“Maaf, Thomas,” balas Haidi yang sedang menunduk. “Aku kadang sering hilang kendali. Mimpi itu terlalu nyata. Kurasa wajar saja jika aku jadi lupa kalau itu cuma sebuah mimpi.”
Thomas menaruh tangannya di pundak Haidi. “Sudahlah. Untuk malam ini sampai di sini saja. Lebih baik kita segera pergi dari perpustakaan keluargamu ini.”
Bertemankan senter, kedua anak itu kemudian berjalan meninggalkan rumah kosong itu.
Siapapun pasti akan menaruh cap gila pada dua anak itu karena sering bermain di rumah yang hampir tak berbentuk itu. Atapnya sudah hilang. Jendelanya tak berkaca. Pintu-pintu kayu yang dulu nampak gagah kini berubah jadi potongan-potongan arang. Api telah membuat rumah yang dulunya indah itu berubah menjadi puing-puing yang tak sedap di pandang mata. Dan api pula lah yang telah mengirim tiga penghuni rumah tersebut ke pangkuan Tuhan.
Malam ini adalah kesekian kalinya Haidi “bermain” di bekas rumahnya. Hanya satu tempat yang selalu dia tuju: ruang perpustakaan. Haidi dulu adalah penikmat buku, sama seperti ayah dan saudaranya Hazel. Ruang perpustakaan itu adalah tempatnya menghabiskan waktu bersama Hazel dan sang ayah. Namun seiring waktu berlalu, Haidi mulai kehilangan gairah dan perlahan meninggalkan kegemarannya akan buku.
Suatu malam di libur musim panas ayah dan Hazel mengajak Haidi bersantai di ruang perpustakaan keluarga dengan menikmati beberapa bacaan. Namun Haidi menolak dan memilih pergi bersama sahabatnya Thomas. Haidi tak pernah menyangka jika itu adalah detik terakhirnya dia menyaksikan raut orang-orang yang paling disayangi.
Haidi mungkin bisa menipu orang lain dengan berujar jika dia sudah merelakan tiga anggota keluarganya, tapi rindu dan penyesalan tak bisa mengelabui perasaannya sendiri. Untuk itulah Haidi mulai belajar lucid dream.
Dibantu Thomas, Haidi berusaha menguasai teknik bermimpi itu. Lucid dream sendiri adalah keadaan dimana seseorang bermimpi namun orang tersebut sepenuhnya sadar jika dirinya sedang bermimpi. Dengan begitu, orang tersebut bisa mengendalikan mimpinya sendiri. Dan itulah yang Haidi inginkan. Dia berhasrat membangkitkan kembali orang tua dan saudaranya, meski dalam sebuah dimensi khayal yang dia ciptakan sendiri.
Satu tahun sudah usai sejak peristiwa kebakaran itu dan Haidi masih mengunjungi bekas rumahnya untuk “bertemu kembali” dengan keluarganya. Hampir tiap malam di ruangan perpustakaan keluarga yang kini terlihat seperti tempat tinggal hantu, Haidi berbaring dan memejamkan mata, berkonsentrasi membangun sebuah dunia baru. Malam di ruang perpustakaan itu adalah momen bagi Haidi untuk mendamparkan diri ke dalam bunga tidur yang sengaja dia buat demi menampakkan kembali sosok-sosok yang sangat dia sayangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H