Hari ini saya berkeliling kota dengan berjalan kaki, dimulai dari pelabuhan. Layaknya pelabuhan, segala bentuk kegiatan ekonomi terjadi di sini. Hiruk pikuk pedagang menawarkan barang dagangannya, riuh supir angkot mencari penumpang serta lalu lalang kapal yang silih berganti datang dan pergi mengantarkan manusia dan barang ke pulau seberang. Tidak peduli teriknya matahari menusuk kulit, mereka harus tetap bekerja, mereka sudah terbiasa. Di sini tampak sekali sifat dasar manusia, bahwa kita tidak bisa hidup tanpa orang lain. Pedagang memerlukan pembeli, supir butuh penumpang. Ada kebutuhan sosial dibalik kegiatan ekonomi tadi.
Kemudian saya pergi melanjutkan perjalanan setelah cukup mengambil beberapa foto, dan membiarkan mereka yang sibuk bersosial. Dari pelabuahan kemudian saya berjalan menuju jalan utama kota, ditemukan patung pahlawan di depan Kantor DPRD Flores Timur. Lalu berjalan lagi menuju ke barat, ada Kapela Tuan Ana. Ya, Tuan Ana. Tuan; Tuhan. Dan Ana, si anak. Tuan Ana adalah Tuhan Yesus. Kapela atau banyak dikenal dengan sebuatan kapel ini cukup unik. Kebanyakan bangunan-bangunan di Larantuka memiliki ciri khas arsitektur Postugis, tetapi bangunan yang berfungsi sebagai tempat peribadatan warga Katholik ini tidak sepenuhnya berciri khas arsitektur negara Portugal,dia juga memiliki yang katanya simbol masjid; kubah. Kubahnya memang tidak besar. Kubah di sini menjadi penutup pada tiga menara utama geraja yang bentuknya tidak terlalu besar. Jendela yang mengerucut di ujung, profil-profil bangunan, serta warna dinding yang mencolok, menambah kesan ciri khas bangunan Timur Tengah. Unik.
Tepat di depan bangunan unik itu, ada halaman besar di bibir pantai. Pada halaman besar itu terdapat patung Pieta, atau patung Bunda Maria yang sedang memangku jenasah Yesus ketika baru saja diturunkan dari kayu salib. Di depan Pieta, banyak orang berfoto bersama, katanya tidak sah ketika seseorang sudah ke Larantuka tetapi tidak mengambil foto di depan patung Pieta tadi. Semua orang bahagia sepertinya.
Kemudian di samping Pieta, ada gua yang di dalamnya terdapat salib Yesus, mungkin orang lebih khusuk berdoa di sini. Tidak hanya dua patung besar tersebut, masih di halaman yang sama, rangkaian rute Jalan Salib yang seolah menjadi pagar pemisah dari hamparan biru lautan. Nelayan tampak mengayuh sampan kecilnya, biarawati berjalan bergerombol seolah habis beribadah di gereja. Sempat berfikir, apakah saya melewatkan suatu rangkaian peribadatan? Ah, sudahlah.. Cukup sempurna yang saya lihat saat ini, di tempat ini.
Kaki ini terus berjalan, menemukan sebuah rumah yang cukup berbeda dengan lainnya. Rumah itu tepat di samping rumah Bang Unun. Kemarin sempat ditunjukkan ketika dia turun dari travel, “Widi, ini rumah saya. Tepat di samping rumah raja. Jadi kalau Widi nyasar bisa ke sini,” begitu katanya. Ya, rumah itu adalah Rumah Raja. Bangunan sederhana itu adalah kediaman bekas Raja Larantuka. Berdinding putih, beratap pelana dengan jendela kotak besar-besar, ciri khas arsitektur Portugis. Rumah itu memiliki pendangan yang indah. Tepat berdiri di depannya, saya bisa melihat hemparan biru Selat Adonara dan hijaunya pulau dengan nama yang sama. Saya berusaha untuk masuk ke dalam, tetapi setelah diketuk dan memanggil-manggil, tidak mendapatkan sautan seorang pun. Ya sudah, saya melanjutkan berjalan kaki.
Masih di pelataran rumah sederhana tadi, saya berkenalan dengan seseorang bapak bernama Frans. Ternyata beliau orang Jawa yang sudah menahun menetap di ibukota Flores Timur ini. Dia menceritakan banyak hal kepada saya, keindahan Larantuka sampai kegiatan berburu paus di desa Lamalera, Pulau Lembata, katanya, saya harus ke sana.
Setelah lama berbincang, saya melanjutkan berjalan kaki menyusuri jalan yang berada di pinggir pantai. Beberapa kelompok anak-anak bermain bersama, diantaranya datang mengahampiri, menanyakan banyak hal, dan tercengang ketika mereka tahu saya datang dari ibukota. Mereka bertanya, apakah Jakarta jauh? Saya hanya tertawa. Mereka juga meminta untuk di foto, memamerkan ikan hasil tangkapannya yang diletakkan di dalam gelas dan botol air mineral. Tentu saya tidak bisa menolak permintaan bocah-bocah dengan raut gembira tadi.
Lalu di sisi lain, masih pantai yang sama, kembali saya menemukan patung dan kapela. Ya, kalian akan banyak menemukan patung orang-orang kudus, serta bangunan-bangunan ibadah di sini. Salah satunya Kapela Tuan Ma. Jika tadi Tuan Ana adalah kapel Tuhan Yesus, Tuan Ma adalah kapel Bunda Maria. Ma, untuk mama Yesus, Maria. Bangunan yang tidak kalah sederhana ini berdinding biru, seperti warna kerudung Bunda Maria. Sejuk, rimbun. Di Larantuka ini, semua bangunan tampak sederhana, walaupun berfungsi penting. Tidak perlu berlomba siapa yang paling tinggi dan megah yang dirancang oleh arsitek-arsitek ternama, seperti di Jakarta. Bahkan untuk rumah Raja sekalipun. Rumah-rumah penduduk pun berjajar rapi kecil-kecil. Tidak ada upaya untuk menonjol atau menyombongkan diri.
Saat ini Larantuka sedang dijejali banyak peziarah, dikarenakan sedang berlangsung Semana Santa, yaitu perayaan Tri Hari Suci Paskah. Larantuka memang terkenal dengan perayaan Semana Santa, gaungnya sudah sampai di telinga internasional. Berbondong-bondong orang datang ke kota kecil di ujung pulau Flores ini, domestik dan mancanegara, untuk berziarah atau hanya ingin menjadi saksi patung Tuan Ma dan Ana diarak keliling kota, berjalan salib pada Jumad Agung di malam harinya. Dan saya menjadi salah satu dari ribuan manusia tadi.
Lalu akhirnya saya sampai di ujung jalan, sebuah simpang dengan taman yang terdapat patung (lagi). Kali ini berupa patung Bunda Maria menggendong bayi Yesus berwarna keemasan. Patung tadi dikelilingi tanaman-tanaman dengan latar belakang Ile Mandiri. Ile dalam bahasa asli Larantuka berarti gunung. Kabut menutupi gunung yang sudah tidak aktif ini, seolah tidak peduli hawa panas kota di bawahnya. Kontras. Dengan mengendap, saya berhasil masup ke taman yang berpagar ini dan bertemu dengan bapak yang menghabiskan hidupnya untuk merawat taman. Pun bertemu dengan peziarah dari Surabaya, lalu kami bertiga berbincang sedikit.
Setelah berbincang, saya lanjutkan olah raga siang ini. Matahari terasa sangat menusuk kulit, tetapi udara cukup bersih untuk di hirup, cukup baik untuk jantung ya sepertinya. Di sepanjang jalan yang bersebelahan dengan jalan sebelumnya, di setiap simpang, saya menjumpai kelompok-kelompok masyarakat yang sedang bekerja bakti menyiapkan keperluan Semana Santa. Kebanyakan mendirikan armada-armida yang nantinya akan menjadi titik pemberhentian sengsara Yesus dalam jalan salib. Di setiap armada, dibuatkan patung-patung kecil maupun besar yang dikelilingi oleh lilin dan hiasan bunga. Semana Santa memangsudah menjadi perayaan adat masyarakat Larantuka, tidak lagi sebagai hari besar keagamaan Katholik. Jadi, seluruh elemen masyarakat ambil bagian dalam acara yang sudah berumur 500 tahun lebih ini. Tidak peduli beragama apa, mereka semua menghendaki acara tahunan ini berjalan dengan baik dan peziarah bisa dengan khidmat menjalankan ibadat.
Masyarakat Larantuka adalah tipikal Indonesia, penuh dengan sapa dan senyum. Di setiap perjumpaan dengan kelompok masyarakat tadi, saya selalu di sapa dengan ramah, kebanyak cukup kaget ketika bilang kalau saya datang dari Jakarta seorang diri, mungkin pikirnya orang aneh. Ya memang, ibukota banyak orang aneh.
Lalu saya meninggalkan mereka dengan bayangan orang-orang aneh ibukota, dan terus melangkah untuk kembali ke titik awal perjalanan. Tibalah saya di pemakaman kota yang berada di sebelah Gereja Katedal Larantuka, tepat di pusat kota. Uniknya, hampir semua nisan dihiasi dengan foto almahum/alharhumah. Cukup menyeramkan pikir saya. Dan di tengah pemakaman, ada salib Yesus yang cukup besar yang dikelilingi oleh banyak salib kecil. Salib kecil tadi punya nama, kebanyakan adalah martir-martir yang dulu pernah tinggal lalu meninggal di Larantuka. Pemakaman ini ramai dikunjungi ketika Paskah, orang bilang “nyekar”. Tetapi bagi orang-orang yang tidak memiliki leluhur di sini, bisa berziarah ke makam para martir tadi. Hhhmmm.. adil.
Setelah selesai dengan keunikan pemakaman tadi, saya masup ke dalam area gereja Katedral yang sangat sangat sangat rimbun. Pohon-pohon besar seolah mengerti keluhan orang-orang seperti saya yang tidak terbiasa dengan teriknya matahari yang sangat murah hati sekali melimpahkan panasnya. Matahari di Larantuka sangat murah, satu orang dapat satu bonus satu. Seperti banyak dijumpai di department store, buy one get one. Jadi, bagi kamu-kamu yang takut hitam, saya sarankan untuk tidak berkunjung. Begitu berlebihankah saya? Sepertinya tidak.
Oke. Tibalah saatnya untuk kembali ke penginapan karena matahari tadi sudah beranjak menuju barat. Dan saya mau menyaksikan senja di taman hotel. Dan sempurna, senja turun malu-malu lalu bersembunyi di balik bukit Pulau Adonara, kemudian hilang. Lalu saya, menghabiskan secangkir kopi di bawah pohon taman hotel. Terimakasih semesta..
Larantuka, 28 Maret 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H