Selamat merayakan Idul Fitri tahun 2022. Semoga ibadah di Bulan Ramadan bisa memberikan berkah manfaat untuk kita semua, amin.
Bicara soal Ramadan dan Idul Fitri, ini perayaan yang ke-15 tahun untukku dan ibu, tanpa hadirnya seorang ramanda atau ayah.
Ya, hidup memang layaknya dadu. Apapun angka yang keluar, tetap harus diterima dengan ikhlas.
Perjalanan pahit antara kami empat saudara dan ibu mungkin bukan seberapa bagi sebagian rekan kompasianer atau pembaca.
Namun, setiap individu di masing-masing keluarga memiliki tingkat kepekaan hati yang tak sama. Mungkin sakit untukku tapi biasa bagi orang lain. Itu lumrah.
Kisah kelam ini sudah terjadi sejak era 2008. Hari-hari biasa yang kami sekeluarga lalui dengan indah nan sederhana, mendadak semu.
Ayah pamit dan pergi. Dalihnya bekerja untuk kembali menyongsong asa kehidupan yang lebih menjanjikan. Saat itu, usiaku yang baru 8 tahun hanya mengangguk.
Sebagai ayah-anak, kami memiliki hubungan yang cenderung dekat. Namun, saat dia mengucap salam terakhirnya, sunyi menerpa setiap waktu, setiap malam.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan bulan berganti tahun. Tak ada kabar yang kami terima dari pria yang selayaknya memikul tanggung jawab.
Sebagai keluarga, kami awalnya berusaha menghubungi beliau. Berharap belas kasihan dan meminta nafkah. Namun segala upaya nihil.
Selama 2 hingga 5 tahun kami tak lagi menerima kabar sosok 'ayah' itu. Satu-satunya harapan untuk menyambung hidup adalah keberanian seorang ibu.
Lantaran lokasi gubuk kami sangat dekat dengan ladang sawah dan sungai, hampir setiap hari hidangan lezatnya adalah pakis. Nasi seperempat kilogram dibagi menjadi empat piring. Ibu selalu bilang sudah makan. Faktanya belum.
10 tahun berlalu, lagi-lagi tak ada sinyal kabar keberadaan pria bertanggung jawab nan bersahaja itu. Tapi, kami mulai terbiasa. Ibu saat itu berevolusi dengan peran keduanya, menjadi 'ayah'.
Perjuangannya banting tulang tak ada yang bisa menandingi. Kasih sayang ibu begitu murni terasa. Hingga kami tak lagi merasakan sakitnya ditinggal ayah pergi.
Beberapa tahun kemudian, kami mendengar kabar bahwa ayah sudah berumah tangga. Bukan sebuah kejutan bagi kami. Hal itu tak lagi panas saat ditangkap telinga. Sebab, yang kami tahu adalah, bagaimana menyambung hidup di hari berikutnya.
Tuhan Maha Adil. Meski seringkali dihadang beragam ujian pahit, baik dari teman, saudara, dan tetangga, kami tetap berjuang. Gerilya tiada henti memanjatkan doa, berusaha mengais rezeki halal dari-Nya.
Hidup seorang diri, ibu membuatku salut lantaran bisa menyekolahkan keempat anaknya hingga bangku SMA/SMK. Tiga anak sudah dia nikahkan, dan biaya sunatku sepenuhnya dicukupi ibu.Â
Perjuangannya sungguh hebat. Ibu kini  menikmati kesehariannya sebagai penjual rujak yang enjoy. Kakak wanita pertamaku hidup rukun dengan suaminya dan ketiga anaknya.
Kemudian, kakak lelaki nomor dua, kini dipercaya sebagai pemegang 5 otlet molen pisang di Blitar, Bumi Penataran. Dia hidup bahagia dengan istri dan seorang anak lelakinya.
Lalu, kakak perempuan ketiga juga hidup bahagia dengan suami dan anak perempuannya. Kakaku memegang bisnis salon kecantikan. Sedangkan suaminya mengelola toko swalayan.
Terakhir, aku yang masih berusaha keluar dari zona nyaman. Beragam profesi kujalani. Mulai dari jadi OB, penyiar radio, MC, pembawa acara, reporter, hingga kini jadi wartawan. Semua ini aku sungguh menikmatinya dengan syukur dan rahmat Allah.
Teruntuk ayah, kami sudah memaafkan segala khilafmu. Tapi, kami urung bisa melupakan rasa sakit yang membekas begitu dalam di lubuk hati terdalam.
Terimakasih sudah memberikan pembelajaran sempurna ini. Semoga kami sekeluarga dan ayah dengan keluarga barunya selalu sehat.
Pesan kami, jangan memberikan pengalaman 'manis' ini kepada keluarga barumu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H