Mohon tunggu...
Lucky Maulana Azhari
Lucky Maulana Azhari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai bola dan film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebagai Umat Beragama, Kita Patut Berterima Kasih dengan Orang Agnostik Macam Coki

18 September 2021   20:40 Diperbarui: 18 September 2021   20:43 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya berita penangkapan komika Coki Pardede lantaran kedapatan menggunakan narkoba jenis sabu, membuat saya merasa turut prihatin. Bagaimanapun, saya merupakan salah satu umat lucu penikmat karya-karya duet maut Coki Muslim. 

Di tulisan ini, saya tidak akan men-zoom-in persoalan narkoba dan peristiwa penangkapan Coki. Ada hal lain yang lebih menarik untuk dibahas dari sekadar mengulang pemberitaan yang sudah tersebar di berbagai media.

Bagi sebagian orang yang mengikuti konten-konten Majelis Lucu Indonesia, tentu sudah tidak asing lagi dengan jokes ala Coki yang dikenal dark dan ofensif. Apalagi belakangan ini, Ia cukup berani untuk menyatakan ke publik kalau dirinya adalah seorang agnostik.

Beragam komentar bermunculan pasca Coki dengan lugas menyatakan hal tersebut di media. Pro dan kontra tentu menjadi sesuatu yang sah ketika hal tersebut sudah masuk ke ranah publik.

Alih-alih memperdebatkan, saya ingin mencoba mengajak pembaca menyamakan persepsi  dahulu tentang apa itu agnostik. R. S. Sharma dalam Encyclopedia International mengungkapkan pendapatnya tentang agnostisisme. 

Menurutnya, agnostisisme merupakan pandangan skeptis terhadap agama yang merujuk pada sikap dan ajaran bahwa keberadaan Tuhan tidak bisa diketahui atau dibuktikan.

Lebih lanjut, dikutip dari jurnal yang berjudul Atheis dan Agnostik dalam Perspektif Agama Islam, Ashriyah, Saadatul (2019), seseorang yang agnostik tidak menyangkal keberadaan Tuhan secara mutlak. Ia menganggap keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat dinalar oleh akal manusia.

Kedua definisi tersebut senada dengan pernyataan Coki dalam berbagai kesempatan. Ia dengan jelas menyampaikan kalau dirinya tidaklah menyangkal keberadaan Tuhan, melainkan sebatas mempertanyakan dan meminta pembuktian. 

Menurutnya, Jikapun Tuhan itu ada, Ia bersifat universal dengan tidak mengkotak-kotakkan pemeluknya melalui identitas yang bernama agama.

Setelah mengamati dengan seksama mengenai bagaimana seorang agnostik hadir dengan konsep ketuhanan yang cukup unik dan berbeda dari kebanyakan orang. 

Ini tentu menjadi semacam shock therapy bagi kita semua sebagai pemeluk agama untuk kembali memeriksa atau paling tidak bertanya pada diri masing-masing, "Mengapa saya beragama?".

Dalam situasi seperti ini, ketika seorang agnostik beranggapan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui atau dibuktikan. 

Seyogyanya, sebagai pemeluk agama kita mesti berterimakasih, karenanya kita lantas merasa tertantang untuk turut mempertanggungjawabkan keyakinan kita akan keberadaan Tuhan secara matang. 

Tujuannya tidak untuk mendebat orang-orang agnostik macam Coki, melainkan untuk memantapkan keimanan dalam diri kita masing-masing terhadap keberadaan Tuhan yang diyakini secara mutlak.

Istilah "mempertanggungjawabkan" dirasa sangat tepat dalam kasus ini, karena secara sadar maupun tidak, sebagai umat beragama kita seringkali merasa cukup puas dengan agama warisan orang tua. 

Tentu tidak ada yang salah dengan pemahaman seperti itu, namun yang cukup memprihatinkan kita menjadi tidak terbiasa untuk berpikir kritis tehadap sesuatu yang bahkan kita sendiri yakini.

Dalam agama yang saya anut misalnya -- islam - Allah SWT secara gamblang 'menantang dan melatih' manusia untuk menggunakan akalnya. 

Jika dicermati, seluruh kata "Akal" yang termuat dalam redaksi Alquran disampaikan dalam bentuk kata kerja. Maknanya, manusia secara aktif harus menggunakan akal dalam kesehariannya, termasuk berpikir kritis.

Pada akhirnya, tulisan ini tidak betul-betul  mendebat antar satu kepercayaan dengan yang lainnya. Melainkan, diharapkan mampu menjadi titik balik kita untuk bersama-sama mempertanggungjawabkan kepercayaan yang selama ini kita warisi dari orang tua. 

Supaya kita betul-betul secara sadar dan matang meyakini dan memeluk suatu agama tertentu, kemudian dapat hidup berdampingan dengan damai sebagai sesama manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun