“Sayangnya iya,” potongku. Ucapanku barusan itu jujur, pasrah, dan terkandung rasa malu.
Dan aku juga marah.
Aku marah karena Delia seakan sudah benar-benar menghapus diriku. Aku lebih marah lagi karena dia sudah menemukan pengganti. Sialnya sang penggantiku itu sukses mengikat Delia dengan sebuah cincin di jari manis. Hanya tinggal menunggu waktu sampai keduanya saling bertukar janji dalam ikatan suci. Tapi yang paling membuat murka adalah kenyataan kalau aku belum sepenuhnya mampu menatap hari tanpa teringat setiap keping kenangan bersama Delia.
Perbincangan malam ini ditutup dengan wejangan dari sahabatku. Dia memintaku untuk segera bergerak. Move on istilah kerennya. Ya, segalanya memang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Aku bergegas ke kamar mandi. Sebisanya Aku menahan cairan yang sudah mengambang di kelopak mataku agar tak tumpah. Kalau sampai jatuh mengalir, itu akan menjadi alasan tambahan bagiku untuk marah-marah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H