Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maling Teriak Maling

14 Mei 2014   15:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ratusan raga manusia tengah berseliweran mencari benda yang bisa memenuhi baik kebutuhan maupun keinginan nafsu mereka. Kehadiran mereka sudah sangat dinantikan oleh raga-raga lain yang sudah siap memberikan apa yang sedang mereka incar. Dan ketika dua pihak sudah bertemu, transaksi hampir pasti terjadi dan masing-masing kubu akan mendapatkan apa yang diharapkan. Tukar menukar materi keduniaan pasti akan terjadi di tempat ini meski terkadang harus melalui proses tawar menawar yang alot.

Begitulah pasar, sebuah lokasi dimana ekonomi modern mendefinisikannya sebagai sebuah tempat bertemunya antara penjual dan pembeli. Konsumen dengan koceknya menyambangi pasar mencari apapun yang jasmaninya butuhkan. Sementara itu, para penjual siap menyambut kedatangan mereka, menawarkan benda yang mereka jual demi ditukar dengan lembaran-lembaran rupiah.

Sudah satu jam berlalu semenjak matahari melayang tepat di atas ubun-ubun manusia. Panasnya yang sering dianggap tidak bersahabat sedang menyelimuti sebuah kota kecil di bagian barat tanah Jawa. Sengatan sang surya tidak pernah pilih kasih. Karenanya banyak dari penghuni kota tersebut saat ini sedang resah dengan pancaran matahari yang mereka anggap terlalu “bersemangat”. Hampir semua tempat di kota itu sedang dihujani panas bintang terbesar di tata surya itu, tidak terkecuali salah satu pasar tradisionalnya.

Mungkin bagi mereka yang bernaung di bawah atap pasar, kelakuan matahari saat ini sepertinya tidak begitu terpikirkan. Namun untuk tiga orang yang tengah mengawasi lahan parkir yang terletak di depan pasar, mengeluhkan masalah cuaca siang ini tampaknya menjadi hal yang cukup wajar. Ditemani kopi, batang rokok, serta hiburan dari radio lokal, mereka bertiga mencoba berkompromi dengan hawa panas sambil mengawasi sepeda-sepeda motor yang mandi matahari.

“Copet! Copet!”

Ketiga penjaga parkir serentak terkejut saat mendengar teriakan tersebut. Mereka menoleh ke segala arah mencari sumber teriakan tersebut sampai akhirnya dari kejauhan mereka melihat seorang pemuda berlari kencang diikuti dengan beberapa laki-laki yang mengekor di belakangnya.

Irama jantung tiga penjaga parkir itu mendadak lebih cepat saat mereka menyadari pemuda yang sedang dikejar itu berlari ke arah mereka. Tak ingin melewatkan kesempatan menjadi pahlawan di siang hari, mereka bertiga pun serempak meluncur, mencoba mencegat si pemuda itu. Sungguh malang benar nasib pemuda yang sedang dikejar-kejar itu. Sudah berlari di bawah terik matahari, aksi kriminalnya gagal total, dan sebentar lagi dia pun harus pasrah tubuhnya “diobok-obok” oleh massa yang terbakar amarah.

Benar saja, si pemuda copet itu pun harus mengakhiri pelariannya. Deretan sepeda motor serta blokade dari arah depan yang dilakukan tiga penjaga parkir sudah menutup rute penyelamatannya. Alhasil, mau tak mau dia harus merelakan tubuhnya dijadikan sarana penghakiman. Beruntung pengeroyokan itu tidak berlangsung lama sehingga si pemuda copet itu masih belum dipertemukan dengan penciptanya.

“Dasar maling!” umpat salah satu penjaga parkir saat melihat si pemuda copet digelandang menuju kantor pihak berwajib. “Cari duit yang halal, bego!”

Puas melencarkan beberapa pukulan, ketiga penjaga parkir pun berjalan meninggalkan lokasi penghakiman. Saat mereka tiba tiba di pos jaganya, seseorang dengan sepeda motornya sudah menyambut mereka.

“Oh, mau pulang, Mas?” sapa satu penjaga bertopi kepada si pengendara, sementara dua lainnya langsung menyambar minuman kopi yang diletakkan di atas sebuah bangku kayu.

“Iya,” si pengendara lantas memberikan si penjaga bertopi itu karcis parkir dan selembar rupiah bergambar Pangeran Antasari.

Uang dan karcis sudah diambil, namun si pengendara tidak segera memacu sepeda motornya dari tempat tersebut. Dia seakan sedang menantikan sesuatu dari petugas parkir yang melayaninya.

“Ada apa, Mas?” si petugas bertopi tahu ada sesuatu yang belum beres. Rasa penasarannya jelas terusik melihat si pengendara masih bergeming dan sepasang matanya fokus mengarah pada dirinya.

“Kembaliannya, Pak.” jawab cepat si pengendara.

“Kembalian apa ya, Mas?”

“Ya kembalian parkir.”

“Hah?” muka keheranan pun langsung ditunjukkan si petugas bertopi itu.

Si pengendara yakin maksud perkataannya sudah cukup jelas hingga dia heran menyaksikan si petugas parkir masih bertanya-tanya sambil memamerkan raut innocent.

“Kembaliannya,” ulang si pengendara, “tarifnya kan Rp.1500, tadi saya kasih dua ribu.”

“Terus?”

Mengekrutlah alis si pengendara begitu mendengarnya. Di dalam pikirannya sekarang dia merasa tidak percaya kalau masih ada orang yang tidak mengerti matematika.

“Ya kembalian dong lima ratus.”

“Yaelah, Mas, Mas.” jawab si petugas parkir. “Gopek aja dipikirin, Mas.”

Rupanya kalimat dari petugas parkir itu berreaksi pada naiknya nada bicara si pengendara. “Ya enggak bisa gitu, dong!”

Siang yang sudah panas itu mendadak lebih panas lagi suasananya saat perdebatan antara pengendara dengan petugas parkir mulai menyeruak. Si pengendara bergumen kalau dirinya sangat pantas mendapat kembalian lima ratus rupiah.

“Di karcisnya sudah tertulis kalau tarif parkir cuma seribu lima ratus! Jadi duit gopek-nya sudah jelas hak saya, lah! Bapak jangan sembarangan ambil hak orang, dong!”

Tidak ingin merasa tersudut, si petugas bertopi pun mengeluarkan bantahan untuk melawan argumen sang pengendara. Tentu saja bantahan yang dilancarkannya sangat tidak berdasar.

“Ya udah sih, Mas! Lima ratus mah gak usah dipikirin! Itung-itung sedekah buat saya.”

Telinga si pengendara tentu panas mendengar celoteh ngaco si tukang parkir itu. Akibatnya, si pengendara pun semakin menuntut hak lima ratus rupiahnya. Amarah pun tak bisa lagi dia tahan.

Si petugas bertopi  tahu jika posisinya sudah sangat terpojok dalam debat siang itu. Yang bisa dia perbuat sekarang hanyalah berdiri menahan luapan emosi si pengendara sambil berharap keajaiban datang sehingga dia bisa mempertahankan uang lima ratus yang jadi sengketa tersebut.

“Eh, ada apa ini ribut-ribut?!” sebuah suara tiba-tiba berbaur dalam percekcokan.

Dua rekan petugas bertopi mendekati lokasi perdebatan dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Si pengendara pun menyambut kemunculan mereka berdua dengan menceritakan masalah yang sedang terjadi. Si pengendara berpikir dua rekan petugas bertopi tersebut punya pemahaman yang lebih bagus soal hak dan kewajiban. Dia mengira masalah akan segera selesai, namun...

“Duh, duit lima ratus aja diributin!”

“Tahu, tuh! Ikhlasin aja, kenapa?!”

Si pengendara benar-benar tidak percaya apa yang baru saja yang dia dengar. Dia tidak mengira ketiga tukang parkir di hadapannya itu punya jalan pemikiran yang serupa.

Menyadari keadaan berbalik memihak padanya, si petugas bertopi pun berubah jadi lebih galak terhadap si pengendara. “Tuh denger, Mas! Duit lima ratus mah gak usah dipikirin!”

“Tapi,”

“Udah gak usah diributin lagi!” salah satu rekan petugas bertopi memotong ucapan si pengendara yang masih ingin berargumen. “Mending Mas pergi aja deh!”

“Iya, pergi aja sana!” sambut si petugas bertopi. “Lihat tuh, orang-orang yang mau keluar parkir jadi pada ngantri!”

Si pengendara langsung menoleh ke belakang. Benar saja, beberapa pengendara lain sudah mengekor ingin segera meninggalkan lahan parkir. Karena terdesak, si pengendara itu tak punya pilihan lain selain segera melenggang pergi dari tempat parkir. Dia sebenarnya tidak rela dirinya ‘kalah” dalam sengketa uang kembalian parkir ini, namun karena keadaan tiba-tiba tidak mendukung, dia pun mau tak mau harus mengakui kemenangan para petugas parkir itu. Dengan rasa kesal yang menghinggapi hatinya, si pengendara kemudian membawa dirinya menjauh dari tempat parkir pasar. Sebelum sepeda motornya dipacu, si pengendara itu tidak lupa untuk melempar sebuah umpatan pada ketiga petugas parkir.

Beberapa saat kemudian, tensi kembali normal meski cuaca panas siang hari masih terasa. Ketiga petugas parkir itu pun kembali bertugas seperti biasa dan masih ditemani oleh kopi dan juga rokok. Sebuah radio yang juga jadi teman mereka kini memutarkan sebuah lagu dari Iwan Fals:

Maling teriak maling. Sembunyi balik dinding. Pengecut lari terkencing-kencing”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun