Perkembangan teknologi telah memungkinkan banyak hal bisa dilakukan dengan cara lain secara tidak terduga. Banyak kegiatan mengalami perubahan dalam praksisnya. Akibatnya, makna lama dari kegiatan itu pun tanpa disadari telah mengalami pergeseran.
Misalnya, menulis tidak lagi dimaknai sekedar sebagai kegiatan mencoretkan bolpoin atau potlot di atas secarik kertas. Campur tangan teknologi ---baik itu digital maupun internet--- telah membuat kegiatan menulis diartikan sebagai mengetikkan huruf-huruf keyboard di hp dengan menggunakan aplikasi menulis. Konon, ini istilahnya adalah perluasan makna. Â
Nah, tulisan ini mencoba membahas kata atau kegiatan bicara atau berbicara, khususnya berbicara sebagai salah satu cara untuk menulis. Segera saja banyak pertanyaan muncul: Lho kok bisa? Menulis dengan cara bicara? Langsung bicara saja kalau mau menulis? Kegiatan menulisnya di mana? Menulis itu kan proses mengetikkan huruf-huruf keyboard di kertas-kertas digital ala words? Apakah menulis sudah diganti dengan bicara? Bagaimana caranya?
Serentetan pertanyaan yang bisa dibuat lebih panjang lagi untuk menguak sebuah kegiatan yang rasanya sepele, tetapi penting, yaitu menulis dan bicara. Sepele karena menulis dan bicara adalah kegiatan alamiah yang kita lakukan setiap waktu. Saking seringnya kita melakukan kedua kegiatan itu, kita kadang-kadang seperti tidak perlu berpikir ulang ketika ingin melakukannya.
Namun kenyataan itu menjadi berbeda dan memerlukan perhatian ketika kedua kegiatan itu saling berkaitan. Ada teknologi yang menjembatani kedua kegiatan itu, tepatnya aplikasi. Pada dasarnya, aplikasi ini memiliki kompetensi mengubah suara menjadi text.
Ada beberapa aplikasi dengan fungsi itu, seperti speechnote, speech to text, dan lain-lain. Aplikasi lain bisa dicari di dua ‘gudang’ aplikasi sesuai gawai masing-masing. Jika anda pengguna Google dan keluarganya, ada Google docs sehingga lebih leluasa, tidak perlu mengunduh aplikasi baru.
Di sini saya tidak akan membahas aspek teknis aplikasi itu. Untuk aspek teknis, silahkan browsing di mesin pencari. Fokus saya lebih pada dampak berbagai aplikasi itu bagi keseharian kita. Harapannya tentu saja adalah aplikasi-aplikasi itu mempermudah kita melakukan kegiatan masing-masing. Sukur-sukur, aplikasi itu bisa mendukung pekerjaan kita.
Bayangkan, dengan menggunakan aplikasi itu:
1. kita bisa bicara langsung di dekat speaker gawai kita. Dengan kecepatan bicara tertentu, aplikasi itu akan langsung menuliskan kata per kata dan macam-macam kalimat yang keluar dari mulut kita. Langsung dan dalam bahasa Indonesia! Ada setingannya ke bahasa kita. Bayangkan, seandainya anda bisa multitasking: berbicara di aplikasi itu menulis sesuatu dan, pada saat yang sama, jari-jemari anda sedang menari-nari di gawai lain menulis sesuatu yang berbeda. Wah...hehehe...
2. kita bisa juga menulis tanpa ‘menulis’. Kata menulis yang kedua sebenarnya adalah berbicara. Di sini, kita menulis dengan meletakkan gawai di dekat orang yang berbicara. Seperti seorang wartawan yang menggunakan alat perekam atau recoder untuk merekam orang yang diwawancarai, kita memakai aplikasi ini supaya wawancara itu bisa langsung ditulis melalui aplikasi ini.
3. masih sama dengan cara nomer dua, namun bedanya adalah gawai didekatkan ke gawai lain untuk menghasilkan tulisan. Misalnya anda memiliki hp dan laptop (atau gawai lainnya). Hp dengan aplikasi itu bisa didekatkan ke laptop yang sedang memutar YouTube atau Podcast atau suara tertentu. Aplikasi itu akan langsung menuliskannya.
Tiga cara itu paling tidak bisa mengubah suara menjadi tulisan dengan bantuan aplikasi di atas. Bagi saya kemampuan aplikasi mengubah suara menjadi text ini merpakan sesuatu yang baru. Siapa tahu suatu kali anda merasa capek atau malas menggerakan jejari anda, aplikasi semacam ini bisa membantu. Paling tidak, aplikasi ini bisa membantu konsistensi menulis setiap hari di Kompasiana... hehehe...
Yang perlu dipertimbangkan adalah pertama, aplikasi ini sifatnya membantu atau melengkapi ‘persenjataan’ para penulis. Bukan menggantikan. Karena membantu saja, aplikasi itu kadang-kadang rewel. Akibatnya, kita seperti harus dua kali kerja.
Kedua, bagi penulis kawakan atau senior atau berpengalaman atau apa pun namanya, perkembangan ini tidak bakal atau sulit mengubah kebiasaan menulis selama ini. Kabarnya, seorang Rosihan Anwar tidak tergoda memakai laptop (apalagi macbook) untuk mengganti mesin ketik yang telah menemaninya sejak muda. Mungkin ada Kompasianer yang lebih mantap nge-draft tulisan dengan menulis di secarik kertas, yang selalu membawa balpoin dan kertas catatan di saku bajunya.
Dengan aplikasi itu, menulis itu tidak perlu mencorat-coret kertas dengan pensil dan sejenisnya. Menulis juga tidak lagi mengetikkan serangkaian huruf di kertas-kertas maya di aplikasi menulis. Sekarang ini, menulis cukup dilakukan dengan berbicara saja. Saya tambah kata 'saja' karena kita tidak perlu lagi menggunakan jari-jemari untuk mengetik di keyboard hp untuk menulis.
Kemajuan teknologi memang menyediakan banyak cara alternatif untuk membuat hidup lebih mudah dan praktis. Keputusan akhir untuk menggunakannya tergantung pada kita sendiri dengan berbagai macam pertimbangan.
Buat saya, sedikit pengetahuan tentang aplikasi itu bisa menjadi ide untuk membuat tulisan ini. Mungkin ada yang bertanya: apakah tulisan ini adalah hasil dari praktek berbicara di aplikasi itu? Biarlah itu menjadi rahasia saya...hehehe...
Oya, seandainya anda mencoba aplikasi itu, saya tunggu kesan-kesannya ya.
Terima kasih telah berkenan membaca tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H