Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Hape, Terbitlah Komunitas Digital

5 Oktober 2020   16:50 Diperbarui: 5 Oktober 2020   17:08 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hape bisa melahirkan komunitas? Yang benar saja? Hape yang selama ini dianggap menjauhkan interaksi antar-individu itu, kok justru bisa mengumpulkan sejumlah orang di dalam komunitas? Hape sebagai alat komunikasi tetap sama dan tidak berubah. Lalu, komunitas apa yang dibentuk hape? Komunitas digital! Coba cek hape anda masing-masing: adakah yang tidak punya grup atau komunitas WhatsApp atau Telegram atau media sosial lain?

Di jaman Covid-19, hape ternyata menawarkan banyak kemudahan, salah satunya adalah (ber)-komunitas. Jika komunitas adalah sekumpulan orang yang memiliki alasan tertentu untuk saling berinteraksi, maka ber-komunitas berarti cara-cara untuk berinteraksi di antara beberapa orang. Tidak masalah, sifat komunitas itu masuk ke dalam kelompok tradisional yang gemeinschaft atau yang cenderung modern alias gesselschaft. Intinya, judul tulisan ini berkaitan dengan kelompok (komunitas) dan cara berkelompok (ber-komunitas). 

Sejak Covid-19 memaksakan normal baru, ada perpindahan banyak hal ke hape. Protokol kesehatan menyebabkan orang tetap ingin bersosialisasi, tetapi tidak leluasa lagi. Orang harus menjaga jarak fisik; menjauhi kerumunan; membatasi jumlah orang yang hadir di sebuah ruangan. Orang semakin bosan tinggal di rumah gara-gara work from home, tetapi semakin ingin berinteraksi sosial, walau tanpa aktifitas fisik.

Lalu, komunitas macam apa saja yang ditawarkan hape? Perilaku orang ber-hape paling tidak mengarahkan kita bersosialisasi lewat berbagai aplikasi, seperti WhatsApp, Telegram, Facebook, Instagram, Twitter, dan seterusnya. Semua berpusat di hape. Dengan hanya menggunakan WhatsApp dan Telegram, kita mempunyai banyak grup atau kelompok atau komunitas yang terbentuk sejak Covid-19 menyebar mulai di Bogor di awal Maret 2020.

Pada umumnya, banyak webinar menawarkan kegiatan utama yaitu seminar atau pertukaran ide saja. Sebelum dan setelah kegiatan webinar tidak ada kegiatan lain. Interaksi antara peserta dan penyelenggara webinar hanya berlangsung di hari H pada saat hari webinar itu saja. Kenyataan pertama ini seolah sekedar konversi seminar offline menjadi seminar online atau webinar. Sangat jarang ada interaksi antara peserta dan panitia seminar, kecuali di Hari H seminar itu.

Namun perkembangan lain menunjukkan kenyataan berbeda. Kenyataan kedua ini adalah ternyata ada beberapa webinar menawarkan grup atau kelompok WhatsApp atau Telegram, baik sebelum maupun setelah kegiatan itu berlangsung. Ada komunitas yang dibentuk sebelum webinar berlangsung. Komunitas grup wa atau telegram itu bahkan masih berlanjut setelah webinar itu selesai.

Yang menarik dari kenyataan kedua ini adalah macam-macam motivasi dan tujuan dari pembentukan komunitas atau grup wa atau telegram.

Sebelum melanjutkan cerita itu, saya potong dulu dengan informasi soal grup di WhatsApp dan Telegram. Sependek pengetahuan saya, aplikasi WhatsApp memang lebih populer di Indonesia. Entah karena lebih duluan dari Telegram, ramah buat pengguna alias user friendly, atau sebab lain yang saya tidak tahu. Sedangkan telegram punya kelebihan di anggota grup bisa lebih dari seribu orang/nomer hape, orang yang bergabung belakangan masih bisa mengakses informasi yang sudah ada sebelumnya, dan lebih stabil untuk file-file berukuran besar. Mungkin masih ada kelebihan dari kedua aplikasi itu yang bisa ditambahkan di sini. 

Dari kelebihan kedua aplikasi itu, komunitas yang ada di telegram cenderung memiliki anggota sangat banyak dengan kemewahan informasi yang meluap, tidak sekedar melimpah. Tergantung pada kebutuhan anggota komunitas itu sendiri untuk menilai di grup aplikasi mana yang lebih baik.

Kembali ke grup komunitas itu, motivasi dan tujuan pembentukan komunitas itu bisa saja berbeda. Seperti umumnya komunitas offline pada umumnya, ada yang didorong oleh kesamaan nasib, minat/profesi, politik, dan lain-lain. Pada beberapa kasus, motivasi dan tujuan ber-komunitas menentukan kelangsungan hidup komunitas itu. 

Ketika tujuannya bersifat sempit dan material, maka komunitas itu pun segera berhenti atau bubar tanpa ada alasan lagi melanjutkannya. Komunitas webinar yang terbatas pada materi dan sertifikat kegiatan tidak bertahan lama ketika kedua hal itu sudah diperoleh peserta. 

Sementara itu, komunitas grup wa atau telegram yang dibentuk karena persamaan minat (fan klub sepak bola, motor, atau mobil tertentu, dan lain-lain) akan bertahan lebih lama. Di sini ada kecenderungan yang hampir sama dengan komunitas serupa yang muncul sebelum pandemi Covid-19. Selama grup wa/telegram itu masih bisa memberikan manfaat, baik material/non-material maupun ekonomi/non-ekonomi, maka grup itu mampu bertahan makin lama. 

Ketika komunitas itu dibatasi kepada yang dibentuk sejak Covid-19 menyebar di awal Maret 2020, ada beberapa perbedaan dengan yang sudah ada sebelum Covid-19. Perbedaan pertama adalah proses pembentukannya tidak mengalami pertemuan fisik. Menarik melihat grup semacam ini. Hanya karena ikut di webinar, lalu ditawari ikut grupnya, lalu bubar begitu saja ketika sertifikat sudah diterima. Tidak ada keinginan lebih jauh untuk berjejaring dan bekerjasama di antara anggota. Padahal anggota grup webinar itu memiliki spesialisasi pendidikan khusus dan minat yang sama, minimal sama dengan tema webinar.

Kedua, proses kelangsungan komunitas berjalan secara online. Pada komunitas ini, diskusi antar-anggota pada awalnya hanya lewat WhatsApp atau Telegram, tanpa pertemuan langsung dan fisik. Ketika ada aplikasi zoom, pertemuan dan kegiatan diskusi antar-anggota melalui video conference dengan aplikasi itu. Perkembangan lainnya adalah penggunaan Instagram dan aplikasi-aplikasi lain untuk fungsi-fungsi serupa demi variasi kegiatan dan tujuan lainnya. 

Yang juga menarik adalah semua itu berjalan lancar tanpa disadari, walaupun tanpa pertemuan fisik. Keterbatasan fisik akibat protokol kesehatan tampaknya tidak mengurangi kenyamanan berkomunitas melalui hape saja. Berkomunitas tidak perlu lagi ke luar rumah, harus ke kafe, atau mall. Berkomunitas cukup lewat hape. Setiap kali orang memegang hape, ada kemungkinan orang itu menjawab atau menulis pesan di grup atau komunitas WhatsApp atau Telegram.

Jika sebelumnya hape menjauhkan orang-orang dekat, bisakah kita mengatakan hape ternyata juga membangun komunitasnya sendiri, terutama selama pandemi Covid-19 ini? Komunitas apa? Komunitas digital! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun