Mohon tunggu...
Wibowo Luqman
Wibowo Luqman Mohon Tunggu... -

Just Orange, Cigarret, and burn it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemanakah Kita Menuju?

4 Mei 2014   04:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan peradaban Islam menjadi imperium ini, mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti Abbasiah. Masa dimana kekuatan ekonomi – militer yang mapan sebelumnya, kemudian berkembang lebih jauh berkat adanya akulturasi ilmu pengetahuan umat muslim bersama pengetahuan Yunani (filsafat). Maka tersebutlah gudang-gudang ilmu di beberapa negeri yang dikuasai Islam pada saat itu. Seperti perpustakaan di Kordoba (Spanyol), Iskandariah (Istanbul/Turki), Al-Azhar (Mesir) dan lain-lain yang menjadi pusat pendidikan bukan hanya untuk umat muslim.

Epilog

Peradaban Islam yang terpecah dan runtuh pada abad ke-14 kemudian menjadi momentum baru bagi Eropa untuk kembali membangun peradabannya. Ilmu pengetahuan peninggalan Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averros) di Eropa (Imperiun Islam di barat) berhasil menjadi lokomotif bagi orang-orang Eropa untuk meninggalkan ‘ortodoksi buta’ agama. Eropa tidak berniat mengulang sejarah karena meninggalkan ilmu pengetahuan.

Berkat kemajuan ilmu pengetahuan Eropa, akhirnya ilmuwan barat berhasil menemukan kenyataan bahwa alam tidak statis. Alam semesta, begitu juga bumi mengembang sesuai dengan gaya dorong dan tekanan berasal dari energi internalnya (S Hawking : 1988) dan menjadi faktor alamiah yang memicu iringan bencana di bumi. Terutama sejak tsunami Aceh tahun 2004 melanda, beriringan pula gempa, banjir, longsor, dan gunung meletus melanda Indonesia yang berada di cincin Pasifik.

Namun, berbeda dengan negara barat dan Jepang yang cenderung menyiasati alam dan bersiap diri menghadapi rentetan bencana, Indonesia baru berhasil melahirkan perasaan pilu dan saling berbelas kasihan sebagai manusia. Bahkan sebagian dari kita menjadi lebih hipokrit (ciri Manusia Indonesia versi M Lubis : 1977) hingga bencana itu hanya layak jadi tontonan dan ajang kampanye tanpa respon yang begitu berguna. Meminjam istilah Indra Tranggono (dalam opini Kompas 1/2/2014) kita-pun pada akhirnya terjerat dalam degradasi peradaban. Kalap dan kemaruk menggaruk uang.

Zaman edan menurut Rangga Warsita dalam Serat Kalatida, adalah Hidup di zaman edan; gelap jiwa bingung; pikiran turut edan; hati tak tahan jika tidak turut; batin merana dan penasaran; tertindas dan kelaparan; tapi janji Tuhan sudah pasti; seuntung apapun orang yang lupa daratan; lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.
*Luqman Wibowo : mahasiswa Universitas Mathla’ul Anwar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun