Dalam Jurnalistik, wawancara merupakan proses yang esensial dan wajib dilakukan. Bagaimana tidak, keaslian data di lapangan dapat di verifikasi oleh wawancara. Selain itu, wawancara juga bermanfaat memberikan informasi-informasi baru yang dapat berguna menghasilkan angle-angle tambahan dan informasi untuk follow-up berita. Namun, masih saja ada wartawan yang memalsukan wawancara karena beberapa hal.
Penulis mengambil dua kasus wawancara fiktif yang terjadi di Indonesia dan Jerman. Kasus pertama yang berasal dari Indonesia, dimana wartawan dari media online KoranPangkep.co.id bernama Tata Syahrul Syaf dijerat UU ITE karena telah melakukan pemalsuan wawancara terkait dengan pemberitaan tindak asusila yang dilakukan oleh pihak security suatu perusahaan BUMN.
Kasus kedua datang dari Jerman, dimana seorang wartawan media cetak berbahasa Jerman, Der Spiegel bernama Class Relotius telah melakukan pengarangan berita selama bertahun-tahun. Meskipun telah bekerja di Der Spiegel selama tujuh tahun, Class Relotius tidak mampu mempertahankan integritasnya sebagai jurnalis dengan melakukan penipuan jurnalistik berskala besar. Dalam berita tersebut, dijelaskan bahwa ia "mengarang cerita dan menciptakan sumber protagonist", yang berarti juga turut merekayasa proses wawancara yang ada.
Dalam Kode Etik Jurnalistik, wawancara disinggung dalam beberapa pasal walaupun tidak secara eksplisit, pasal empat misalnya. "Wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul". Tentu saja, indikator dari tidak bohong adalah dengan melakukan wawancara. Selain itu, dengan melakukan wawancara dapat menghindarkan jurnalis-jurnalis dari fitnah karena hasil wawancara yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan.Â
Selain itu, terdapat juga Pasal  satu yang mengatakan bahwa Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, dan tidak beritikad buruk. Sayangnya, kedua wartawan tersebut telah beritikad buruk dengan sengaja tidak melakukan wawancara dan kemudian mengarang beritanya.
Setelah membaca berita yang ada, ternyata Tata hanya mengutip pemberitaan dari media lain tanpa melakukan wawancara untuk memverifikasi berita yang ada. Hal ini tentu saja sudah melanggar Kode Etik Jurnalistik, karena wartawan tidak turun langsung ke lapangan untuk melakukan peliputan.Â
Selain itu, ia juga tidak menjalankan  elemen pertama, yakni menyampaikan kebenara yang berupa fakta. Esensi dari jurnalistik adalah menyampaikan fakta yang faktual kepada masyarakat, karena jurnalis merupakan harapan utama mereka dalam mendapatkan informasi yang faktual.
Dari kasus Relotius sendiri, ia mengungkapkan bahwa rasa tekanan dan takut gagal menjadi penyebab utama ia melakukan rekayasa tersebut. Tentu saja, hal ini tidak dapat dibenarkan. Sebagai jurnalis yang bertanggungjawab penuh atas kepercayaan masyarakat, seharusnya ia tetap menghasilkan berita yang faktual dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dengan menulis sesuai apa yang terjadi di lapangan dan melakukan verifikasi data untuk mendukung kebenaran tersebut.
Penulis mencoba untuk melihat di dewanpers.or.id apakah media online tempat Tata Syahrul Syaf bekerja sudah terverifikasi atau belum, dan ternyata media tersebut belum terverifikasi. Hal ini tentu saja menimbulkan skeptis dari penulis. Media yang belum terverifikasi seharusnya. Kasus dari Class Relotius lebih mengherankan lagi.Â
Pasalnya, Der Spiegel merupakan media cetak yang telah lama berdiri, yakni selama 73 tahun, dan Class Relotius telah bekerja selama tujuh tahun. Tentu saja perbuatan yang dilakukan oleh Relotius fatal, dan mampu mencoreng reputasi Der Spiegel sebagai media cetak Jerman. Setelah diselidiki, ternyata 14 dari 60 berita yang ditulis oleh Relotius mengandung unsur fiktif. Ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Stephen Glass pada media cetak New Republics.
Berbicara mengenai sembilan Elemen Jurnalistik yang ada, tentu saja wawancara termasuk dalam salah satu elemen tersebut. Terdapat salah satu elemen yakni "Disiplin Verifikasi".Â