Mohon tunggu...
Matoto Papayungan
Matoto Papayungan Mohon Tunggu... mahasiswa

saya adalah mahasiswa dari UKSW, hobi saya membuat design t shirt dan poster atau yang berkaitan dengan graphic design, dan juga hobi saya main game

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Smartphone dan Sepatu Branded: Gaya Hidup Atau Simbol Keren yang Bikin Eksis? Yuk, Bahas Lebih Santai Soal Tren dan Status Sosial!

4 Desember 2024   00:14 Diperbarui: 4 Desember 2024   00:35 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tren seperti iPhone dan Air Jordan bukan hanya sekadar barang yang banyak diburu orang, melainkan juga bagian dari dinamika budaya material yang mencerminkan status sosial, identitas, dan hubungan sosial. Keduanya lebih dari sekadar produk: mereka adalah simbol prestise yang menunjukkan seberapa tinggi status seseorang dalam masyarakat. Fenomena ini bukan hanya terjadi di kalangan selebriti atau orang kaya, tetapi juga memengaruhi kehidupan sehari-hari banyak orang, terutama generasi muda yang berusaha tampil relevan.

Menurut teori Pierre Bourdieu tentang distinction, konsumsi barang tak hanya berdasar pada fungsi praktis, tapi juga nilai simboliknya. Contohnya, memiliki iPhone terbaru bukan sekadar tentang teknologi canggih, tetapi juga tentang menunjukkan kemampuan finansial yang tinggi dan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Hal yang sama berlaku dengan Air Jordan, yang sering kali lebih dianggap sebagai simbol status dalam budaya streetwear ketimbang hanya sebuah sepatu olahraga.

Namun, hal ini juga memperlihatkan fenomena hierarki sosial yang jelas. Tidak semua orang mampu membeli barang-barang premium seperti iPhone atau Air Jordan, yang menciptakan ketegangan sosial dan ketidaksetaraan, memperlebar jurang antara mereka yang "punya" dan "tidak punya". Untuk banyak orang, membeli produk-produk ini adalah cara untuk menaikkan status sosial, meski kadang mengorbankan keuangan pribadi.

Fakta ini bisa dilihat melalui konsep budaya material dalam antropologi kontemporer, yang menyatakan bahwa barang-barang konsumsi bukan hanya objek fisik, tapi juga cerminan dari struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai contoh, dalam komunitas penggemar Air Jordan, sepatu ini lebih dari sekadar barang fungsional; mereka membangun identitas sosial melalui kecintaan terhadap merek ini. Demikian pula dengan iPhone, yang menjadi simbol global dalam banyak negara.

Kesimpulannya, tren seperti iPhone dan Air Jordan tidak hanya mencerminkan perubahan dalam gaya hidup, tetapi juga memperlihatkan bagaimana globalisasi dan kapitalisme memengaruhi cara kita mengkonsumsi, berinteraksi, dan membentuk identitas sosial. Tren ini menunjukkan bagaimana kita menggunakan barang-barang untuk menandakan status, memengaruhi persepsi sosial, dan memperkuat hierarki sosial dalam masyarakat.

Tren seperti iPhone dan Air Jordan lebih dari sekadar produk populer; keduanya adalah bagian penting dari dinamika budaya material yang mencerminkan status sosial, identitas, dan hubungan sosial di masyarakat modern. Mereka bukan hanya barang konsumsi, melainkan simbol yang berperan dalam membentuk hierarki sosial, menciptakan eksklusivitas, dan mengekspresikan identitas.

Budaya populer menjadi ekosistem di mana tren berkembang pesat. Produk seperti iPhone dan Air Jordan tidak hanya berfungsi sebagai barang praktis, tetapi juga alat untuk menunjukkan prestise. Misalnya, memiliki iPhone terbaru sering kali diasosiasikan dengan kemampuan finansial, akses ke teknologi canggih, dan selera modern. Di sisi lain, Air Jordan, yang berasal dari subkultur streetwear, menjadi pernyataan mode yang menghubungkan penggunanya dengan komunitas tertentu.

Menurut Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang distinction, barang konsumsi memiliki nilai simbolik yang mencerminkan selera dan status sosial. Bourdieu menunjukkan bahwa konsumsi bukan hanya tindakan fungsional, melainkan juga bentuk komunikasi sosial. Orang tidak hanya membeli barang untuk digunakan, tetapi juga untuk menandakan identitas dan perbedaan mereka dari kelompok lain. Misalnya, mereka yang mampu membeli iPhone terbaru tidak hanya menonjol karena teknologinya, tetapi juga karena keterlibatan mereka dalam "kelas sosial" yang dianggap lebih tinggi.

Dalam antropologi, konsep budaya material melihat barang-barang sebagai lebih dari sekadar benda fungsional. Mereka adalah representasi dari nilai, struktur sosial, dan dinamika ekonomi suatu masyarakat. Contoh nyata adalah komunitas penggemar Air Jordan, yang menganggap sepatu ini sebagai simbol kebanggaan budaya, bahkan identitas pribadi. Sepatu ini sering menjadi jembatan sosial, di mana penggemar membangun hubungan berdasarkan kecintaan mereka terhadap merek tersebut.

Namun, iPhone dan Air Jordan juga menciptakan eksklusivitas. Barang-barang ini mahal dan sering kali hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki daya beli lebih tinggi. Hal ini menciptakan hierarki sosial yang memperkuat kesenjangan antara mereka yang berada di "kelas atas" dan kelompok dengan kemampuan ekonomi lebih rendah. Bahkan, dalam beberapa kasus, tekanan untuk memiliki barang-barang ini dapat menyebabkan seseorang memaksakan diri secara finansial, seperti membeli barang secara kredit atau memilih versi imitasi.

Globalisasi dan kapitalisme memainkan peran besar dalam penyebaran tren ini. Produk seperti iPhone tidak hanya menjadi simbol status di negara asalnya, tetapi juga diadopsi sebagai simbol global yang mendefinisikan gaya hidup modern di banyak negara. Hal ini menunjukkan bagaimana produk global dapat memengaruhi budaya lokal, menciptakan aspirasi dan ekspektasi baru dalam masyarakat.

Sebagai contoh, Air Jordan, yang awalnya dibuat untuk pemain basket profesional, kini menjadi ikon mode global. Perpaduan antara pemasaran yang strategis dan pengaruh budaya pop, seperti musik hip-hop dan streetwear, telah mengangkat merek ini ke status global. Namun, popularitas global ini juga memperkuat ketidaksetaraan, karena tidak semua orang mampu mengakses produk ini dengan mudah.

Meskipun tren seperti iPhone dan Air Jordan memberikan kebanggaan dan rasa identitas, mereka juga memicu kritik. Salah satunya adalah bahwa tren ini sering kali mengutamakan konsumsi yang berlebihan. Banyak yang berargumen bahwa daya tarik utama produk-produk ini bukanlah fungsinya, tetapi status yang mereka wakili. Sebagai contoh, seorang pengguna iPhone mungkin tidak memanfaatkan seluruh fitur teknologinya, tetapi merasa bahwa memiliki iPhone menunjukkan status sosial yang lebih tinggi.

Kritik lain datang dari aspek keberlanjutan. Barang-barang seperti iPhone memiliki siklus hidup yang pendek karena teknologi yang terus berkembang, yang memaksa konsumen untuk terus membeli model terbaru. Hal ini tidak hanya memengaruhi keuangan individu, tetapi juga menciptakan limbah elektronik yang merugikan lingkungan.

Bagi banyak orang, tekanan sosial untuk mengikuti tren dapat berdampak besar. Dalam komunitas remaja, misalnya, Air Jordan sering dianggap sebagai lambang "coolness". Mereka yang tidak mampu membelinya mungkin merasa diasingkan atau tidak relevan. Fenomena ini menciptakan tantangan psikologis, seperti rasa rendah diri atau kebutuhan untuk "memaksakan diri" agar terlihat relevan.

Dalam kasus iPhone, survei menunjukkan bahwa lebih dari 70% konsumen memilih merek ini bukan hanya karena fitur teknologinya, tetapi juga karena pengaruh sosialnya. Banyak yang merasa bahwa memiliki iPhone memberikan rasa percaya diri dan penerimaan dalam kelompok sosial mereka.

Namun, tidak semua dampak tren bersifat negatif. Dalam banyak kasus, tren juga menciptakan solidaritas dan identitas bersama. Komunitas penggemar Air Jordan, misalnya, sering mengadakan acara atau diskusi yang memperkuat hubungan sosial mereka. Dalam konteks ini, tren dapat menjadi alat untuk memperkuat ikatan sosial dan membangun rasa komunitas.

Tren seperti iPhone dan Air Jordan adalah fenomena kompleks yang mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat modern. Mereka berfungsi lebih dari sekadar barang konsumsi; mereka adalah alat untuk menunjukkan identitas, status, dan hubungan sosial. Namun, tren ini juga memperkuat ketidaksetaraan sosial dan menciptakan tekanan psikologis bagi mereka yang merasa harus memaksakan diri untuk mengikuti.

Melihat tren melalui perspektif antropologi dan budaya material membantu kita memahami lebih dalam dampaknya terhadap masyarakat. Penting untuk menyadari bahwa tren bukan hanya tentang barang yang kita konsumsi, tetapi juga bagaimana kita memaknai dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kesadaran ini, kita dapat lebih bijak dalam mengikuti tren dan mendorong model yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

sumber: lifestyle.kompas.com
sumber: lifestyle.kompas.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun