Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Ingin Marah-marah

14 Februari 2016   21:25 Diperbarui: 14 Februari 2016   21:54 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika boleh, pasti sudah kubanting piring ini dengan penuh kemurkaan. Akan kuhancurkan sampai pecahan terkecil. Sayang piringnya milik pihak katering.

Seandainya diizinkan, pasti sudah kulempar kursi yang sedang kududuki ini. Akan kuinjak-injak sekuat tenaga sampai bentuknya tidak lagi seperti kursi. Sayang kursinya adalah inventaris milik penyedia jasa hajatan.

Kalau begitu lebih baik aku berteriak saja sekencang-kencangnya hingga semua orang bisa dengar. Tapi pasti nanti orang-orang akan memanggilkan ustadz dan membacakan ayat-ayat suci di depan mukaku. Atau mungkin juga orang-orang akan menelepon ambulans dan mengirimku segera ke rumah sakit jiwa.

Ini salah, itu juga salah. Lalu bagaimana aku mesti meluapkan amarah ini!? Aku mau membebaskan geram yang terus mendobrak di balik dada tapi situasinya begitu tidak mendukungku. Aku ingin marah-marah tapi di saat yang sama aku juga mesti menjaga kelakukan. Sial sekali kekesalanku harus muncul di tempat dan waktu yang tidak bagus seperti ini. Akhirnya jalan yang bisa kuambil untuk memuaskan nafsu ini cuma menyelesaikan sepiring sajian prasmanan sambil memaki-maki dalam hati.

Bukan tanpa alasan aku ingin marah-marah. Ada sesuatu di acara pernikahan ini yang sudah membuat kekesalanku bangkit. Bukan soal makanan yang dihidangkan, cendera mata yang membosankan, atau tempat parkir yang sudah terlampau penuh. Yang bikin aku panas sejak tadi adalah seorang wanita. Aku marah karena detik ini dia ada di atas pelaminan. Bibirnya dia lengkungkan, berusaha menjadi orang dengan senyum terindah. Rautnya mengatakan jika dia bahagia raganya diabadikan jepretan kamera.

Apalagi kini sudah ada pria baik hati yang mendampinginya. Dari paras ayunya tak sedikit pun kutangkap kesan kalau aku pernah meramaikan ruang hatinya. Semuanya telah dia buang seolah tak ada toleransi untuk masa lalu. Lembaran-lembaran hidupnya sudah dibersihkan dari segala hal yang berbau diriku. Sekarang helai-helai kisah hidupnya akan dia tulis bersama pria yang telah menggantikanku. Ah, serius aku ingin marah-marah!

***

Hiburanku malam ini adalah pertandingan sepakbola. Meski bukan klub favoritku yang main, tapi setidaknya suara sorak penonton dan peluit wasit dari layar kaca bisa sejenak mengalihkan pikiranku dari amarah yang meluap siang tadi. Hingga kemudian sahabatku menelpon.

“Halo, Bro!” sahutnya bertenaga.

“Halo juga.” balasku datar. “Eh, gimana malam pertama, nih?”

“Yaelah baru juga jam sebelas. Panggung sama tenda aja belum kelar diberesin.”

“Apa perlu bantuan?”

“Bantuan apa?” tanya sahabatku si pengantin baru itu. “Kalau mau bantu beres-beres langsung datang aja kemari.”

“Ogah,” tanggapku sembari tersenyum, “maksud gue lu perlu bantuan pas malam pertama, gak? Paling enggak gue bisa bantu bikin rekamannya, hahaha.”

“Najis! Dasar otak mesum. Makanya nikah sana biar kepala lu isinya enggak maksiat melulu!”

Basa-basi hangat dan candaan khas antar dua sahabat mengisi malamku. Hingga kemudian tak ada lagi yang bisa dibuat jadi bahan basa-basi atau candaan. Percakapan pun mau tak mau berubah serius.

“Bro, gue mau ngomong sesuatu, nih.” sahabatku di ujung lain telepon nadanya berubah tegas, mirip orang yang sedang menyampaikan berita penting. Kalau sudah begitu pasti ada perkara tak main-main yang ingin dia suarakan.

“Tadi lu lihat Delia datang, kan?

Tanya dari sahabatku itu luar biasa mengusik. Kepalaku langsung memproyeksikan kejadian siang tadi. Tak mungkin bisa mudah kulupakan wajahnya, perempuan yang sudah kutuliskan kisah bersamanya selama dua tahun itu.

“Dan  pasti lu lihat dia datang sama cowok, kan?”

Aku tak perlu diberitahu. Saat Delia datang bersama seorang pria aku tidak perlu diajari siapa dia. Ketika mereka berdua berfoto dengan kedua mempelai dan kulihat senyum terlukis di parasnya, aku sudah tahu tak ada lagi tempat tentangku di hatinya.

“Udah hampir setahun, loh, jangan bilang lu masih-“

“Sayangnya iya,” potongku. Ucapanku barusan itu jujur, pasrah, dan terkandung rasa malu.

Dan aku juga marah.

Aku marah karena Delia seakan sudah benar-benar menghapus diriku. Aku lebih marah lagi karena dia sudah menemukan pengganti. Sialnya sang penggantiku itu sukses mengikat Delia dengan sebuah cincin di jari manis. Hanya tinggal menunggu waktu sampai keduanya saling bertukar janji dalam ikatan suci. Tapi yang paling membuat murka adalah kenyataan kalau aku belum sepenuhnya mampu menatap hari tanpa teringat setiap keping kenangan bersama Delia.

Perbincangan malam ini ditutup dengan wejangan dari sahabatku. Dia memintaku untuk segera bergerak. Move on istilah kerennya. Ya, segalanya memang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Aku bergegas ke kamar mandi. Sebisanya Aku menahan cairan yang sudah mengambang di kelopak mataku agar tak tumpah. Kalau sampai jatuh mengalir, itu akan menjadi alasan tambahan bagiku untuk marah-marah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun