Mohon tunggu...
Lucky Arditama
Lucky Arditama Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa yang cerdas, tapi nggak mau make otak. Gimana mau make otak, bahkan sampai sekarang dia masih bertanya-tanya apakah dia benar-benar memiliki otak. “Gue nggak akan percaya kalo punya otak sebelum bisa ngeliat otak gue sendiri!” begitu katanya.\r\n \r\nTujuan terbesar dalam hidupnya adalah wisuda. Karena baginya, kuliah di jurusan Fisika sama bodohnya dengan membuka gerbang neraka. Yang lebih hebat, dia satu-satunya mahasiswa Fisika yang fobia ngitung! \r\n\r\nDia suka banget nulis cerita dan ngasih petuah sesat tentang kehidupan. Kunjungi website pribadinya di www.pahlawanbersempak.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Belajar dari Bule

23 Januari 2015   06:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebulan yang lalu batin saya dibuat tertohok oleh mahasiswa asing yang berasal dari Korea. Peristiwa itu bermula ketika saya mengikuti mata kuliah Ketrampilan Wicara, dimana setiap mahasiswa diharuskan menguasai seni mengolah kata. Dosen yang baru saja memasuki kelas, dengan pakaian yang serba rapi dan tanpa membawa buku pegangan seperti dosen lain, berdiri di depan deretan bangku yang sudah terisi oleh puluhan mahasiswa. Ia kemudian melontarkan senyum, berkacak pinggang dan mulai membuka perkuliahan. “Selamat pagi, teman-teman. Semua yang ada di kelas ini akan saya beri nilai A.” Kalimat itu membuat semua mahasiswa bersorak dengan riuh, seolah-olah Indonesia baru saja memenangi gelar Piala Dunia. Dosen yang menyasikan peristiwa itu menggeleng, kemudian melanjutkan kalimatnya. “Asalkan, kalian semua berani untuk berbicara. Anda tahu, mencoba adalah tolak ukur keberanian. Ada yang ingin maju ke depan untuk mencoba berbicara? Ayoh, silahkan maju!”

Kelas yang tadinya ramai seperti pasar malam, sekarang mendadak hening menyerupai kuburan. Tanpa perlu dikomando, seluruh mahasiswa menundukkan kepala. Keheningan ini berlangsung sekitar lima belas menit, tanpa ada satu pun makhluk hidup yang mengeluarkan suara. “Mencoba adalah tolak ukur keberanian,” dosen mengulangi kalimatnya. “Tanpa pernah mencoba sesuatu, seseorang tak akan pernah mendapatkan sesuatu. Tidak adakah di antara teman-teman yang mau mencoba berbicara di depan?”

Lagi-lagi kelas menjadi hening dan semua mahasiswa masih terkubur dengan kediamannya.  Dosen saya memancarkan raut muka yang resah, mata beliau sedikit berkaca-kaca. Ia memutarkan kepalanya ke seluruh penjuru kelas dan tatapan mata beliau terhenti pada seorang mahasiswa asing. “Kamu mau maju ke depan untuk berbicara?” tanya dosen. Mahasiswa asing itu mengangguk, kemudian melenggang ke depan kelas.

Semua mahasiswa bertepuk tangan dengan riuh. Malahan, saya bertepuk tangan sambil berdiri sebagai wujud apresiasi saya yang amat sangat tinggi. Ini pelajaran pertama yang saya dapat dari mahasiswa asing: mereka tak pernah takut untuk mencoba. Mereka tak pernah takut untuk mengambil kesempatan. Sedangkan saya? Saya, yang notebene orang Indonesia, takut untuk mencoba berbicara dengan bahasa Ibu saya sendiri. Saya terlalu pengecut maju ke depan karena takut dikira cari perhatian oleh teman-teman satu kelas. Saya takut ditertawakan teman satu kelas karena gaya bicara saya yang belepotan.

Dengan keterbatasannya berbahasa Indonesia, mahasiswa asing itu terus nyerocos. Ia bercerita bahwa berasal dari salah satu universitas terkondang di Korea. Ia mengetahui ada program pertukaran pelajar ke Indonesia dari pihak kampus. Awalnya, berita pertukaran pelajar itu ibarat angin lalu. Baru kemudian, ia mencari tahu lebih dalam tentang Indonesia melalui internet dan mulai tertariklah ia dengan negeri ini. Ia malahan mengikuti kursus Bahasa Indonesia selama satu tahun saking pengennya belajar di negeri ini.

Setengah jam sudah mahasiswa asing itu bercerita. Lalu ada salah satu teman wanita saya yang berceletuk. “Kamu kenal Suju? Super Junior?” mahasiswa asing itu garuk-garuk kepala. Ia terlihat kebingungan. “Suju itu siyapa?” tanyanya. “Boy Band asal Korea,” timpal teman saya. Mahasiswa asing itu tersenyum. “Saya kok tidak tahu Suju itu siapa, ya? Padahal saya dari Korea. Kalian memang hebat, bisa kenal Suju,” lanjut mahasiswa asing itu. “Padahal, saya sendiri tidak tahu Suju itu siapa. Sementara kalian, yang ada di negeri Indonesia, lebih tahu band-band Korea melebihi saya. Justru saya lebih tertarik dengan Indonesia. Saya tertarik dengan kebudayaan Indonesia. Saya kagum dengan orang Indonesia yang ramah. O—ya, saya mulai tertarik melihat wayang kulit. Saya juga ingin belajar bahasa Jawa. Saya.., saya mencintai Indonesia.”

Hati kecil saya seperti disambar petir. Saya malu dihadapan mahasiswa asing itu. Saya, yang lahir di negeri ini, dibesarkan di negeri ini dan hidup di negeri ini malahan jarang sekali menghargai tanah kelahiran saya sendiri. Saya lebih memilih produk luar negeri ketimbang produk dalam negeri. Saya mengagumi kemajuan teknologi bangsa Eropa. Saya selalu mendengarkan musik-musik dari luar negeri. Saya selalu mengagung-agungkan apa pun yang berbau luar negeri. Sedangkan tepat di depan mata kepala saya sendiri, ada mahasiswa asing yang sebegitu cintanya kepada Indonesia—tanah air saya.

Tanpa terasa kepala saya tertunduk dan pipi saya membasah. Saya benar-benar malu di hadapan Ibu Pertiwi. Saya seperti anak durhaka yang tak penah tahu terima kasih.  Seharusnya saya sadar, bahwa negeri ini adalah negeri yang kaya raya. Negeri ini merupuakan negeri kepualauan terbesar di seluruh dunia. Negeri ini memiliki candi Borobudur, yang merupakan salah satu keajaiban dunia. Negeri ini memiliki pulau Komodo, yang dihuni oleh komodo, dimana tak ada  satu negeri di dunia manapun memiliknya!

Negeri ini memiliki tanah yang subur, dimana semua jenis tanaman bisa berkehidupan. Negeri ini menjujung tinggi Ketuhanan. Negeri ini masih melestarikan adat istiadat dan budi pekerti luhur. Negeri ini, negeri ini mempunyai begitu banyak kekayaan, yang bahkan oleh sejuta lembar kertas pun tak akan cukup untuk menuliskan betapa kayanya negeri ini!

Maka, semenjak peristiwa itu, saya tiada henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan karena telah dilahirkan di negeri ini. Negeri paling kaya di seluruh dunia, Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun