Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Skor 3-0, China Menang atas AS

24 November 2020   18:45 Diperbarui: 24 November 2020   18:51 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika hubungan internasional hingga akhir 2020 ini secara jelas didominasi atau, bahkan, dimenangkan oleh China dengan skor 3-0 atas Amerika Serikat (AS). Menurut saya, ketiga skor itu diperoleh China dari keunggulannya dalam mengelola tiga isu global, yaitu konflik Laut China Selatan (LCS), pandemi Covid-19, dan kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP). Ketiga isu besar itu berkaitan erat dengan peningkatan hegemoni China melawan AS, khususnya di kawaasan Asia-Pasifik

Mari kita membahas ketiga isu besar itu satu per satu. Tujuannya adalah untuk melihat konsekuensi isu itu terhadap rivalitas China-AS yang berujung pada dominasi China.

1. Konflik klaim di perairan Laut China Selatan (LCS). Konflik ini telah menyebabkan beberapa negara di Asia-Pasifik memiliki sikap berbeda terhadap rivalitas AS dan China di LCS. 

AS di bawah pemerintahan Donald Trump cenderung menggunakan kekuatan militer untuk mengimbangi peningkatan kehadiran militer China di LCS. Hampir tidak ada upaya diplomatis dari kedua pihak untuk melakukan perundingan perdamaian secara langsung. Presiden Trump bahkan tidak merasa perlu mengadakan pertemuan khusus dengan pemimpin China Xi Jinping, seperti yang dilakukannya dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura.

Di LCS, kehadiran militer AS bahkan didukung armada pertahanan laut dari beberapa negara  (seperti Malaysia, Vietnam, India dan Australia) dalam rangka mendukung kebebasan navigasi dan lalu lintas laut di LCS.

Konflik ini merupakan buntut dari klaim sepihak China atas hampir 80% wilayah perairan itu. Klaim China ini mengabaikan keputusan hukum internasional yang menyatakan wilayah tertentu adalah milik Filipina. Ada empat (4) negara yang berkonflik langsung menentang klaim China itu, yaitu Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei. Sementara itu, Jepang dan Korea Selatan merupakan sekutu dekat AS. 

Dapat dikatakan bahwa China mampu mengimbangi kekuatan militer AS dan sekutunya di LCS. Ekskalasi konflik di LCS dengan kehadiran kapal induk AS bahkan memicu prediksi perang dunia III dimulai dar kawasan ini.

2. Pandemi Covid-19 sejak penanganan persebaran pandemi hingga penemuan vaksin. Masalah pandemi Covid-19 ternyata mampu membuat China menunjukkan kekuatan diplomasi kesehatan globalnya dibandingkan dengan AS. China mampu memposisikan diri sebagai mitra utama di dunia paska-Covid-19, termasuk dalam akses terhadap distribusi global vaksin. 

China mampu mengubah pandemi Covid-19 dari persoalan berat menjadi peluang meneruskan ambisinya sebagai negara besar itu. China terdampak berat akibat pandemi itu, namun kenyataan juga memperlihatkan China mampu menggunakan jaringan negara-negara di dalam BRI itu untuk menjalankan diplomasi kemanusiaan dalam penanganan Covid-19. Walaupun negara-negara di Eropa seperti Italia justru mengelu-elukan China, NATO dan Uni Eropa mencurigai motif bantuan China.

Sementara itu, negara-negara anggota ASEAN malah berbeda dalam kerjasama penyediaan vaksin Covid-19 bagi warganegaranya. Indonesia, Filipina, Kamboja lebih bekerjasama dengan China. Sedangkan Singapura bekerjasama dengan Amerika Serikat (AS). Kecenderungan itu juga mencerminkan kepentingan geopolitik masing-masing negara anggota ASEAN terhadap rivalitas antara AS dan China di kawasan Asia Tenggara. Seperti konflik di LCS, penanganan pandemi justru menimbulkan perbedaan sikap negara-negara di Asia Tenggara terhadap AS dan China.


3. Kesepakatan RCEP dengan 15 negara anggota dan dukungan kuat China. RCEP secara jelas menunjukkan kemenangan diplomasi ekonomi China di kawasan Asia Pasifik. 

Selama ini, China memperoleh protes dan perlawanan keras dalam konflik klaim di perairan LCS dan penanganan pandemi Covid-19 (sejak awal penyebaran pandemi, pengembangan vaksin, dan isu vaksinasi global). Perlawanan berbagai negara terhadap China di kedua masalah itu bahkan menunjukkan persaingan geopolitik lebih luas antara China dan AS. Kedua isu itu bahkan dicurigai sebagai upaya sistematis China untuk meningkatkan hegemoninya di tengah berkurangnya hegemoni AS di kawasan ini.

Sementara itu, RCEP justru memberikan kemenangan tak terduga bagi China. Melalui RCEP, 14 negara dan China justru menunjukkan komitmen penuh, termasuk negara-negara yang selama ini menentang atau berbeda pandangan dengan China dalam persoalan LCS, dan pandemi, serta lebih mendukung kepemimpinan AS di kawasan ini.


Potensi Masalah
Ketiga isu itu membuat China dapat dianggap berada dalam proses membangun hegemoni ekonominya, dalam perdagangan bebas di Asia Pasifik. Kabar terakhir, China mungkin bergabung dengan Trans Pasific Partnership (TPP). Presiden Trump keluar dari TPP bentukan AS di era Presiden Obama itu 2017.

Sementara itu, kesepakatan ke-14 negara (selain China) terhadap RCEP tidak berarti bahwa konflik atau perbedaan pandangan beberapa negara dengan China dalam isu LCS dan pandemi Covid-19 menjadi hilang begittu saja. Kesepakatan dalam RCEP secara jelas juga tidak menghilangkan situasi konfliktual dalam dukungan geopolitik terhadap AS dalam konteks rivalitas AS dan China.

Dukungan terhadap AS ini harus diwaspadai oleh China karena pendukung AS cenderung melakukan penentangan terhadap peningkatan kehadiran dan hegemoni China. China pun tampaknya perlu menerapkan strategi baru agar ke-14 negara itu tetap mempertahankan kesepakatannya di dalam RCEP dan tidak mengikuti jalan India.

RCEP memang sepertinya menyempurnakan bangunan hegemoni ekonomi China di kawasan Asia Pasifik ini. RCEP tidak dapat disangkal lagi merupakan simbol kemenangan besar China dalam perdagangan bebas di kawasan ini. China, bukan AS, dapat dikatakan sebagai pemenang perdagangan bebas (the champion of free trade) di tengah konflik LCS dan pandemi Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun