"Wahai yang bersemangat lemah, sesungguhnya jalan ini padanya Nuh menjadi tua, Yahya dibunuh, Zakariya digergaji, Ibrahim dilemparkan ke api yang membara, dan Muhammad disiksa, dan engkau menginginkan Islam yang mudah, yang mendatangi kedua kakimu?"
~ Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ~
Ghirah secara bahasa berarti cemburu. Sedangkan ghirah menurut Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Haqil dalam bukunya al-Ghirah Baina as-Syar'i wa al-Waqi', yaitu cemburu yang bebas dari birahi dan nafsu duniawi. Beliau menjelaskan bahwa cemburu tatkala sendi-sendi agama direndahkan dan ajaran-ajaran agama dilecehkan. Itulah hakikat dari ghirah itu sendiri.
Mughiroh bin Syu'bah radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Sa'ad bin Ubadah berkata, 'Seandainya aku melihat laki-laki lain berduaan dengan istriku, sungguh ku penggal dia dengan pedang tanpa memaafkan.' Mendengar hal itu Nabi Muhammad bersabda, 'Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa'ad? Demi Allah, aku lebih cemburu dari padanya.Â
Dan Allah lebih cemburu pula dari pada aku. Karena cemburunya Allah, maka diharamkan segala perbuatan keji, baik terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi. Tidak seorang pun lebih cemburu dibandingkan Allah. Tidak seorang pun lebih meresapkan dibandingkan Allah. Oleh sebab itulah Dia mengutus para Rasul untuk memberi kabar suka dan duka. Dan seorang pun yang lebih suka kepada pujian dari pada Allah, karena itulah dia menjadikan surga'." (HR.Muslim)
Dari hadits di atas, jelaslah cemburu merupakan sifat alamiah yang dimiliki oleh manusia. Namun tentu saja ada batasan-batasan kecemburuan itu sehingga tidak melanggar syari'at-Nya. Justru bermasalah tatkala ghirah tidak muncul saat agama dinista dan kedudukannya direndahkan. Hal tersebut bisa terjadi karena dosa-dosa yang dikerjakan, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam ad Daa' Wa ad-Dawaa' Â yaitu salah satu dampak perbuatan dosa, yakni memadamkan api kecemburuan dalam hati, padahal api tersebut merupakan senyawa penting untuk keberlangsungan hidupnya, seperti peran krusial suhu panas untuk tubuh manusia.
Suri tauladan umat islam, yakni Rasulullah mencontohkan betapa ghirah beliau muncul tatkala kedudukan agama ini dilecehkan. Hal ini tercermin tatkala ada seorang muslimah datang membawa perhiasannya ke tukang sepuh Yahudi dari Bani Qainuqa'.Â
Lalu datanglah sekelompok orang Yahudi yang menggoda muslimah ini untuk membuka penutup kepalanya, muslimah tersebut tetap pada pendiriannya untuk tidak membuka auratnya. Namun diam-diam tukang sepuh itu menyangkutkan pakaiannya sehingga aurat wanita itu terbuka. Menyadari hal itu, muslimah itu menjerit dan hal itu mengundang tawa dari orang-orang Yahudi disana.Â
Mendengar hal tersebut, datanglah pemuda muslim yang ada di lokasi yang sama dengan gagah berani membunuh si tukang sepuh itu. Pemuda itu lalu dibunuh oleh orang Yahudi. Berita ini akhirnya sampai kepada Rasulullah. Apakah Rasulullah memaafkan? Tidak. Justru beliau memerintahkan kaum muslimin untuk mengepung Yahudi Bani Qainuqa' hingga menyerah dan diusir dari Kota Madinah.
Sebuah kisah menakjubkan tentang ghirah ini kembali terjadi pada masa khalifah al-Mu'tashim Billah. Kala itu ada wanita muslimah yang ditawan oleh kerajaanÂ
Romawi di Kota Amurriyah. Di dalam penjara wanita itu berteriak, "Wahai Mu'tashim!" Teriakan itu ternyata sampai kepada al-Mu'tashim dan beliau memenuhi seruan wanita yang tertawan tersebut dengan membawa pasukan yang besar. Hingga akhirnya khalifah bersama pasukannya berhasil menaklukkan Kota Amurriyah dan membebaskan wanita tersebut dari penjara.
Hal yang perlu kita teladani dari dua kisah itu yakni betapa generasi terdahulu telah mencontohkan ghirah yang luar biasa hebat untuk membela kehormatan islam hingga rela mengorbankan jiwanya. Bagaimana dengan kita saat ini? Saat zaman yang penuh dengan fitnah dunia menjadi tantangan dan membela islam ibarat memegang bara api yang panas.