Menjadi satu-satunya orang yang tidak merokok di tongkrongan adalah hal yang menjengkelkan. Sebab, kita harus rela oksigen yang kita hirup bercampur dengan asap rokok yang keluar dari mulut orang lain. Berangkat dari kejengkelan itulah kemudian muncul keinginan dalam diri saya untuk menjadi perokok aktif. Ya, supaya teman-teman tongkrongan juga ikut merasakan asap yang keluar dari mulut saya. Make sense bukan?
Dalam suatu kesempatan, di kosan berukuran tiga kali empat meter. Saya mengambil sebatang rokok kemudian menyulutnya dengan korek api, tentu atas tawaran dari seorang kawan. Saya harus terbatuk-batuk ketika kali pertama mengisapnya.
"Aja jero-jero nyedote", ujar Agus khas dengan dialek ngapaknya. Forum malam itu menjadi begitu riuh lantaran berubah menjadi forum untuk menertawakan perokok newbie macam saya. Gelak tawa bersahutan. Namun, hal itu tidak juga menyurutkan niat saya untuk terus belajar merokok. Satu demi satu hisapan membuat pendek ukuran batang rokok. Sampai tiba pada hisapan terakhir, saya tidak juga menemukan nikmatnya merokok.
"Kok ora enak ya?" ujarku sembari mematikan ujung puntung.
"Lah koen, nembe sepisan nyoba kok wis ngomong ora enak, jal pisan maning!" ujar Dirman yang sudah fasih merokok sejak bangku SMP. Belum sempat kujawab, Imam menyetujui ucapan Dirman. "Nah bener, Aku we pas pertama ngrokok ya ora enak, watuk ya wis lumrahe arane pemula".
"Dicoba mengko maning bar mangan, nek ora ya karo ngopi, beuh penake poll." Budi memberi bocoran waktu-waktu yang paling nikmat untuk merokok.
Karena rasa penasaran saya, dalam beberapa kesempatan kemudian saya mencoba kembali merokok. Tentu di waktu-waktu yang dianjurkan paling nikmat untuk merokok. Seperti sehabis makan, sambil ngopi, sampai saat buang air besar di toilet sekalipun. Dari percobaan-percobaan itu, jangankan ketagihan, menemukan enaknya saja saya tidak bisa.
Rentetan peristiwa itu membikin kepala saya terbesit ingin menggugat para perokok yang tersebar di seantero bumi, "Dimana sih letak kenikmatan merokok?". Saya yakin, mereka akan kesulitan untuk meladeni pertanyaan semacam itu. Namun, dari pada saya diprotes ramai-ramai oleh komunitas kretek, lebih baik saya bertanya, "Kenapa saya nggak bisa merokok?" Jauh lebih aman toh?
Di sela-sela kegalauan, saya kemudian teringat quote yang cukup masyhur dari Jalaluddin Rumi. Quote tersebutlah yang akhirnya membuat kegalauan saya selama ini sirna, membuat pertanyaan-pertanyaan saya menemui jawaban. Kata Rumi, "Hanya PECINTA yang mengerti keindahan yang DICINTA".
Kalau ditarik dengan kasusku mungkin jadi begini, "Hanya Perokok yang mengerti kenikmatan Merokok." Yapp, ini hanya soal siapa yang berhasil menemukan cinta dan siapa yang gagal mendapatkan cinta diantara berbatang-batang kretek yang menyala. Dan saya, satu dari mungkin banyaknya orang yang tidak berhasil menemukan cinta itu.
Slogan "sebats dulu", "ora ngudud paru-paru ora smile", dan sejenisnya sepertinya tidak berlaku buat saya dan beberapa orang yang bernasib sama seperti saya. Hiks.
Tulisan singkat dan receh ini ditujukan buat orang-orang yang tidak merokok seperti saya, yang mungkin tidurnya tidak nyenyak karena pertanyaan-pertanyaan yang serupa. Atau, makannya jadi tak enak lantaran kegalauan yang sama. Buat perokok dilarang baper, yaa! Karena, ini sebatas curhatan dari kami para perokok pasif yang memaksa menjadi aktif.
Finally, saya bisa kembali tidur dengan nyenyak dan makan dengan enak lantaran penasaran saya sudah terjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H