Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Seribu Alasan untuk Tidak Menulis

25 September 2020   23:41 Diperbarui: 26 September 2020   00:00 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika selesai menulis ini, saya merasa heran sendiri. Mengapa menulis tentang terlalu banyaknya alasan untuk tidak menulis di blog Kompasiana ini. Bukannya ini salah 'kamar' ya? 

Namun demikian, saya tetap merasa perlu menulis hal ini sebagai sebuah usaha untuk memahami pihak-pihak yang tidak mau menulis. Saya mulai dengan beberapa pertanyaan.

Mengapa harus capek-capek menulis? Apa dunia bakal runtuh gara-gara tidak menulis? Bukannya tidak menulis itu juga tidak apa-apa? Berbagai macam pertanyaan bisa diungkap di sini dari yang sederhana hingga yang canggih.  

Tulisan ini memakai kata 'seribu' mengikuti cara sebuah bangunan tua di kota Semarang dinamai Lawang Sewu. Karena terlalu banyaknya jumlah pintu, konon dipakailah kata 'sewu' yang artinya seribu.

Begitu pula untuk tulisan ini hanya menuliskan beberapa jawaban sederhana dari pertanyaan-pertanyaan yang tampaknya sederhana itu. Saya minta maaf tidak bisa menuliskan seribu alasan itu secara harafiah.

Dari seribu alasan tidak menulis itu, saya coba membaginya menjadi tiga kelompok alasan saja. Ketiga kelompok ini setidaknya mewakili sebagian besar alasan yang ada.

Tidak ada survei atau data yang saya pakai untuk membuat dan menentukan pengelompokan itu. Ini hanya cara mudahnya untuk menempatkan banyak alasan yang senada ke dalam satu keranjang yang sama.

Kelompok pertama adalah alasan ideal, yaitu ketiadaan motivasi atau nir-gairah untuk menulis. Ini termasuk alasan paling berat. Bagaimana mungkin mau menulis tanpa ada motivasi. Bila dicoba dirunut, ketiadaan atau kurangnya kemauan menulis ini bisa berasal dari dalam diri individu itu.

Alasan kedua memandang menulis itu sebagai sebuah kemewahan. Ada banyak orang yang menganggap menulis itu sesuatu yang mewah. Banyak yang tidak punya waktu untuk menulis. Seolah menulis itu harus dilakukan pada waktu-waktu khusus dan di waktu-waktu lainnya tidak pantas dipakai untuk menulis. Masih soal waktu, seolah menulis itu menyita waktu kegiatan lainnya.

Daripada menulis lebih baik mengerjakan yang lain. Apalagi sekarang semakin banyak orang menulis di hape malah memunculkan anggapan mainan hape. Orang cenderung tidak sadar memakai lebih banyak waktu untuk 'bermain' sosial media.

Kabarnya, orang Indonesia bercengkerama dengan sosial media selama sekitar 3 jam setiap hari. Saya belum tahu rinciannya apa saja yang dilakukan dengan sosial media selama itu. Semoga itu termasuk menulis, walaupun dalam porsi minimal.    

Ketiga, orang tidak menulis karena sulit mendapatkan ide untuk menulis. Ibarat mahasiswa yang datang ke saya untuk berkonsultasi dan meminta ide untuk menulis skripsi. Memang ide menulis skripsi berbeda dengan menulis bukan skripsi.

Menulis skripsi untuk sebagian syarat lulus kuliah S1, sehingga meminta ide judul skripsi masih bisa dipertimbangkan. Berbeda dengan ide menulis umumnya yang bisa datang dari mana saja, dari apa saja, dan tidak terbatas pada kurun waktu tertentu.

Apa yang kita lihat, rasakan, pikirkan bisa menjadi ide untuk menulis. Semua aktifitas kita ini sebenarnya juga 'bahan' untuk menulis. Ide menulis itu ada di sekitar-sekitar kita saja, tidak perlu jauh-jauh.

Situasi 'mudah' menulis itu sangat  berbeda bagi orang yang kesulitan mendapatkannya. Bagi kelompok alasan ini, ide adalah sesuatu yang istimewa. Tidak mudah mendapatkan ide itu. Walau berbagai cara telah dilakukan, tetapi tetap sulit mendapatkannya.

Ketiga kelompok alasan itu tidak bisa dipisah-pisahkan secara absolut. Orang bisa saja mempunyai salah satu atau malah gabungan dari ketiga alasan itu sekaligus. Mungkin ada juga orang yang alasan tidak menulisnya tidak ada di ketiga kelompok itu.

Ada alasan lain yang khusus bagi orang tertentu. Semua itu bisa saja terjadi karena ini berkaitan dengan manusia sebagai makhluk sosial dengan segala persoalannya, baik pribadi dan sosialnya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memaksa orang untuk melakukan kegiatan menulis. Seolah-olah menulis itu adalah segala-galanya. Lalu, orang yang tidak menulis dianggap bersalah. Bukan! Tulisan ini hanya memaparkan kenyataan bahwa tidak menulis itu tidak apa-apa, sehingga perlu ada penjelasan secara obyektif pula mengenai alasan tidak menulis.

Namun demikian, ini tidak berarti saya menuliskannya begitu saja. Kompasiana menjadi slah satu sarana tepat untuk membuat orang mau menulis. Bagi penulis pemula, Kompasiana bisa menjadi sumber bacaan dan sekaligus sumber untuk menulis.

Banyak tulisan yang bisa dicontoh gaya menulisnya. Saya merasa Kompasiana sangat friendly buat penulis pemula.  Dalam kategori isu, Kompasiana juga memberi keleluasaan bagi penulis pemula untuk memasukkan tulisan apa pun.

Menurut saya, mereka perlu diajak dan diyakinkan bahwa dengan menulis maka pikiran kita tercatat, tertulis, dan bisa dibaca orang lain dalam kurun waktu tak terbatas di masa depan. Menulis adalah salah satu cara berbagi pengalaman dengan orang lain. 

Lagipula, jaman yang kita tinggali sekarang ini sudah menyediakan banyak cara yang memudahkan orang untuk menulis.

Optimisme memotivasi menulis itu perlu ditumbuhkan supaya dapat mengurangi seribu alasan untuk tidak menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun