Mohon tunggu...
AZA
AZA Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

My Love Without Bureaucracy\r\nkunjungi :\r\nhttp://po-box2000.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revolusi ala BPJS Kesehatan

30 Agustus 2015   16:21 Diperbarui: 30 Agustus 2015   17:24 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

70 Tahun Indonesia merdeka

berjuang dari moncong Arsenal penjajah,  

darah dan keringat pejuang menjadi saksi,

untuk merah putih yang berdiri dikaki sendiri.

- Anonim

 

           Dahulu kita sering mendengar selogan “orang miskin dilarang sakit”, slogan satire  itu cukup menampar dan memalukan pemerintahan Indonesia, sebab selogan itu seakaan menelanjangi bangsa yang katanya menjunjung tinggi pancasila dengan keadilan sosialnya, dengan sudut pandang lain slogan satire itu juga seoalah ingin  mengatakan bahwa sebenarnya sistem pelayanan kesehatan di Indonesia telah sukses dikapitalisasi oleh kepentingan-kepentingan individu tertentu sehinnga menjadi sistem pelayanan kesehatan  yang komersil.

        Slogan itu poluler  bukan tanpa alasan, akan tapi karena realitas dilapangan orang yang masuk katagori miskin sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang mumpuni, bahkan cenderung diterlantarkan, andaipun  jika dapat pelayanan terkesan terbengkalai. Rumah Sakit milik pemerintah sering kali kelebihan quota pasien sedangkan disatu sisi rumah sakit swasta dengan alasan oprasional tidak dapat menerima tindakan lebih lanjut pasien miskin.

     Tentu tidak bijak jika sepenuhnya menyalahkan  sistem kapitalisasi  pelayanan  kesehatan  sebagai alasan yang menyebabkan semakin curamnya jurang pemisa antara pasien miskin dengan pasien berduit, sebab sistem kapitalisasi dalam bidang kesehatan sendiri sebenarnya  ekspresi lain ego alami dalam diri manusia yang ingin mengambil keuntungan disetiap peluang. Hanya saja espresi ini semakin kuat dan kontraproduktif  terhadap kepentingan bangsa Indonesia karena kurangnya  peran aktif pemerintah dalam membentuk sistem pelayanan kesehatan yang mumpuni dan dapat mengayomi semua pihak.

         Beruntung akhirnya pemerintah indonesia  tmulai memikirkan untuk membuat sistem pelayanan kesehatan yang prorakyat yang memenuhi nilai-nilai budaya bangsa, maka  dalah hal ini harus diakui dan diacungi jempol sebab meski gonjang-ganjing pemberantasan korupsi perang antara lintah-lintah penghisap darah rakyat dengan pejuang-pejuang bangsa di pemerintahan tetap berjalan berdarah-darah, pemerintah Indonesia tetap memprioritaskan isu sistem kesehtan nasional sebagai yang utama, ahirnya pada tahun 2004 terbitlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan kesehatan nasional, dan dari cikal bakal itu ahirnya pada  tahun 2011  berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS), yang dalamnya meliputi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

       BPJS Kesehatan lahir dari semangat untuk menciptakan pemerataan layanan kesehatan. Tapi tentu saja itu tidak mudah banyak tantangan-tantangan sedemikian rupa yang harus dikelola untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Tantangan pertama adalah Apatisme rakyat indonesia terhadap pemerintahannya sehingga hapir setiap produk perundang-undangan yang terbit selalu dipandang tidak pro rakyat, tidak terkecuali kepada BPSJ Kesehatan. Sehingga apatisme itu memaksa BPJS Kesehatan untuk mengoptimalkan  dalam membangkitn optimisme masyarakat terhadap produk-produk jasa di bidang pelayanan kesehatan

      Tantangan kedua, adalah kuatnya sistem kapitalisasi dalam pelayanan kesehatan yang menyebabkan komersialnya pelayanan kesehatan di Indonesia.  Apalgi hadirnya BPJS Kesehatan ini dianggap sebagai ancaman tersendiri bagi perusahaan-perusahaan asuransi nasional maupun multinasional yang biasa menikmati melimpahnya pasar “polis  di Indonesia tersebut”, hadirnya BPJS Kesehatan dengan sistem subsidi silang dan low cost nya itu membuat perusahaan asuransi tersebut lebih meningkatkan pelayanannya, sebab tanpa pelayanan yang prima perusahaan-perusahaan asuransi sulit bersaing dengan BPJS Kesehatan yang lahir dari undang-undang yang memiliki kekuatan memaksa. Akantetapi BPJS Kesehatan  tetap harus bersaing dalam meningkatkan standar pelayanan dengan perusahaan-prusahaan mapan yang serat pengalaman tersebut untuk meyakinkan masyarakat bahwa BPJS Kesehatan memiliki pelayanan kesehatan yang mumpuni..

 

Revolusi Sistem kesehatan dimulai

[caption caption="Antara foto : perubahan ASKES ke BPJS"][/caption]

            Sebenarnya BPJS Kesehatan adalah kelanjutan Asuransi kesehatan (ASKES) sehingga BPJS Kesehatan   dapat dikatakan memiliki cukup pengalaman dalam dunia jaminan kesehatan, Akan tetapi  ASKES hanya berpengalaman dalam penanganan masyarakat golongan Pegawai Negris Sipil, dan TNI/Polri yang  cenderung mudah diatur.. Sehingga Untuk melawan apatisme  dan meyakinkan masyarakat  BPJS Kesehatan  tetap harus dengan maksimal mengenalkan dengan sosialisasi-sosialisi di daerah-daerah untuk memberikan pemahaman tentang keuntungan-keuntungan sebagai peserta BPJS Kesehatan serta mempermudah syarat pendaftarannya hal itu dilakukan dengan harapan banyak masyarakat yang mulai  menyadari akan penting dan bermanfaatnya BPJS Kesehatan.          Dalam upaya awalnya sistem pendaftaran  speserta BPJS Kesehatan dapat dilakukan secara personal, akan tetapi pada perjalanan waktu  bersamaan  dengan semakin populernya BPJS Kesehatan di mata masyarakat Indonesia maka pendaftaran mengharuskan untuk menyertakan semua anggota keluarga berdasarkan kartu keluarga. Kebijakan pendaftaran semua anggota keluarga itu menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat, sebab masyarakat kecil sering kali merasa keberatan untuk membayar iurannya. Dalam kasus seperti ini BPJS Kesehatan menganjurkan kalangan yang merasa tidak mampu tersebut untuk mengikuti progam jaminan kesehatan Nasional (JAMKESMAS) atau  jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA).

        Tantangan terberatnya adalah kuatnya sistem kapitalisasi pelayanan kesehatan yang berimbas pada melambung dan komersilnya biaya-biaya layanan kesehatan. Juga dalam hal pemberian obat-obatan meski kandungan kimianya sama obat-obat memiliki paten sering kali lebih drekomendasikan oleh oknum dokter daripada memakai obat generik, kenapa demikian? motifnya tidak jauh beda, yaitu tambahan pemasukan alias fulus yang lumayan dari perusahaan obat bagi dokter yang meresepi pasienya dengan obat-obat paten produknya. Belum lagi masalah beberapa rumah sakit swasta berlabel internasional yang merasa memiliki standar pelayanan tersendiri bagai negara dalam negara, sehingga  memiliki alasan yang cukup kuat  untuk melabelkan sebagai rumah sakit “mahal” dan “anti orang miskin”. Tanpa indikasi medis  asal ada uang kita bisa melakukan general chekup dan beberapa tindakan medis lainnya. Celakanya, kuatnya doktrin kapitalisasi pelayanan kesehatan itu cukup sukses membuat pola pikir bahwa layanan kesehatan yang komersil dan mecekik itu seolah wajar dan seyogyanya memang demikian, sehingga pengobatan murah dan prosedural seperti BPJS Kesehatan itu dianggap sesuatu yang taboo dan tidak layak, akibatnya mindset sesat tersebut menjadi tantangan kuat bagi BPJS Kesehatan.

[caption caption="Gambar 1 : gandeng tangan,ilustrasi gotong royong"]

           [/caption]

            Hadirnya BPJS Kesehatan merevolusi polapikir  masyarakat tentang pelayanan kesehatan yang telah lama di kuasai oleh sistem pelayanan kesehatan kapitalisasi yang komersil. Dengan bendera “subsidi silang” BPJS Kesehatan ingin melibatkan banyak orang untuk membantu sesama, cita-cita mulia itu dapat terlihat dari logo BPJS Kesehatan (gambar 1 :gandeng tangan). Asalkan terdaftar sebagai peserta dan sesuai prosedur (gambar 2:prosedur BPJS Kesehatan) kita akan mendapat pelayanan kesehatan yang mumpuni, sesimpel itu. Lantas bagaimana prosedurnya? Dan apakah pelayanan kesehatan di BPJS bener-bener mumpuni ? Itu selalu menjadi pertanyaan ditengah ribetnya birokrasi dan apatisme di Indonesia.

             Sebagai program pemerintah prosedur pelayanan kesehtan dengan BPJS Kesehatan bagi saya pribadi sangat masuk akal dan seyogyanya demikian. Ketika kita mendaftar BPJS Kesehatan dan syarat-syarat formalnya terpenuhi, maka kita akan memilih dimana fasilitas kesehatan tingkat pertama (faskes I) untuk dokter umum dan dokter gigi setingkat pukesmas, klinik dan dokter keluarga, yang sering jadi pertanyaan adalah apa itu faskes tingkat I ? faskes  tingkat I adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama dimana peserta BPJS Kesehatan harus berobat atau mendapat rujukan, artinya setiap peserta memeriksakan dirinya harus terlebih dahulu difaskes tingkat I ini, sebelum kemudian mendapat rujukan ke rumah sakit (tingkat lanjut), kecuali keadaan emergency peserta BPJS kesehatan dapat berobat di tempat balai pengobatan, pukesmas, klinik atau rumah sakit terdekat. 

            Apabila  dokter di faskes tingkat I menyatakan bahwa pasien peserta BPJS kesehatan terindikasi  secara medis kesehatannya itu harus di periksa lebih lanjut ke rumah sakit /spesialis maka dokter akan memberi rujuknya ke rumah sakit. Jika terjadi opname/rawat jalan  maka BPJS menjamin peserta sampai sembuh, dan untuk kamar inapnya  itu disesuaikan dengan kelas apa peserta  tersebut mendaftar diri di BPJS Kesehatan, peserta pendaftar kelas 1 akan mendapat kamar kelas 1, peserta kelas 2 mendapat kamar kelas 2 dan demikian juga untuk  pendaftar kelas 3 akan mendapat kamar kelas 3 (gambar 3:Iuran BPJS Kesehatan). Jika peserta sudah melakukan sesuai dengan prosedur   dan kelas yang dipilih dtersebut maka pengobatan 100% dijamin  oleh BPJS kesehatan.

           Kemudian untuk menjawab bagaimana  nilai pelayanan mengunakan BPJS kesehatan, maka jawabnya itu  relatif, kenapa relatif ? karena hal itu dapat dilihat dari dua sisi penilaian. Pertama, adalah dari standar medis di BPJS kesehtan tersebut. Standar medis BPJS Kesehatan hanya membackup biaya peserta yang sesuai Indikasi medis (Gambar 4: Pelayanan yang tidak dijamin)saja, dan benar-benar sangat terstruktur. Misalnya proses persalinan,  selama pasien peserta BPJS Kesehatan bisa diupayakan melakukan persalinan normal maka persalinan harus dilakukan dengan normal, meskipun misal peserta mengingginkan persalinan cesar. Maka  persalinan cesar bisa dilakukan namun diluar pembiayaan dari BPJS Kesehatan. Sebaliknya apabila indikasi medis menyatakan harus persalinan cesar maka meskipun peserta meminta persalinan normal, maka apapun yang dilakukan tenaga medis misalnya harus persalinan cesar maka  BPJS Kesehatan menanggung biaya persalinan Cesarnya tersebut.

            Yang kedua, adalah mengenai pelayanan fasilitas kesehatan/rumah sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan. Hal ini yang selalu dan terus diupayakan BPJS Kesehatan agar fasilitas kesehatan/rumah sakit menangani pasien peserta BPJS Kesehatan selayaknya pasien Umum, bagi fasilitas kesehatan/rumah sakit negeri itu bukanlah masalah, sebab BPJS Kesehatan lahir dari Undang-undang maka ketentuan-ketentua BPJS Kesehatan mutlak harus dipatuhi, akan tetapi bagi Fasilitas kesehatan/rumah sakit swasta standar pelayanan BPJS menjadi dilema tersendiri, disatu sisi BPJS Kesehatan Lahir dari Undang-undang yang wajib ditaati, disisi lain Fasilitas kesehatan Swasta merasa memiliki hak-hak tertentu untuk mengadakan pelayanan kesehatan yang harus dihargai. Sehingga dalam konteks ini standar pelayanan peserta BPJS  wajib didukung pemerintahan, dan  diharapkan tekanan pemerintah kepada fasilitas-fasilitas kesehatan/ rumah sakit yang merasa esklusif, dan mencoba menjadi negara dalam negara dengan tidak mematuhi ketentuan tentang BPJS Kesehatan itu dapat diberi sanksi dengan tegas, sehingga pasien peserta BPJS Kesehatan dalam hal ini mendapat satndar pelayannan yang  memiliki kualitas sama dengan umum. Diharapkan juga peran serta masyarakat untuk mendukung BPJS kesehatan agar lebih baik dalam pelayanannya serta dapat mereduksi komersialisasi dibidang pelayanan kesehatan, sebab tanpa kontrol masyarakat lembaga yang baik  juga akan rentan terpengaruh korupsi. Dan ahirnya cita-cita gotong royong ala BPJS Kesehatan akan menghapus dengan sendirinya slogan “Orang miskin dilarang sakit”.

 

                       

 

           

 

.[caption caption="Gambar 2 :Prosedur BPJS Kesehatan"]

[/caption][caption caption="Gambar 3 : Iuran BPJS Kesehatan"]
[/caption]

[caption caption="Gambar 4: Pelayanan yang tidak dijamin"]

[/caption]

 

 

           

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun