Mohon tunggu...
Lucyana Kumala
Lucyana Kumala Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Angkatan 2019

Dare to dream

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

THAAD: Kegagalan Sang "Rising Power" dalam Diplomasi Koersif

28 November 2021   17:25 Diperbarui: 28 November 2021   17:29 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Tiongkok dan Korea Selatan memiliki kedekatan erat khususnya dalam bidang perekonomian. Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor terbesar Korea Selatan dengan total ekspor hingga 108,88 miliar USD di tahun 2020 (Jobst, 2021). Nilai perdagangan Korea Selatan dengan Tiongkok lebih besar daripada nilai perdagangan Korea Selatan dengan Amerika Serikat dan Jepang (Pak, 2020, 53-59). 

Di bidang pariwisata, Tiongkok menyumbang jumlah turis terbesar sejak tahun 2013. Hal ini terjadi karena hubungan historis sejak lama serta kebudayaan Korea Selatan seperti Korean Pop dan drama Korea yang berkembang begitu masif di Tiongkok sejak awal tahun 2000-an. 

Akan tetapi, hubungan politik Tiongkok dan Korea Selatan sempat memanas pada tahun 2016 hingga 2017 karena pembangunan sistem THAAD dan berimbas pada hubungan politik dan ekonomi kedua negara tersebut. 

Pada 7 Februari 2016, Korea Selatan dan Amerika Serikat mengumumkan akan adanya diskusi mengenai pemasangan sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) secepatnya di Korea Selatan. 

Di tanggal 8 Juli 2016, Korea Selatan dan Amerika Serikat akhirnya meresmikan kerjasama pembangunan sistem THAAD di markas tentara Amerika Serikat di Kabupaten Seongju, utara Provinsi Gyeongsang. THAAD ini bertujuan untuk melindungi markas tentara Amerika Serikat di wilayah Pyeongtaek, Busan, Ulsan, dan Pohang (Yoon et al., 2021). 

Upaya negosiasi pembangunan THAAD di Korea Selatan sebetulnya telah lama dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai bagian pembangunan power Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik, dimulai dari pemasangan THAAD di Guam tahun 2013. 

Barulah pada tahun 2016, Korea Selatan menyetujui ide pemasangan THAAD tersebut setelah adanya dilema keamanan dari teknologi intercontinental ballistic missile (ICBM) dan uji coba nuklir Korea Utara. 

Kebijakan pemasangan THAAD menuai protes baik dari dalam negeri Korea Selatan hingga internasional, yaitu Tiongkok. Pemerintah Tiongkok menentang keras keputusan Korea Selatan memasang sistem THAAD. 

Pada 7 Februari 2016, tepat di hari Korea Selatan mengumumkan rencana diskusi pemasangan THAAD, pemerintah Tiongkok melalui Wakil Menteri Luar Negeri, Liu Zhenmin, langsung mengadakan dialog dengan Duta Besar Korea Selatan untuk Tiongkok dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan Korea Selatan. 

Sebagai reaksi terhadap keputusan Korea Selatan memasang sistem THAAD, Tiongkok juga membatalkan dialog pertahanan tingkat tinggi, hingga menunda kunjungan menteri pertahanan Korea Selatan ke Tiongkok (Swaine, 2017, 2).

Kehadiran THAAD ini membuat Tiongkok merasakan dilema keamanan (security dilemma). Tiongkok menganggap bahwa kehadiran THAAD ini membahayakan keamanan nasionalnya karena THAAD memiliki tingkat intelegensi yang tinggi. 

THAAD mempunyai teknologi X-Band, yaitu sistem radar yang dapat menelusuri, mendeteksi, mengidentifikasi, dan mencari target yang letaknya jauh. Menurut Tiongkok, THAAD memiliki jangkauan yang luas hingga 2000 kilometer (1.243 mil) melampaui Semenanjung Korea yaitu mencapai setengah bagian timur Tiongkok. 

Maka dari itu, pemasangan THAAD ini dianggap mengganggu keamanan nasional Tiongkok dan juga stabilitas kawasan (Shalal et al., 2016). Selain itu juga, Tiongkok menganggap bahwa pemasangan THAAD ini mengganggu balance of power di kawasan Asia Timur karena adanya aliansi keamanan trilateral yang mengepung Tiongkok, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, serta akan menimbulkan kompetisi senjata regional (regional arms race) (Paradise, 2019). Maka dari itu, Tiongkok berusaha keras untuk membuat Korea Selatan mengubah keputusannya untuk memasang sistem THAAD.

Dalam upaya mempengaruhi Korea Selatan untuk mengubah keputusannya terhadap THAAD, Tiongkok menerapkan strategi diplomasi koersif jenis tacit ultimatum, yaitu dalam bentuk pemboikotan. 

Diplomasi koersif adalah suatu strategi negosiasi politik-diplomatik untuk mencapai suatu kepentingan yang bertujuan mempengaruhi kehendak pihak lawan (opponent) menggunakan paksaan dan ancaman. Diplomasi koersif ini menggunakan pendekatan wortel dan tongkat (carrot and stick). Terdapat dua jenis diplomasi koersif, yaitu ultimatum dan try-and-see

Diplomasi koersif ultimatum memiliki tiga hal utama: 

(1) tuntutan yang jelas terhadap lawan; 

(2) jangka waktu dan urgensi mengenai kepatuhan terhadap tuntutan; dan 

(3) ancaman hukuman jika tidak mematuhi tuntutan yang diminta. 

Jika suatu tuntutan tidak memiliki jangka waktu yang jelas namun ditunjukkan melalui urgensi di bagian lain, atau ancaman hukuman dilakukan melalui aksi bukan verbal, ini disebut juga dengan diplomasi koersif ultimatum tacit

Menurut George dan Simon (1994:39-40) dalam Nugroho (2019), tacit ultimatum ini adalah bentuk akhir dari perilaku suatu negara terhadap negara lawan (opponent) di level nasional melalui kebijakan yang dilegitimasi oleh pemerintah, kelompok kepentingan, dan instrumen pembuatan keputusan di negara tersebut (Nugroho, 2019). 

Sedikit berbeda dengan diplomasi koersif ultimatum, diplomasi koersif try-and-see hanya memiliki dua hal, yaitu tuntutan yang jelas dan jangka waktu untuk melihat reaksi negara lawan. Diplomasi koersif try-and-see ini tidak memiliki rasa urgensi seperti diplomasi koersif ultimatum. 

Terdapat 8 indikator keberhasilan diplomasi koersif, yaitu: (1) tujuan yang jelas dan konsisten; (2) motivasi yang kuat; (3) asimetri motivasi; (4) rasa urgensi; (5) kepemimpinan yang kuat; (6) dukungan domestik dan internasional; (7) ketakutan pihak lawan menghadapi eskalasi; dan (8) kejelasan mengenai aturan dan solusi yang jelas terhadap isu (Jönsson, 2018, 2).

Sejak awal pengumuman diskusi mengenai THAAD, Tiongkok telah menentang keras ide dan menyampaikan tuntutan yang jelas kepada Korea Selatan, yaitu membatalkan rencana pemasangan THAAD. 

Menurut Tiongkok, tidak seharusnya Korea Selatan mengganggu keamanan nasional negara lain yaitu dalam hal ini adalah keamanan nasional Tiongkok, ketika sedang memperkuat keamanan nasionalnya. 

Tuntutan tersebut terus diupayakan melalui serangkaian dialog, pernyataan resmi kenegaraan, dan juga pernyataan di media massa. Kementerian Luar Negeri Tiongkok tercatat telah menyatakan penolakan terhadap isu THAAD ini lebih dari 50 kali (Meick & Salidjanova, 2017).

Setelah mendapati bahwa ancaman verbal tidak efektif, Tiongkok menyatakan urgensi tuntutannya melalui aksi, yaitu pemboikotan produk-produk dan pembatasan pariwisata ke Korea Selatan.

Mulai Agustus 2016, Tiongkok menerapkan pemboikotan skala besar terhadap segala produk dari Korea Selatan agar Korea Selatan menarik kembali keputusan pemasangan sistem THAAD di negaranya, termasuk produk kebudayaan Korean Wave

Produk-produk asal Korea Selatan ditarik dari peredaran, drama Korea Selatan dihapus dari penayangan di televisi, tayangan ataupun cuplikan artis Korea Selatan dipotong dan diburamkan di televisi, proyek-proyek drama yang melibatkan artis Korea Selatan ditunda hingga diganti dengan artis Tiongkok, kontrak kerja dengan artis Korea Selatan dibatalkan secara tiba-tiba, hingga konser pun dibatalkan meski waktunya sudah dekat (Permatasari, 2019, 1024-1025). 

Di sektor pariwisata, Tiongkok melakukan pembatasan secara bertahap selama kurang lebih tujuh bulan dari Agustus 2016 hingga Maret 2017. Pemerintah Tiongkok mengeluarkan travel notice ke Korea Selatan, agen-agen travel Tiongkok melakukan pembatalan tur Korea Selatan, hingga meniadakan charter flight saat Tahun Baru Imlek (Paradise, 2019). 

Kebijakan-kebijakan koersif Tiongkok terhadap pariwisata Korea Selatan menyebabkan penurunan jumlah wisatawan Tiongkok ke Korea Selatan hingga lebih dari tiga juta sepanjang tahun 2016-2018 (Sukyee, 2019). South Korea’s National Assembly Budget Office mengatakan bahwa kerugian yang dialami Korea Selatan akibat pembatasan sektor pariwisata ini mencapai 7,5 triliun won (Govindasamy, 2020, 64).

Penduduk Tiongkok juga melakukan boikot terhadap produk Korea Selatan (national consumer boycott). Dari survei yang dilakukan oleh koran Global Times, 95% responden survei setuju terhadap pemboikotan produk Korea Selatan. 

Salah satu perusahaan industri terbesar di Korea Selatan, Lotte Group, mengalami kerugian hingga 140 miliar dari 2016 hingga 2018 akibat pemboikotan ekonomi oleh Tiongkok. Sebanyak 112 gerai Lotte Group di Tiongkok ditutup setelah 11 tahun beroperasi (The Straits Times, 2019).

Strategi diplomasi koersif yang diterapkan Tiongkok berlabuh pada adanya perjanjian Three NOs di tahun 2017 antara Tiongkok dan Korea Selatan. Perjanjian Three NOs ini mengandung tiga poin, yaitu tidak adanya penambahan baterai THAAD, tidak adanya integrasi Korea Selatan terhadap sistem pertahanan nuklir regional Amerika Serikat, dan juga tidak adanya aliansi trilateral bersama Amerika Serikat dan Jepang (Tias, 2020, 88). 

Sejak adanya Three NOs ini, normalisasi hubungan Tiongkok dan Korea Selatan pun terjadi. Perlahan-lahan, pemerintah Tiongkok melonggarkan pembatasan pariwisata ke Korea Selatan serta produk-produk Korea Selatan pun kembali masuk ke pasar Tiongkok.

Akan tetapi, pada faktanya, Three NOs ini tidak berhasil mewujudkan tuntutan Tiongkok sejak awal: pembatalan pemasangan sistem THAAD di Korea Selatan. 

Meskipun Three NOs ini adalah bentuk win-win solution bagi Tiongkok dan Korea Selatan, namun ini tidak mampu mempengaruhi pihak lawan (Korea Selatan) dalam memenuhi tuntutan negara pelaku (Tiongkok) sesuai dengan konsep diplomasi koersif.

Korea Selatan tidak bersedia memenuhi tuntutan penyelesaian “eksplisit” Tiongkok, yaitu pembatalan pemasangan sistem THAAD. Korea Selatan hanya menjamin bahwa sistem THAAD ini tidak ditujukan ke wilayah teritorial Tiongkok. Noh Youngmin, Duta Besar Korea Selatan untuk Tiongkok, menegaskan bahwa bagi Korea Selatan, kepentingan keamanan nasional merupakan hal yang tak dapat dinegosiasikan (Junsuk, 2017).

Dari hal ini, jelas bahwa Korea Selatan sebetulnya masih tak bergeming dari kebijakan awal yaitu membangun sistem THAAD. Korea Selatan kemudian mempertegas kembali tujuan THAAD itu sendiri, yaitu untuk menangkal ancaman dari musuh bebuyutannya, Korea Utara.

Tiongkok sebetulnya telah menyampaikan tuntutan secara jelas dan konsisten sejak awal, yaitu pembatalan pemasangan sistem THAAD di Korea Selatan didorong motivasi vital yaitu kekhawatiran mengenai keamanan nasional. 

Tiongkok menerapkan pemboikotan besar-besaran terhadap produk-produk Korea Selatan meski Korea Selatan adalah salah satu trade partner terbesar Tiongkok. 

Tiongkok juga telah menunjukkan urgensinya sejak hari pertama pengumuman diskusi kerjasama pembangunan THAAD dengan melakukan dialog dan mengeluarkan pernyataan resmi di media. 

Tiongkok selalu mendesak Korea Selatan di berbagai kesempatan. Rakyat Tiongkok juga mendukung strategi diplomasi koersif yang diterapkan Tiongkok karena patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.

 Di dunia internasional, Rusia juga mendukung Tiongkok dalam menentang pemasangan THAAD. Tiongkok juga dengan jelas menunjukkan hukuman yang didapat Korea Selatan, yaitu pemboikotan ekonomi yang turut berdampak pada perekonomian Korea Selatan. 

Meskipun telah menerapkan berbagai poin-poin utama diplomasi koersif, namun Tiongkok tidak berhasil secara maksimal mempengaruhi Korea Selatan agar menuruti tuntutan utamanya. Hal ini terjadi karena faktor asimetri motivasi Tiongkok yang justru menguntungkan Korea Selatan. 

Tiongkok terlalu ambisius dengan menuntut Korea Selatan langsung membatalkan pemasangan THAAD alih-alih meminta Korea Selatan untuk menyesuaikan atau memberikan penjelasan mendalam mengenai teknologi tersebut, sehingga Korea Selatan menggunakan alasan keamanan nasional yang tak dapat dinegosiasikan untuk menanggapi tuntutan Tiongkok.

Faktor lainnya adalah hubungan Korea Selatan dan Amerika Serikat yang sudah terjalin sejak lama khususnya di bidang keamanan, yang dapat dilihat dari banjirnya markas militer Amerika Serikat di Korea Selatan. Korea Selatan merupakan negara dengan markas militer Amerika Serikat terbesar, yaitu mencapai 73 markas (Hussein & Haddad, 2021). 

Diskusi dan negosiasi mengenai THAAD ini juga telah dilakukan oleh Amerika Serikat dan Korea Selatan sejak tahun 2013, yaitu kurang lebih selama tiga tahun sebelum pengumuman resmi mengenai pemasangan sistem THAAD di Korea Selatan sehingga Korea Selatan tidak mungkin membatalkan kerjasama begitu saja. 

Motivasi vital Tiongkok hanya sebatas pada dilema keamanan yang tidak pasti. Tak ada bukti konkret bahwa THAAD tersebut ditujukan untuk memata-matai Tiongkok dari jarak jauh, sehingga dugaan tersebut langsung dapat dipatahkan oleh Korea Selatan dengan mudah dan juga melalui Three NOs, Korea Selatan menjamin bahwa teknologi tersebut tidak membahayakan Tiongkok. 

Korea Selatan menegaskan bahwa teknologi tersebut dipasang untuk menghadapi ancaman nuklir dari Korea Utara yang begitu masif dalam beberapa waktu terakhir. Tiongkok sendiri juga tidak menyediakan solusi dan prosedur yang jelas terhadap isu THAAD ini. 

Sejak awal, Tiongkok hanya mengutarakan tuntutan dan motivasinya saja tanpa ada solusi detail dan implementasinya, sehingga Korea Selatan tetap menjalankan keputusannya yaitu memasang sistem THAAD hingga tahun 2021 ini.

Sangat sulit bagi Korea Selatan untuk membatalkan pemasangan sistem THAAD begitu saja. Jika Korea Selatan memenuhi tuntutan eksplisit Tiongkok tersebut, citra dan bargaining power Korea Selatan tentunya akan tercoreng di mata internasional. 

Korea Selatan akan dianggap sebagai bagian dari aliansi Tiongkok. Hal tersebut akan berimplikasi pada hubungan Korea Selatan dengan Amerika Serikat yang sudah terjalin sejak lama. 

Dampak perekonomian yang dialami oleh Korea Selatan karena diplomasi koersif Tiongkok memang cukup signifikan hingga miliaran dolar, namun hal tersebut tak menyurutkan kepentingan Korea Selatan untuk melaksanakan kepentingan keamanan nasionalnya karena selain kepentingan nasional, terdapat kepentingan lain yaitu branding dan menjaga “kawan baik” yang harus dilakukan.

Tiongkok sebagai rising power dengan segenap kekuatannya dari bidang politik dan ekonomi, nyatanya tak mampu mempengaruhi Korea Selatan mengubah keputusan mengenai kepentingan keamanan nasionalnya. 

Adanya interdependensi perekonomian antarnegara memang telah melahirkan Three NOs untuk sedikit mengurangi tensi yang ada, namun itu menjadi bukti bahwa diplomasi koersif yang dilakukan Tiongkok tidak memberikan hasil yang maksimal dan sesuai tuntutan sejak awal. 

Dalam melakukan diplomasi koersif, negara-negara perlu mempertimbangkan indikator-indikator kesuksesan diplomasi koersif dengan baik dan matang. Motivasi yang menjadi pendorong dan urgensi yang diajukan pun harus kuat agar pihak lawan juga merasakan hal yang sama sehingga dapat menuruti tuntutan. 

Selain itu, negara pelaku diplomasi koersif juga harus memberikan solusi yang substantif, jelas, dan detail. Dengan demikian, kredibilitas negara juga dapat meningkat sehingga dapat meningkatkan kesempatan sukses strategi diplomasi koersif. Work smart adalah kunci dari diplomasi koersif. Work hard jika tidak diiringi dengan perhitungan yang baik dan matang (smart), maka hasil yang didapatkan tidak akan maksimal, bahkan bisa saja menjadi sia-sia.

BIBLIOGRAPHY

Govindasamy, G. (2020). South Korea-China Relations and the New Southern Policy: Some Reflections. Joint Issue, 62-70.

Hussein, M., & Haddad, M. (2021, September 10). Infographic: US military presence around the world | Infographic News. Al Jazeera. Retrieved November 28, 2021, from https://www.aljazeera.com/news/2021/9/10/infographic-us-military-presence-around-the-world-interactive

Jobst, N. (2021, April 15). South Korea: main import partners 2020. Statista. Retrieved November 26, 2021, from https://www.statista.com/statistics/618519/south-korea-main-import-partners/

Jönsson, C. (2018). Coercive Diplomacy. In The Encyclopedia of Diplomacy (pp. 1-13). John Wiley & Sons, Ltd. https://doi.org/10.1002/9781118885154.dipl0402

Junsuk, Y. (2017, November 2). 'No secret agreement over THAAD': Foreign Ministry. The Korea Herald. Retrieved November 27, 2021, from http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20171102000925

Meick, E., & Salidjanova, N. (2017, July 26). China’s Response to U.S.-South Korean Missile Defense System Deployment and its Implications [Report]. U.S.-China Economic and Security Review Commission. Retrieved November 27, 2021, from https://www.uscc.gov/sites/default/files/Research/Report_China's%20Response%20to%20THAAD%20Deployment%20and%20its%20Implications.pdf

Nugroho, A. (2019). BHUTAN’S STRATEGY TO OVERCOME THE BORDER CONFLICT BETWEEN INDIA AND CHINA [Thesis]. Research Repository. Retrieved November 28, 2021, from http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/25857/8.%20CHAPTER%20IV.pdf?sequence=8&isAllowed=y

Pak, J. H. (2020, Juli). Trying to Loosen the Linchpin: China’s Approach to South Korea. Global China: Assessing China's Growing Role in the World, 53 - 59. https://www.brookings.edu/wp-content/uploads/2020/07/FP_20200606_china_south_korea_pak_v2.pdf

Paradise, J. F. (2019). Sanction Effectiveness in the China-South Korea THAAD Dispute: The Importance of Target State Considerations. In Challenges to China's Economic Statecraft (pp. 33-61). Lexington Books. https://books.google.co.id/books?id=gc2nDwAAQBAJ&pg=PR7&lpg=PR7&dq=james+f.+paradise+Sanction+Effectiveness+in+the+China-South+Korea+THAAD+Dispute:+The+Importance+of+Target+State+Considerations&source=bl&ots=YqXCLI1Cog&sig=ACfU3U1r6-pQVrdadUVQgYEVe3gKcobLy

Permatasari, D. (2019). Analisis Penggunaan Three NOs oleh Korea Selatan untuk Mengatasi Boikot di Cina Akibat Terminal High Altitude Area Defense (THAAD). Journal of International Relations, 5(1), 1023-1032. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/22710/20771

Shalal, A., Stewart, P., Nomiyama, C., & Osterman, C. (2016, February 25). China cites concerns on U.S. missile defence system in South Korea. Reuters. Retrieved November 26, 2021, from https://www.reuters.com/article/usa-china-north-korea-idINKCN0VY2RN

The Straits Times. (2019, March 13). South Korea's Lotte seeks to exit China after investing $9.6 billion, as Thaad fallout ensues. The Straits Times. Retrieved November 27, 2021, from https://www.straitstimes.com/asia/east-asia/south-koreas-lotte-seeks-to-exit-china-after-investing-96-billion

Sukyee, J. (2019, November 12). Number of Chinese Tourists Visiting South Korea Drops after China's Travel Ban. Business Korea. Retrieved November 27, 2021, from http://www.businesskorea.co.kr/news/articleView.html?idxno=37900

Swaine, M. D. (2017, February 14). Chinese Views on South Korea’s Deployment of THAAD. China Leadership Monitor, 52, 1-15. https://www.hoover.org/sites/default/files/research/docs/clm52ms.pdf

Tias, A. (2020). SOUTH KOREA AND CHINESE CONFLICT OVER THAAD: HOW IT STARTED AND THE WAY IT ENDED. Review of International Relations (RIR), 2(2), 80-90. https://doi.org/10.24252/rir.v2i2.17991

Yoon, S., Listerman, B., Putz, C., & Jaquet, K. (2021, May 10). Upgrading South Korean THAAD – The Diplomat. The Diplomat. Retrieved November 28, 2021, from https://thediplomat.com/2021/05/upgrading-south-korean-thaad/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun