Mohon tunggu...
Nur Rahma
Nur Rahma Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan dgn karakter zodiak virgo dan bershio ular. Mengaku dirinya peduli lingkungan. suka menulis dan pembaca setia sastra lama. Menekuni bidang ilmu hukum dalam kehidupan nyatanya. |Twitter: @lucerahma |IG @nurrachma25 |Blog puisi: lucerahma.tumblr.com |Domisili: bojong gede,bgr.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengambil Alih Penulisan Buku Pelajaran oleh Guru

21 November 2014   20:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:12 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya kira, gagasan untuk mengambil alih kepenulisan buku pelajaran sekolah oleh Guru, tidak lagi ditulis oleh Penerbit adalah baik. Saya pernah mengetahui ada sebuah kelompok persatuan guru bernama MGMP atau (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang terdapat disetiap provinsi. Dimana itu bisa dimanfaatkan sebagai forum pembuka diskusi untuk menentukan 'arah' buku pelajaran sekolah kedepannya mau dibawa kemana.

TANTANGAN BAGI PARA GURU.

1416552253832109145
1416552253832109145

Namun, masih ada keraguan yang menyiratkan kemampuan guru-guru di Indonesia akan hal kemampuannya dalam menulis buku apalagi karya ilmiah. Penilaian ini terjadi karena relatif rendahnya kapasitas intelektual para guru yang ada di Indonesia. Benarkah itu?

Meskipun faktanya, ada beberapa guru yang sudah mulai berani menerbitkan buku. Mengasah kemampuan menulisnya dengan membuat artikel-artikel pendek yang di publikasikan di media cetak atau sengaja diikutsertakan dalam ajang lomba mengarang Novel. Pada sebuah catatan Depdiknas, setidaknya ada 50 orang guru bahasa Indonesia yang karyanya terseleksi dalam ajang lomba mengulas karya sastra dan masuk dalam nominasi menulis cerita pendek. Tapi apakah itu dapat meningkatkan segi intelektualitas guru? Tentu tidak, kalau mau di ukur jelas beda hasil karya novel dengan hasil karya ilmiah meskipun sama-sama di sebut hasil karya.

Ada sebuah pertanyaan kemudian, untuk membuktikan Apakah benar guru yang tidak berkompenten untuk membuat sendiri buku pelajaran sekolah? Ataukah guru yang tidak punya kesempatan untuk mengembangkan potensinya?

Seperti tadi sudah saya ulas, keberadaan MGMP di tiap propinsi bisa menjadi peluang untuk mengoptimalkan kemampuan personal maupun kelompok tiap guru untuk dapat merealisasikan kepenulisan, Membuat buku pelajaran sekolah. Namun, masalah terjadi ketika buku yang sudah berhasil diterbitkan oleh MGMP itu dinilai kurang menarik dari segi kualitas isi, dan kemasan. Penyebabnya selain karena pemodalan. Adalah kurang progresifnya guru dalam hal menulis dan mengembangkan ide kepenulisan yang berbasis keilmuan. Tidak semua guru bisa membuat tulisan ilmiah bukan? tidak semua guru juga (sebenarnya kalau mau jujur) mahir pula dalam mengajar? setiap murid, seperti juga saya pasti pernah menemui ada guru yang udah ngajarnya ngak jelas, materi pelajarannya meluas ngalor ngidur dan sebagainya.

GURU JUGA HARUS BELAJAR.

Jadi, tidak usah di tutup-tutupi kalau memang kualitas guru Indonesia kurang memadai untuk bisa mencerdaskan anak-anak bangsa. Tapi, bukankan ini menjadi peluang buat kita semua?? buat kita yang peduli terhadap kenaikan tingkat kualitas tiap guru di Indonesia. Mungkin sudah waktunya guru kembali belajar. Mencari peluang metode pelajaran dengan mengandalkan iba perusahaan, katakanlah kasarnya begitu. Pada sebuah artikel Kompas yang terbit Minggu, tanggal 16 November 2014, misalnya. Memuat berita bahwa Kompas memberikan pelatikan penulisan Jurnalistik kepada para guru di Majalengka. Itu sebagai contoh. Dan itu bagus. Bagi saya memang guru perlu kembali belajar hal baru untuk mengikuti zaman. Guru harus mahir IT, Guru harus piawai publik speaking. Guru harus pandai memotivasi siswa yang kurang atusiasnya dalam hal belajar. dan sebaginya.

Guru juga harus sadar. Harus mau mencari peluang bagi dirinya. Untuk mau selalu mengembangkan diri. Kalau tidak ada dukungan dari pemerintah pusat (Depdiknas) semenjak digulirkannya kebijakan otonomi pendidikan, yakni dimana dana pengadaan buku dialihkan pada tiap daerah untuk di kelola. Dimasukan dalam anggaran pengadaan buku ke DAU (dana alokasi umum) pada setiap kota atau kabupaten. Jika tujuan awal kebijakan itu tidak sesuai, ya sudah! Bukankah penyimpangan dana pengembangan proses pendidikan sudah lumrah terjadi di Indonesia? Cari siasat lain. Bisa bekerja sama dengan yayasan perusahaan atau bagaimana. Jangan bergantung pada kebijakan yang berkuasa. Yang punya kuasa emang gitu. Guru legowo aja. hehehe...

Eh, tapi ini serius. Masih banyak selain Pemerintah yang peduli terhadap perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Dari memberikan beasiswa kepada para murid sampai memberikan beasiswa dan apresiasi kepada para pendidik yakni bapak dan ibu guru yang berprestasi dan mau mengembangkan diri. Ialah Sukanto Tanoto, salah seorang pengusaha, visioner, pionir sekaligus pendiri dari Kelompok Bisnis RGE (Royal Golten Eagel) yang peduli terhadap dunia pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun