HASIL DAN PEMBAHASAN
Biografi Serta Peran Wahab Hasbullah Dalam Mendirikan NU
Abdul Wahab lahir di Jombang, Jawa Timur pada tahun 1888 dan menerima ajaran Islam dasar dari ayahnya sendiri, Kyai Hasbullah, yang mengelola Pesantren Tambakberas di Jombang. Ia kemudian melanjutkan studinya dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa Timur, seperti Pesantren Pelangitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Cepaka, Pesantren Tawangsari Sepanjang, dan Pesantren Branggahan Kediri. Ia bahkan pernah belajar di Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura selama tiga tahun. Abdul Wahab melanjutkan belajar di Pesantren Tebuireng di bawah bimbingan K.H. Hasyim Asy'ari selama empat tahun. Sebenarnya, Abdul Wahab dan K.H. Hasyim Asy'ari berkerabat dekat, keduanya memiliki kakek buyut yang sama. Karena kecerdasan dan keterikatan keluarganya dengan gurunya, ia diangkat menjadi pengurus pesantren. Pada usia dua puluh tujuh tahun, Abdul Wahab meninggalkan Jawa menuju Makkah di mana dia belajar Islam di kota suci selama empat tahun. Di Makkah, ia belajar Islam di bawah bimbingan enam ulama terkemuka, yaitu Kyai Mahfudh at-Tarmisy, Kyai Mukhtaram, Syekh Ahmad Khatib, Kyai Bakir, Kyai Asy'ari, dan Syekh Abdul Hamid. Keenam ulama ini adalah orang Indonesia yang telah mencapai posisi sebagai guru di Masjid al-Haram di Makkah pada saat itu. Abdul Wahab kembali dari Makkah ke Indonesia dan tinggal di Surabaya. Bersama K.H. Mas Mansur, seorang pemimpin modernis, Abdul Wahab bekerjasama untuk mendirikan dan mengawasi sebuah madrasah (sekolah Islam) bernama Nahdlatul Watan. Abdul Wahab dan Mas Mansur juga mendirikan kelompok diskusi bernama Taswirul Afkar yang menarik banyak pemuda Muslim untuk belajar Islam. Kajian, pengalaman, dan aktivitasnya yang panjang membuat Abdul Wahab muncul sebagai kyai muda yang aktif dan energik dengan kemampuan kepemimpinan yang mumpuni. Ia akhirnya melangkah maju menjadi salah satu pendiri NU. Untuk mewujudkan mimpinya, pada tanggal 31 Januari 1926, K.H. Abdul Wahab mengundang beberapa ulama terkemuka itu ke rumahnya di Surabaya untuk mendiskusikan kembali rencana yang dibuat sebelumnya. Dari hasil pertemuan mereka, ulama berpengaruh ini menghasilkan dua keputusan penting yang nantinya akan mewarnai lembaran sejarah Islam Indonesia. Pertama, mereka secara resmi mendirikan Komite Hijaz yang masa jabatannya akan berakhir ketika delegasinya kembali dari Arab Saudi ke Indonesia. Kedua, mereka mendirikan organisasi sebagai alat ulama untuk membimbing umat Islam dalam mencapai kejayaan Islam dan kaum muslimin. Organisasi ini, atas saran K.H. Alwi Abdul Aziz, disebut NU. Dengan demikian, NU resmi berdiri di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926.
Nahdlatul Ulama
Nama Nahdlatul Ulama sengaja dipilih oleh para pendiri organisasi ini untuk menunjukkan betapa penting dan istimewanya posisi ulama di Nahdlatul Ulama. Jika organisasi lain mengandalkan, untuk kekuatan dasarnya, pada buruh, petani, pejabat, dan sejenisnya, NU dengan yakin menentukan bahwa pendukung utama dan kekuatan sentralnya adalah ulama. Kedudukan ulama sebagai pilar NU didasarkan pada dua pertimbangan logis. Pertama, NU sebagai organisasi keagamaan harus mendapatkan kekuatan dasarnya dari tokoh-tokoh yang terjamin moralitas, religiusitas, dan ilmu agamanya; dan tokoh tersebut adalah para ulama. Kedua, ulama memiliki otoritas di kalangan santrinya dan di kalangan mantan santrinya yang telah menyebar ke berbagai daerah. Para ulama juga memiliki pengaruh langsung di antara komunitasnya dan pengaruhnya akan dapat menjangkau banyak daerah pedesaan. Pengaruh-pengaruh ini memungkinkan NU untuk menembus dan mempertahankan akar dalam Islam pedesaan, terutama di daerah pedesaan Jawa di mana sebagian besar penduduk Indonesia tinggal. Dengan kata lain, NU dengan ribuan kyai dan ulamanya memperoleh pendukung utamanya dari pedesaan. Di tingkat desa, para kyai tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin agama dan spiritual, tetapi kemudian juga sebagai pemimpin. gelar kyai dan ulama tidak digunakan sembarangan; mereka menunjukkan sifat-sifat khusus, seperti takut dan menaati Tuhan, memahami dan membawa Pesan Nabi, peka terhadap kepentingan umat Islam, memiliki pengetahuan agama yang baik, dan mengabdikan ilmunya untuk tujuan Allah. Tak heranPeran Kh Wahab Hasbullah Dalam Nahdlatul Ulama Tahun 1926-1971ng terus mengikuti pemikiran dan pendapat para ulama tentang konsep-konsep hukum Islam, tafsir Al-Qur'an, dan kalam yang berkembang dari abad ketujuh hingga abad ketiga belas. NU menyatakan bahwa ideologi agamanya adalah al-sunnah wa al-jama'ah. Nahdlatul Ulama atau NU juga sangat banyak berjasa dalam masyarakat untuk mengatur dan mengorganisir kehidupan dan kemaslahatan umat serta peningkatan kualitas hidup umat sesuai dengan ajaran atau syariat islam di nusantara. Hal ini tidak terlepas dari peran KH Wahab Hasbullah sebagai salah satu pendiri dari Nahdlatul Ulama atau NU. KH Wahab Hasbullah lahir di Jombang, Jawa Timur pada tahun 1888 dan wafat pada tanggal 29 Desember 1971. Pada tanggal 7 November 2014, Presiden Joko Widodo mengangkat KH Wahab Hasbullah sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufiq (ed.). Islam in Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1974. Adnan, A. Basit. NU's. Yogyakarta: Nahdlatul Regional Administrator Ulama, 1981. Akarhanaf. Kyai Hasyim Asy'ari: Father of the Indonesian Islamic Ummah. Jombang: 1949. Ali, A. Mukti. Modern Islamic Thought in Indonesia. Yogyakarta: Nida Foundation, 1964. Aceh, Aboebakar. Ahlussunnah Waljama'ah: Comparative Philosophy of Law in Islam. Jakarta: Baitul Mal Foundation, 1969.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H