Mohon tunggu...
Lucia Widi
Lucia Widi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

common people like you..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Prempuan dan Pohon Tua

5 September 2014   00:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:36 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini kisah sebuah mimpi dari perempuan dan sebuah pohon tua.

Tiba-tiba ia berada di sebuah hutan terlarang. Pohon-pohon oak tumbuh dimana batangnya saling menganyam satu sama lain. Akar-akarnya menjuntai keluar dari dalam tanah sampai ke atas permukaan. Seperti binatang anaconda yang menari di danau purba. Ia berjalan sangat berhati. Kadang melompat, kadang merayap. Hampir saja ia putus asa karena tidak ada sinar matahari yang bisa menyinari jalannya. Dan ia tidak tahu sampai kapan harus berjalan.

dalam hutan ia terus berjalan sambil menahan umpatan. Berjalan tanpa tahu pintu keluar. Bah, aku seperti manusia-manusia kerdil yang ada di film saja, pohon-pohon ini begitu besar dan menyeramkan, begitu pikirnya. Tetapi tunggu! Tiba-tiba sekelibat ide hinggap di kepalanya yang sedang terserang migrain, bagaimana kalau aku panjat saja salah satu pohon oak? Kemudian kepalanya menengadah ke atas mencari ujung-ujung oak yang memungkinkan untuk digapai. Mungkin oak semu merah itu. Kemudian ia berjalan menuju pohon yang dimaksud. Ia menanggalkan sepatu yang dikenakan dan mulai memanjat pohon. Ruam-ruam pohon cukup punya karakter yang kuat sehingga mempermudah ia menginjak dan mencengekeram batangnya. Seperti monyet, ia mengejek dirinya sendiri.

Perempuan itu cukup mahir memanjat pohon, karena sewaktu kecil ia tiap hari memanjat pohon jambu bol milik sang nenek. Sesampainya di batang teratas pohon, ia melihat tidak ada apa-apa. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan serta ke belakang berulang kali untuk memastikan menemukan sesuatu. Tetapi tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah bukit yang nun jauh di sana dengan sebuah pohon yang terlihat sangat tua di atasnya. Tanpa banyak pikir, ia tahu tujuannya. Tak lama ia memutuskan untuk turun dari pohon. Sesampainya di bawah, bergegas ia kenakan kembali sepatu lars sematakaki yang menjadi terasa sakit dipakai. Lalu terus berjalan pada setapak yang tidak diketahui ujungnya. Tapi perempuan itu tahu tujuan perjalanannya.

Di tengah perjalanan, ia seolah melihat titik sinar terang putih di kejauhan. Seperti sinar pintu surga, walaupun ia belum pernah sekalipun menginjakkan tanah yang katanya ada taman indah dengan penjaga seorang lelaki berambut ikal sebahu mengenakan jubah putih tanpa jahitan yang tangan, kaki, dan lambungnya berlubang. Seolah tak percaya, kacamata yang lensanya berembun itu dilepaskannya lalu ia menggosok-gosok mata dengan tangan, memperjelas pandangan. Sebenarnya ia merasa takut kalau saja ini hanya halusinasi seseorang yang sedang kelelahan. Tetapi aneh, semakin jelas bola matanya memandang, titik sinar itu semakin terang. Pun ia semakin mendekat, kian besar diameternya. Ia bicara pada diri sendiri; ini bukan halusinasi!

Perempuan tanpa nama itu mempercepat jalannya, lalu setengah berlari, kemudian berlari. Kencang sekali. Seperti cheetah betina yang kelaparan. Langkah kakinya yang pendek tetapi punya tempo yang cepat. Akar-akar pohon oak yang tadinya menjuntai sampai permukaan tanah, tanpa disadari mulai hilang. Seolah seluruh semesta mendukung. Atau memang itulah cirri-ciri alam? Entahlah, ia tidak peduli. Ia terus berlari. Pohon-pohon pun sudah tidak begitu mengerikan seperti sebelumnya. Ini artinya, matahari sudah tidak begitu susah payah untuk menyentuh tanah.

Sesampainya di depan pintu sinar ajaib itu, ia berhenti sambil merasakan nafasnya terengah-engah cepat, Seperti memburu orgasme. Di depan matanya saat ini adalah sebuah tantangan lain. Sungai kecil dengan riak cukup ganas. Bolehkan aku mengumpat sekarang? Toh sudah tidak berada di hutan, pikirnya. Ia mendekati sungai itu. Memandang bukit di seberang sungai dengan pohon tua di atasnya. Ia mulai menengguk air sungai yang sangat jernih itu. Haus ternyata. Ia lompat dari batu satu ke batu lainnya. Sesekali ia harus menyebur juga ke sungai. Atau tercebur. B*ngs*t, hampir mengumpat. Tidak punya lelah sepertinya.

Tapi akhirnya, pohon tua yang berdiri tegak di atas bukit itu berada di hadapannya. Pohon yang batangnya seperti gumpalan rambut gimbal. Ia rebahkan tubuhnya di pohon itu. Ia merasa sangat tenang. Entah kenapa. Seperti didekap dari belakang oleh lelaki. Perempuan itu tertidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun