Berkah tersembunyi atau blessing in disguise adalah manfaat tak terduga yang muncul dari sesuatu yang sebenarnya tidak diharapkan. Kenyataan itu terjadi pada anggota-anggota Persatuan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (Association of South East Asian Nations/ASEAN) ketika mereka harus menyikapi berbagai peristiwa atau persoalan atau perilaku negara-negara besar.Â
Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-37 ASEAN (12-15 November 2020) berlangsung dalam situasi bahwa negara-negara anggota ASEAN tidak bersatu. Organisasi regional di Asia Tenggara yang menuntut kesatuan (unity) ini dihadapkan pada persoalan pelik, yaitu perbedaan (disunity) sikap anggotanya. Padahal kesatuan itu menjadi semacam sokoguru bagi organisasi regional ini dalam menghadapi berbagai persoalan regional selama ini.Â
Perbedaan
Penyebabnya adalah pandemi Covid-19 dan klaim China atas Laut China Selatan. Kedua masalah itu seolah menunjukkan tabu bagi ASEAN. Kedua isu besar itu menyebabkan negara-negara anggota ASEAN memiliki sikap berbeda.
ASEAN harus menerima kenyataan pahit bahwa ke-10 negara anggotanya tidak bisa bersatu. Perbedaan sikap ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru di ASEAN. Pertama, kecenderungan nasionalistik itu sebenarnya sudah berlangsung sejak awal pandemi dan masih berlangsung hingga sekarang. Ke-10 negara anggota ASEAN itu masih menutup pintu internasional masing-masing bagi warganegara ASEAN. Alasan terakhirnya adalah kekhawatiran terhadap kasus impor pandemi Covid-19.
Kedua, negara-negara anggota ASEAN juga berbeda dalam kerjasama penyediaan vaksin Covid-19 bagi warganegaranya. Indonesia, Filipina, Kamboja lebih bekerjasama dengan China. Sedangkan Singapura bekerjasama dengan Amerika Serikat (AS). Kecenderungan itu juga mencerminkan kepentingan geopolitik masing-masing negara anggota ASEAN terhadap rivalitas antara AS dan China di kawasan Asia Tenggara.
Ketiga, negara-negara anggota ASEAN juga tidak bisa bersatu menghadapi konflik klaim di perairan LCS. Konflik antara China dan 4 negara anggota ASEAN (Vietnam, Filipina, Brunei Darusallam, dan Malaysia) telah mempersulit posisi ASEAN. Mereka tidak bisa menyatukan posisi mereka berempat untuk bersama-sama menantang China.Â
Yang lebih merepotkan adalah perbedaan sikap atau kebijakan nasional itu ternyata juga mencerminkan tatanan geopolitik pada saat ini, berkaitan dengan posisi AS dan China di kawasan ini.
Kedua negara besar itu menganggap ASEAN penting dan strategis bagi kepentingan regional mereka, sehingga kedua negara saling berebut dukungan dari negara-negara itu. Bahkan AS dan China terlibat dalam perang opini di antara para diplomatnya dan, bahkan, di antara Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo dengan Menlu China Wang Yi.
Perbedaan kebijakan itu bahkan melebar pada perbedaan dukungan mereka terhadap manuver Amerika Serikat (AS) di perairan LCS. Dibandingkan ketiga negara lain (Vietnam, Brunei, dan Malaysia) yang cenderung di pihak Amerika Serikat (AS), Filipina lebih memihak China. Sementara itu, Filipina, Indonesia, Kamboja bekerjasama dengan China dalam isu pandemi dan vaksin Covid-19; Singapura dan Malaysia lebih ke AS.Â
Rebutan Dukungan
Nasib kebersatuan ASEAN harus dihadapkan pada kenyataan memprihatinkan bahwa negara-negara anggota ASEAN dipaksa atau terpaksa tidak bisa bersatu menghadapi pandemi Covid-19 dan konflik klaim di Laut China Selatan (LCS). Kedua masalah eksternal itu ternyata juga tidak bisa mendorong ke-10 negara anggota ASEAN untuk bersatu padu bertindak bersama dan keluar dari kedua masalah itu.Â
Yang bisa dilakukan ASEAN adalah tidak mengambil sikap memihak terhadap kekuatan besar (AS dan China), dan lebih fokus kepada upaya-upaya proaktif ikut merespons persoalan-persoalan regional, seperti pandemi Covid-19 dan konflik di LCS. Masalah pandemi dan vaksin Covid-19, serta konflik LCS memang memaksa negara-negara anggota ASEAN tidak bisa bersatu.Â