Hai,
Siapapun kalian yang membaca tulisan ini, Aku ucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudi merelakan sebagian waktu kalian untuk membaca curahan hatiku ini.
Sebetulnya tak pernah terpikir bagiku untuk mengguratkan segala resah ke dalam tulisan seperti ini. Jangankan menulis, membaca saja kulakukan tidak lebih sering dari makan mie instan. Kertas ataupun lembar kerja aplikasi pengolah kata macam Microsoft Word bukan tempat yang biasa kudatangi sebagai sarana menumpahkan cerita. Aku punya seorang sahabat dan dialah kertasku. Dialah microsoft word-ku, dialah tempatku menyuarakan kisah dan gelisah. Singkat kata dia adalah seorang sahabat yang tanpa pamrih menjalankan peran seorang sahabat sebagaimana mestinya: menjadi wadah curhat.
Cuma masalahnya..., saat ini malah dialah yang jadi masalahnya. Dialah yang telah membuatku hatiku berkabut. Aku ingin sekali berbagi resah yang saat ini kualami. Namun Aku tidak bisa membagi resah ini pada “kertas” yang biasa kugunakan. Aku juga belum siap membeberkan padanya jika dialah yang sekarang membuatku risau. Itulah kenapa tulisan ini tercipta.
Ah, Aku lupa memperkenalkan diri. Kalian tidak perlu mengetahui namaku. Yang pasti, Aku adalah seorang perempuan yang hampir memiliki segalanya. Ingat ya, Aku bilang “hampir”. Aku punya pekerjaan bagus dengan bayaran yang bagus pula, keluargaku adalah keluarga yang tidak banyak bikin masalah, dan Aku juga diberkahi dengan paras yang bisa membuatku bersyukur kepada Tuhan setap hari. Hidupku akan lengkap bila seandainya kisah cintaku juga sempurna. Makanya tadi kubilang hampir memiliki segalanya.
Jadi begini penjelasan masalahnya, Aku punya kekasih dan Aku juga punya seorang sahabat. Jika kalian sering membaca novel romansa atau hobi menikmati lagu-lagu galau, tentu kalian akan segera tahu apa yang terjadi antara dua orang spesial itu.
Selamat bagi kalian yang langsung menebak kalau kekasihku berpaling kepada sahabatku.
Sebenarnya Aku sudah tahu jika setiap manusia menyimpan potensi untuk berkhianat. Tapi ya namanya juga perempuan yang sedang dimabuk cinta, mana sempat Aku berkhayal kalau lelakiku akan mendua.
Kurasa ini bermula ketika Aku mengenalkan kekasihku pada sahabatku. Sepertinya tidak ada yang salah ketika tangan mereka berjabatan untuk pertama kali. Kalau saja Aku bisa membaca perasaan orang lewat mata mereka, mungkin Aku akan segera mengisolasi kekasihku dari jangkauan sahabatku itu.
Hingga detak waktu terus berlalu, pikiran yang masih terbutakan cinta masih tidak melihat peringatan akan adanya pengkhianatan. Padahal tanda-tandanya sudah terendus. Tak sadar Aku jika sahabatku yang rutin menanyakan kabar lelakiku adalah salah satu cirinya. Dan mana kutahu jika keakraban yang tercipta saat mereka berdua saling bertukar kata adalah tanda yang seharusnya kutanggapi dengan serius.
Mungkin ketika kemudian Aku jadi jarang bertatap muka dengan kekasihku, saat itulah seharusnya pikiranku sudah terbuka. Saat segala cara untuk menghubunginya sudah tidak ada yang mempan, seharusnya pada momen itu kesadaranku terbangun. Tapi sekali lagi Aku masih dalam pengaruh cinta, hanya prasangka-prasangka positif yang selalu memenuhi isi kepalaku.