Terpilihnya Joe Biden menjadi Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) seakan membawa optimisme bagi dunia, termasuk Presiden Jokowi.
Sangat wajar ketika para pemimpin berbagai negara memberi ucapan selamat kepada Biden sembari berharap prospek hubungan bilateral semakin meningkat dan lebih menguntungkan. Padahal persoalan domestik di AS yang dihadapi Biden tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Biden mewarisi polarisasi politik domestik tajam dari pemerintahan Trump.Â
Protes Trump terhadap hasil pemilu diikuti pawai unjuk kekuatan pendukung Trump di berbagai negara bagian. Ibaratnya, Trump boleh kalah pemilu presiden 2020, tetapi Trumpism bisa menjadi kekuatan politik yang secara potensial bisa mengganggu pemerintahan Biden.Â
Selain itu, Biden juga mewarisi persoalan penanganan pandemi Covid-19. Isu ini diyakini akan mempengaruhi pemulihan peran global AS, sebagaimana sebelum Trump berkuasa pada 2016.
Upaya memahami persoalan AS ini sangat penting untuk mencari alternatif kebijakan global jika harapan Presiden Jokowi dan dunia tidak bisa dipenuhi Biden. Kemungkinan Biden mengembalikan kejayaan global AS tetap saja terbuka, namun tidak dalam waktu cepat karena fokus perhatian Biden lebih kepada persoalan domestik itu.
Harapan kepada AS
Presiden Jokowi atau dunia pada umumnya memiliki harapan kepada Biden. AS sebagai negara superpower memiliki pola kesinambungan dalam kebijakan luar negerinya.Â
Kebijakan luar negeri seorang presiden AS biasanya merupakan cerminan dari kebijakan partai politik presiden AS itu berasal. Kebijakan luar negeri presiden Trump dari partai Republik sangat berbeda dari Joe Biden yang dari partai Demokrat.Â
Pertama, perubahan orientasi kebijakan AS dari kecenderungan mengutamakan kepentingan domestik menjadi berorientasi global. AS diharapkan terlibat aktif dan konstruktif dalam berbagai upaya mengatasi persoalan global, termasuk pandemi Covid-19.Â
Kedua, AS diharapkan menggunakan cara-cara diplomatis melalui berbagai mekanisme kerjasama. Kecenderungan AS menarik diri dari keanggotaan pada beberapa organisasi multilateral pada masa Presiden Donald Trump perlu dipulihkan kembali. AS perlu masuk lagi menjadi anggota WHO, TPP, aliansi nuklir, dan lain-lain.
Di Asia, kehadiran pengaruh dan kepemimpinan AS sangat diperlukan oleh ASEAN dalam rangka contructive enggagement dengan China melalui berbagai kerangka kerjasama.
Kedua harapan utama itu diharapkan akan dijalankan oleh AS di bawah pemerintahan Biden mulai 20 Januari 2021 mendatang. Walaupun Presiden Trump akan memperkarakan kemenangan Biden, proses politik domestik di AS diyakini akan mengarah pada penyelesaian yang tidak mengganggu berjalannya pemerintahan baru, termasuk dalam kebijakan luar negeri.
Kebijakan itu sangat berbeda dengan milik Partai Republik yang cenderung nasionalistik, mengutamakan hubungan bilateral, dan meninggalkan partisipasi internasional yang tidak menguntungkan AS. AS bahkan berani mengambil resiko besar merusak hubungan dengan negara-negara sekutunya di Eropa, jika hubungan itu merugikan AS.Â
Trump mengambil kebijakan 'menyabotase' alat-alat kesehatan dan obat-obatan terkait dengan pandemi Covid-19 yang sudah dipesan negara-negara di Eropa dengan membayar harga lebih mahal demi ketersediaannya di tingkat domestik. Kebijakan semacam ini belum pernah dijalankan presiden AS dari Partai Republik hingga yang terakhir, yaitu Presiden Obama.
Harapan Jokowi dan dunia terhadap Biden itu merupakan sesuatu yang wajar terjadi ketika sebuah negara mengalami perubahan kepemimpinan. Hal ini berkaitan dengan prospek hubungan bilateral, misalnya, antara Indonesia dan AS.
Selama Trump menjabat Presiden ke-45 AS, Indonesia merupakan mitra strategis AS. Namun demikian, Trump cenderung meninggalkan kesan yang cenderung tidak menyenangkan bagi Indonesia.Â
Pertama, Presiden Trump tidak hadir pada tiga (3) KTT ASEAN, termasuk KTT ke-37 yang diadakan 12-15 November ini. Padahal para pemimpin negara yang hadir, termasuk Presiden Jokowi, biasanya menggunakan kesemlatan KTT ini untuk mengadakan pertemuan bilateral juga. Konsekuensinya adalah kedua negara kehilangan kesempatan diplomatis membicarakan peningkatan hubungan bilateral.Â
Kedua, kurangnya pertemuan di antara Jokowi dan Trump menimbulkan kesalahan persepsi di antara AS dan Indonesia. Kebijakan Trump menempatkan Indonesia ke dalam kelompok negara maju bisa dipakai sebagai contoh.
Di satu sisi, kebijakan itu mengangkat status ekonomi dan citra internasional Indonesia. Namun di sisi lain, peningkatan status itu menimbulkan persoalan bagi produk-produk ekspor Imdonesia ke AS. Dengan status baru itu, produk Indonesia tidak berhak lagi menikmati fasilitas tarif impor GSP.
Pada kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo tampaknya Presiden Trump ingin memperbaiki hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Sebelum mengakhiri kunjungan di Indonesia, Menlu Pompeo memperpanjang fasilitas GSP bagi produk Indonesia, sehingga tarif impor menjadi lebih rendah.Â
Sementara itu, hubungan bilateral secara umum berjalan baik sebagai negara sahabat. Beberapa fakta ini menjadi pertimbangan mengenai posisi Indonesia bagi AS dan sebaliknya.Â
AS bukan negara investor asing utama bagi Indonesia yang sekarang diduduki oleh Singapura, China, dan Jepang. Beberapa komitmen investasi AS di Pulau Natuna atau relokasi beberapa perusahaan AS ke Jawa Tengah belum mencapai tahap realisasi.Â
Indonesia sendiri bukanlah sekutu strategis AS di kawasan Asia dan Asia Tenggara ini. Bagi AS, posisi Jepang, Korea Selatan, Australia masih lebih strategis dalam konteks perdamaian dan kepentingan regional AS di kawasan ini.
Para pemimpin negara-negara sekutu penting di Asia itu pada Kamis, 12 November 2020, berbicara dengan Presiden terpilih Biden mengenai masalah-masalah global yang mendesak, termasuk pandemi Covid-19.
Sementara penolakan Jokowi terhadap pemintaan AS tentang ijin pengisian bahan bakar bagi pesawat tempur AS memberi indikasi penting mengenai posisi Indonesia dalam mendukung kepentingan AS di kawasan ini.
Beban Domestik Biden
Salah satu isu penting dari harapan Indonesia terhadap perubahan kebijakan global AS adalah kemungkinan kebijakan Biden sama dengan pemerintahan Obama, tapi pada prakteknya bisa berbeda.Â
Fakta bahwa Biden menjabat sebagai Wakil Presiden selama 2 periode pemerintahan Obama bisa menjadi rujukan mengenai kemungkinan spektrum kebijakan Biden di kawasan itu.Â
Beberapa kebijakan Obama seperti Asia Pivot atau Resurgence yang berorientasi ke Asia sejak 2011 menjadikan kawasan ini lebih vital bagi kepentingan ekonomi AS. Selain itu Obama juga meningkatkan kerjasama pertahanan dengan lima sekutunya di Asia dan Pasifik, serta memajukan perjanjian perdagangan bebas Kemitraan Trans-Pasifik (Trans Pacific Partnership/TPP) yang dibatalkan Trump pada tahun 2017.
Namun demikian, kebijakan global Biden dipercaya menghadapi beban berat di tingkat domestik AS. Faktor domestik mengenai persoalan penanganan Covid-19 sebagai warisan dari pemerintahan Trump dapat secara potensial mempengaruhi warna kebijakan global AS di bawah Biden.Â
Fokus perhatian pada masalah domestik Covid-19 ini akan mempengaruhi berbagai kerjasama AS dengan berbagai lembaga internasional dan negara-negara di berbagai kawasan, termasuk Indonesia.Â
Faktor domestik ini tidak ada pada masa dua (2) periode pemerintahan Obama. Akibatnya, kemungkinan kebijakan luar negeri Biden berbeda dari Obama sangat mungkin terjadi. Selanjutnya, Jokowi dan dunia harus mempersiapkan diri menghadapi kebijakan luar negeri AS yang mungkin berbeda, walau Biden dan Obama berasal dari partai politik yang sama.
Salah satu tantangan besarnya adalah menyeimbangkan kembali aktifnya AS di berbagai forum kerjasama multilateral, tanpa mengabaikan penanganan pandemi di negerinya sendiri. Bahkan AS mungkin bisa membuka diri lewat sharing informasi dan berbagai upaya nyata yang telah dilakukan selama ini oleh pemerintahan Trump.
AS kembali masuk menjadi anggota WHO, menjamin membayar iuran tahunan keanggotaan WHO, dan ikutserta secara aktif dan konstruktif dalam penemuan vaksin Covid-19 dan penyediaannya secara global, aman, dan terjangkau. Selain itu, keikutsertaan AS dalam forum multilateral dapat memberikan pengaruh berbeda dalam mengurangi kecenderungan nasionalisme vaksin selama ini.Â
Bagi negara-negara Asia, kehadiran kembali AS dapat berperan menjadi penyeimbang meningkatnya posisi China di kawasan ini. Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang disepakati 15 negara di KTT ke-37 ASEAN menjadi simbol kemenangan ekonomi China di kawasan ini, tanpa kehadiran AS.Â
Dalam konteks ini, pemahaman Presiden Jokowi dan kepala negara atau pemerintahan berbagai negara terhadap situasi domestik Biden dapat mengurangi kekecewaan jika harapan itu tidak terpenuhi. Kapabilitas AS sebagai pemimpin atau untuk memainkan peran global akan sangat tergantung pada kapabilitasnya menangani pandemi di tingkat domestik.Â
Oleh karena itu, Indonesia dan berbagai negara harus bisa menyakinkan AS bahwa partisipasi globalnya akan juga meningkatkan kapabilitas domestiknya dalam menangani pandemi Covid-19.
Bagi Indonesia, pemerintahan Presiden Jokowi perlu memiliki pengetahuan mengenai dinamika perubahan dan kesinambungan kebijakan luar negeri di bawah Presiden terpilih Biden.Â
Tujuan utamanya adalah menjadikan Indonesia sebagai subyek, bukan obyek, dalam hubungan internasional. Dengan peran sebagai subyek itu, Indonesia dapat memanfaatkan setiap kebijakan luar negeri dari suatu negara, termasuk AS, tanpa tergantung pada siapa yang menjadi presidennya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H