“Apa perlu bantuan?”
“Bantuan apa?” tanya sahabatku si pengantin baru itu. “Kalau mau bantu beres-beres langsung datang aja kemari.”
“Ogah,” tanggapku sembari tersenyum, “maksud gue lu perlu bantuan pas malam pertama, gak? Paling enggak gue bisa bantu bikin rekamannya, hahaha.”
“Najis! Dasar otak mesum. Makanya nikah sana biar kepala lu isinya enggak maksiat melulu!”
Basa-basi hangat dan candaan khas antar dua sahabat mengisi malamku. Hingga kemudian tak ada lagi yang bisa dibuat jadi bahan basa-basi atau candaan. Percakapan pun mau tak mau berubah serius.
“Bro, gue mau ngomong sesuatu, nih.” sahabatku di ujung lain telepon nadanya berubah tegas, mirip orang yang sedang menyampaikan berita penting. Kalau sudah begitu pasti ada perkara tak main-main yang ingin dia suarakan.
“Tadi lu lihat Delia datang, kan?
Tanya dari sahabatku itu luar biasa mengusik. Kepalaku langsung memproyeksikan kejadian siang tadi. Tak mungkin bisa mudah kulupakan wajahnya, perempuan yang sudah kutuliskan kisah bersamanya selama dua tahun itu.
“Dan pasti lu lihat dia datang sama cowok, kan?”
Aku tak perlu diberitahu. Saat Delia datang bersama seorang pria aku tidak perlu diajari siapa dia. Ketika mereka berdua berfoto dengan kedua mempelai dan kulihat senyum terlukis di parasnya, aku sudah tahu tak ada lagi tempat tentangku di hatinya.
“Udah hampir setahun, loh, jangan bilang lu masih-“