bacalah 5-7 cerpen setiap hari selama 2 minggu. Dengan cara itu, seorang penulis pemula dapat belajar mengenai banyak hal dari cerpen-cerpen yang dibacanya. Misalnya gaya tulisan, cara menuliskan ide, bentuk cerpen, dan seterusnya. Dari pengalaman membaca banyak cerpen itu, seorang penulis bisa langsung menulis cerpen tanpa harus menunggu waktu 2 minggu itu.
Ada banyak proses dalam kegiatan menulis, tetapi, paling tidak, ada tulisan yang dihasilkan dari situasi ketidaktahuan. Harapannya, situasi itu akan mendorong penulis untuk berkembang dan selalu belajar, sehingga semakin tahu dan paham tentang isu-isu yang hendak ditulis. Soal pilihan kata dan lain-lain yang terkait dengan proses editing substansi dari sebuah tulisan bisa 'diurus' belakangan.
Harap diingat, konteks tulisan ini adalah menulis karena ketidaktahuan. Jika ketidaktahuan tentang sesuatu saja bisa dihasilkan sebuah tulisan, apalagi jika kita memiliki pengetahuan. Oleh karena itu, satu tulisan selesai atau jadi dapat menjadi sebuah motivator bagi munculnya tulisan-tulisan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H