Cerpen ini terinspirasi dari sepenggal kisah nyata seorang wanita pejuang difabel yang peduli terhadap lingkungan dan keberlangsungannya. Bersama komunitas yang kini membersamai adalah sebagai  tempat berjuang hingga kini, dan Ia telah menganggapnya  sebagai 'keluarga kedua' yang  telah membawa kepada kehidupan cerah serta lebih baik. Puji syukur, Cerpen ini pula yang mengantarkan saya menjadi juara 2 dalam lomba cipta cerpen guru tingkat sub rayon 01 Kabupaten Bandung.
Â
Â
Hari demi hari sungguh terasa berat baginya, karena sejak lahir Maya Indrayani (42 tahun) harus bertarung dengan rasa percaya dirinya, karena tidak sedikit orang yang senang  membuly terutama secara verbal. Ya, sejak kecil hingga dewasa dia tak pernah luput dari orang yang suka memandang sebalah mata. Ada yang bilang si cacat, si buntung, dan sebagainya.
Sejak lahir Maya diasuh oleh Neneknya seperti ketiga Kakaknya. Ibu dan Ayah Maya telah bercerai sejak ia berusia empat bulan. Masing-masing orang tua Maya telah berkeluarga dan memiliki anak. Maya sekolah dan dibesarkan oleh Neneknya hingga dewasa.
Luar biasa, sang Nenek mendidik Maya kecil, tentu tidak mudah, karena memiliki banyak tantangan yang dihadapi, terutama menumbuhkan rasa percaya diri, kemandirian, dan kemampuan mengurus semua kegiatan atau aktivitas dengan satu tangan. Â Bayangkan saja, satu jari kita terluka atau terkilir saja sulitnya bukan main, hanya mengandalkan satu tangan. Mungkin kita sudah mengeluh kepada Tuhan. Oleh sebab itulah Maya sangat sayang kepada Neneknya. Apapun yang dia perbuat selalu bertujuan kepada Beliau. Termasuk jika Maya merasa putus asa dan rendah diri.
Rasa 'pedih' dan malu adalah modal yang selama ini Ia pegang. "Walaupun keadaan cacat, hati dan jiwa janganlah cacat". Tutur Maya. Semboyan itu selalu tertananam di sanubarinya, yaitu ingin memberikan manfaat bagi sesama.
Saat remaja, Ia sempat putus asa dan hendak melakukan perbuatan menyimpang, tetapi Maya ingat kepada Tuhan dan Neneknya, Ia juga menyadarkan diri dengan rasa MALU, "Sudah cacat, nakal lagi, apa gak malu", Ya, itulah bisikan yang selalu hadir dalam benaknya saat itu.
Saat menginjak masa SMA, seperti gadis pada umumnya, Maya pun memiliki ketertarikan dengan lawan jenis, Maya sempat mider. Namun semangat belajar dan berjuang untuk membanggakan sang Nenek tetap membara di hatinya. Ia ingin cepat lulus dan segera bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Maya tergolong siswa yang tekun, karena Ia tahu bahwa sang Nenek menyekolahkan dengan banyak pengorbanan, apalagi bukan hanya Maya yang menjadi tanggungan sang Nenek.
Setelah lulus SMA, ada tetangga Maya yang menyarankan untuk bekerja di sebuah lembaga yang baru saja didirikan pada saat itu (2014). Namanya BSB (Bank Sampah Bersinar) yang beralamat di Jalan Terusan Bojongsoang No. 174, Baleendah, Kabupaten Bandung. BSB (Bank Sampah Bersinar) adalah sebuah lembaga swasta yang melaksanakan program pemberdayaan untuk menyiapkan masyarakat dalam perubahan penanganan sampah dari proses konvensional (kumpul-angkut-buang) menjadi pola MANAGEMEN MODERN melalui TABUNGAN SAMPAH. Program ini sangat mendukung aspek Lingkungan, Sosial, Pendidikan, Pemberdayaan, dan tentunya Aspek Ekonomi Kerakyatan. Â Didirikan oleh Teh Febri atau biasa disapa Kak Fey. Beliau merupakan pecinta dan pemerhati lingkungan, walaupun Pendidikan mayornya adalah Sarjana Ekonomi dan Master Psikologi, dengan modal yang Beliau miliki, didirikanlah lembaga yang sangat mulia ini. Dari hanya merekrut 8 karyawan, sekarang memiliki 60 orang karyawan. Sekarang sektornya pun sudah berkembang. Daerah perluasan meliputi beberapa daerah di Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Bandung Barat.
Kembali ke kisah Maya, saat itu, kebetulan Kantor BSB tidak jauh dari tempat tinggal Maya. Dengan semangat, Ia pun mengajukan lamaran kerja dan alhamdulillah diterima. Maya bekerja dengan tekun, saat itu karena lembaga tersebut baru berdiri, baru ada delapan karyawan termasuk Maya di dalamnya. Saat itu Ia bekerja sebagai Pemilah Sampah, yang tugasnya harus memilah antara sampah organik, anorganik, logam, popok bekas pakai, plastik, dan sebagainya. Diakui Maya, Ia sangat sedih jika ada pelanggan yang belum memilah sampahnya dari rumah, satu ketakutannya apabila ada tusuk sate atau pecahan kaca yang melukai orang, maka akan terjadi infeksi yang dinamakan Tetanus. Hal itu sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan amputasi apabila terlambat ditangani.
Hari demi hari Ia syukuri atas rezki pekerjaan yang telah ditekuni hingga saat ini, baginya rezki yang berkah sudah cukup. Ia memiliki atasan yang percaya dan membangun, serta teman-teman yang sangat baik. Membuat hidupnya semangat dan bermakna, belum pernah satu pun dari mereka memandang rendah dirinya. Bahkan atasannya pun sangat baik, Beliaulah yang pertama mendukung dan selalu percaya kepada Maya. Karena ketekunan dan kecintaanya terhadap pekerjaannya itu, Ia sekarang dipercaya oleh Kak Fey (Kak Febri) menjadi Manager Community Develop dengan tugas utamanya adalah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, lembaga pemerintah, sekolah-sekolah, rumah sakit, hotel, perusahan-perusahaan, dan lain sebagainya.
Di-BSB inilah, Maya pun menemukan cinta sejatinya. Di luar dugaan ternyata selama Ia bekerja, salah seorang temannya memiliki rasa ketertarikan kepada Maya. Bahkan tak berapa lama setelah menyatakan perasaannya, kira-kira satu bulan, sang pujaan hati melamar Maya. Betapa terharu dan senang berkecamuk di dalam dada, betapa tidak?! Selama mereka bersama Ia kira hanya rasa pertemanan saja, namun ternyata sang Romeo memiliki perasaan yang lain. Maya pun menikah.
Mulai saat itu, lengkap sudah rasa bahagianya. Tuhan telah memberikan keluarga kecil yang selalu ada dan mendukungnya. Kini Maya dan Suami dikaruniai empat orang anak yang sehat dan normal. Keempat anaknya Ia besarkan sendiri, walaupun dengan keterbatasan yang Ia miliki, Maya selalu berpesan kepada para buah hatinya agar rajin sekolah, menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama adalah lebih bernilai. Apalagi dengan fisik yang sempurna seyogyanya menjadikan keberadaan kita bermakna untuk orang lain dan keluarga khusunya. Tidak akan rugi menjadi orang baik.
Itulah pesan terakhir Maya kepadaku saat itu, betapa penuh dengan kesederhanaan, kesyukuran, penuh dengan perjuangan, dan liku-liku dalam kehidupan, tidak membuat Maya larut dalam keterpurukan apalagi berpangku tangan. Keyakinannya yang besar kepada Tuhan dan kasih sayang kepada Neneknya yang telah merawat hingga membesarkan dengan penuh cinta serta pengorbanan, adalah salah satu penguat dalam perjalanan hidupnya. Cinta sangat berarti baginya. Cinta dari keluarga, atasan, sahabat, dan anak-anaknya.
Kata PEDIH dan MALU menjadi lentera yang mendasari setiap langkah dan budi pekertinya, sekaligus menjadi pengingat untuk selalu taat kepada Sang Khalik, entah bagaimana jadinya jika "karunia" cacat tubuh tersebut tidak Tuhan berikan kepadanya, mungkin tidak akan menjadi Maya yang sekarang.
Itulah secarik kisah yang menginspirasi saya dari seorang penyandang disabilitas yang mampu mendobrak kekurangan diri menjadi sebuah kekuatan untuk hidup dan menghidupkan sesama. Kenali Tuhan, cintai diri kita, dan semaikan kemanfaatan insyaallah hidup kita penuh dengan keberkahan. (Bandung, 13 September 2023).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI