Kekecewaan agaknya selalu membuntuti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Tak terkecuali pada PPDB tahun ini. Tidak sedikit masyarakat yang mengeluhkan susahnya mendaftarkan putra-putrinya ke sekolah tujuan. Maklum saja, orang tua banyak yang gagap teknologi (gaptek) karena sistem PPDB kini online.
Selain itu, pendaftaran ke sekolah terkadang diwarnai dengan kecurangan. Teranyar, jalur zonasi disinyalir kerap diakali oleh peserta didik baru. Sederhananya, mereka ingin bersekolah di sekolah yang dianggap favorit. Lantaran terbentur zonasi, sejumlah cara "gaib" pun dihalalkan agar bisa diterima di sekolah impian.
Ya, beberapa waktu lalu saya sempat membaca sebuah artikel di media online ternama di Indonesia. Demi bisa bersekolah di sekolah dambaan, siswa diduga nekat pindah domisili alias mutasi hingga pindah kartu keluarga (KK). Cara itu memang sangat tidak lumrah, dan terkesan memaksakan.
Untuk diketahui, zonasi merupakan salah satu kebijakan yang dibuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Itu, untuk menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional. Sistem ini diharapkan juga bisa menghapus labelisasi masyarakat terhadap sekolah yang dianggap favorit.
Menilik laman resmi Kemdikbud.go.id, zonasi didefinisikan sebagai bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi. Rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik. Sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak/radius antara rumah siswa dengan sekolah. Artinya, hanya siswa dengan jarak rumah terdekat lah yang akan diterima di sekolah tersebut.
Dalam hal ini, tetap saja ada pihak tak bertanggung jawab yang bertingkah. Misalnya, di Kota Blitar, Jawa Timur. Dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dispendukcapil) mengakui bahwa angka penduduk datang cukup banyak, bahkan mencapai ribuan jiwa. Mereka berasal dari sejumlah kota/kabupaten sekitar Kota Blitar.
Dasar permohonan untuk pindah domisili ke Kota Blitar tak lain karena faktor pendidikan. Hal itu diakui secara terang-terangan kepada pegawai dispendukcapil. Karena memang mereka yang mengakses layanan dukcapil harus mencantumkan alasan yang jelas dan sebenar-benarnya.
Upaya yang dilakukan pemohon jelas tak bisa dibendung oleh dispendukcapil. Sebab, mereka berpedoman teguh pada Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Isinya, setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan serta peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana, dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Dalam konteks itu, senyampang warga mengurus administrasi kependudukan dengan jelas dan seusai alur, maka tetap dilayani.Â
Indikasi Lunturnya Penerapan Sila Kelima?
Peserta didik asal luar daerah pun leluasa menjadikan layanan tersebut sebagai "jalan pintas" yang notabene tidak sehat. Namun apa daya, dispendukcapil tak bisa membatasi. Jika kedapatan menghambat layanan mutasi, instansi tersebut terancam sanksi melanggar produk hukum yang telah ditetapkan.
Sementara bagi dinas pendidikan (dispendik) mengacu ketentuan kemendikbud, siswa dari luar daerah bisa mengikuti sistem zonasi jika sudah menetap selama setahun di kota/kabupaten tempat mendaftar sekolah. Ironisnya, ada indikasi kecurangan yang sudah terjadi sejak tahun lalu. Siswa pindah domisili sejak tahun lalu, lalu saat PPDB SMA/SMK dibuka, mereka bisa mendaftar via zonasi.
Saya pun agak bingung menyikapi bagaimana solusi yang tepat. Menurut saya, memang tidak ada batasan ingin belajar di mana pun itu, senyampang tidak menyalahi aturan dan merugikan pihak lain.Â
Kalau memang pemerintah menghendaki sistem zonasi untuk pemerataan kualitas dan layanan pendidikan, seharusnya juga menjamin sekolah memberikan mutu lebih baik. Sehingga, cita-cita untuk menghapus label sekolah favorit itu bisa terwujud. Bukannya hanya angan, justru menuai polemik dan berujung merugikan anak bangsa.
Disebut merugikan, karena maraknya indikasi kecurangan PPDB Zonasi yang dilancarkan peserta didik baru dengan melakukan praktik mutasi ke lingkungan dekat sekolah, membuat putra-putri daerah tak kebagian bangku.Â
Fenomena ini terjadi di Kota Blitar. Dalam rapat kerja Komisi I DPRD Kota Blitar disebutkan bahwa masih banyak siswa asli Kota Blitar lulusan SMP tak kebagian bangku untuk mendaftar di SMA/SMK karena kalah dengan siswa yang lebih dulu mutasi. Lantas, di mana letak sila kelima Pancasila yang berbunyi: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Akankah kecurangan pada jalur zonasi PPDB, seperti pindah KK dan mutasi ini memantik lunturnya butir-butir sila kelima Pancasila?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H