Mungkin beberapa hari yang lalu sebuah berita mengenai kebijakan Departemen Energi Amerika yang diliput oleh Econotimes membuat kaget bagi para netizen. Namun di kalangan akademisi atau energy anthusiastmomen ini sudah dapat diprediksi sejak kebijakan Presiden Amerika, Donald Trump, pada 1 Juni 2017 untuk hengkang dari perjanjian "hijau" Paris Climate Conference yang diadakan di Paris pada akhir 2015 silam.Â
Perjanjian yang telah ditandatangani 195 negara, termasuk Indonesia, menetapkan sebuah aksi global untuk menempatkan dunia pada jalur yang tepat agar terhindar dari perubahan iklim yang ekstrim dengan membatasi pemanasan global di bawah 2oC. Banyak kata kunci pada perjanjian ini, yang paling utama yaitu mengurangi dan menekan laju emisi gas rumah kaca (GHK). Yang mengejutkan dari berita tersebut tidak lain ialah langkah Amerika ke depan untuk memerangi energi terbarukan, bukan malah memelihara dan melanjutkan para pejuang energi hijau.
Berbagai upaya dilakukan untuk menekan laju pemanasan global, salah satunya dengan penggunaan energi terbarukan. Akan tetapi, tindakan ini hanyalah sebuah preventif yang belum dapat dilakukan secara sepenuhnya karena di sisi lain, dunia terus membutuhkan energi bukan sekedar untuk penerangan, akan tetapi aktivitas industri dan pergerakan ekonomi yang masih mengharuskannya menggunakan energi fosil. Artikel ini bukan memihak kebijakan Amerika, namun menelusuri lebih lanjut apa saja yang telah dunia lakukan di samping mengembangkan energi terbarukan.
Energi terbarukan bukan solusi satu-satunya. Ibaratkan telah berusaha untuk memilah sampah organik dan non-organik, masih saja ada orang yang tidak melakukannya sehingga hal yang dilakukan tidak berdampak secara optimal. Inilah yang menjadi permasalahan saat ini. Berbagai industri baik hulu ataupun hilir yang terus menerus melakukan pengolahan bahan baku dengan meninggalkan jejak karbon, meskipun sudah mencoba menerapkan energi terbarukan dan konservasi energi.
Katakan saja industri gas alam. Mari bicara dengan kasus sederhana, industri pupuk urea. Pupuk merupaka kebutuhan utama industri perkebunan. Proses produksinya tidak begitu sederhana dengan berbagai reaksi sintesa. Bahan baku utama yang dibutuhkan dalam proses ini membutuhkan suplai gas hidrogen untuk direaksikan dengan nitrogen sehingga membentuk ammonia. Ammonia yang dihasilkan kemudian direaksikan lagi dengan CO2sehingga terbentuklah urea. Apakah energi terbarukan mampu memproduksi hidrogen dengan sendirinya ? para pegiat teknologi mampu menjawab, "Pecahkan saja air sehingga terbentuk atom O dan H". Ah tidak sesimpel itu
Hidrogen yang disuplai berasal dari reformasi kukus, yaitu sebuah reaksi yang berlangsung terhadap gas alam (metana) dan uap air. Reaksi ini berlangsung secara endotermal sehinggal membutuhkan banyak sekali energi panas. Gas alam yang diambil dari sumur pengeboran tidak lebih ramah lingkungan dari minyak bumi. Gas yang diangkat banyak mengandung CO2dan pengotor yang berpotensi menjadi GHK.Â
Teknologi dan proyek besar harus mampu menyelesaikan masalah ini. Proyek yang disebut dengan Carbon Capture and Storage(CCS) digadang-gadang dapat meredam 90% CO2dengan memompanya kembali ke bawah tanah, langsung dari platform di mana gas alam tersebut ditambang. Selain itu, berbagai proyek CCS dilakukan pada industri-industri yang menghasilkan CO2berlebih dalam proses produksinya. 3 langkah yang dilakukan dalam proyek ini yaitu capture, transport, storage. Pemisahan gas CO2menjadi langkah awal dalam proses ini, lalu gas CO2yang berhasil dihimpun lalu ditransportasikan ke tempat di mana ia akan dibenamkan.Â
Proses penginjeksian dilakukan pada kedalaman lebih dari 800 meter atau bahkan 5 kilometer di bawah permukaan tanah dilakukan secara presisi agar CO2tidak akan keluar ke permukaan. Stateoil ASA menjadi perusahaan pertama yang mengimplementasikan teknologi ini di ladang sumur gas Sleipner, North Sea, di sekitar laut lepas Norwegia. Setiap tahunnya, perusahaan oil & gas ini menyimpan 1 juta ton CO2 Â ke bawah tanah. Saat ini, ada 22 proyek CCS di dunia dengan total kapasitas 40,3 MTPA (million ton per annum)
Berbagai fakta menarik mengenai teknologi bersih dari fosil lebih menjanjikan dibandingkan dengan energi terbarukan. Banyak yang beranggapan bawah batubara benar-benar kotor tanpa solusi. Hal tersebut tidak selamanya benar karena adanya clean coal technology. Berbagai proses fisika dan kimia terhadap batubara mampu merubahnya menjadi sebuah bahan baku yang ramah lingkungan dan tentu menjanjikan dari segi ekonomi karena energinya yang tinggi. Hal ini juga tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014, pasal 9 mengenai bauran energi di Indonesia mendatang, serta pasal 18 mengenai disertivikasi energi dan pasal 1 sebagai penjelasannya. Kondisi industri lah yang menekan teknologi untuk menyesuaikan diri sehingga dapat bersinambung dengan energi terbarukan.
Teknologi-teknologi baru meskipun tidak terbarukan tersebut membuat Amerika percaya diri untuk dapat menyingkirkan energi terbarukan, menggantikannya dengan gas alam serta batubara yang sekarang mereka anggap ramah lingkungan dengan prospek bisnis yang sangat besar, mengingat energi terbarukan membutuhkan investasi biaya yang sangat tinggi.
Apa langkah Amerika ini harus diikuti ? Semua yang mereka lakukan mungkin logis namun belum tentu benar. Energi terbarukan masih harus dibangun bukan malah diboikot sembari menemukan teknologi yang lebih mutakhir, yakni efisien dan murah.
Mandatori dari kementerian ESDM dan kebijakan Presiden telah berkontribusi terhadap kesepakatan paris tersebut. Hal utama yang ditekankan yaitu menggugah para investor dengan merampingkan berbagai regulasi, serta mendukung para pegiat teknologi misalnya produsen biofuel agar menjadikannya bergairah dan terus menyuplai Pertamina sebagai perusahaan tunggal yang berwenang mencampur biofuel.Presiden dengan berbagai paket ekonominya mampu memberikan kontribusi terhadap kemandirian energi, berupa dibangunnya berbagai bendungan sebagai pembangkit tenaga listrik serta pengairan pertanian. Katakanlah saja Bendungan Kairan di Banten yang diproyeksikan mengaliri PLN sebesar 1,8 MW
Bendungan Kairan. Sumber : Detik
Dari berbagai artikel energi terbarukan yang telah dibahas 15 hari ke belakang, PLTA dan PLTS menjadi primadona bagi bangsa Indonesia. PLTA dapat dibarengi dengan fungsi lain dalam membangun kesejahteraan petani. Selain itu, energi ini sangat menjanjikan karena Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa energi ini sustain.
Akhir kata, semoga Pemerintah melalui Kementerian ESDM mampu melaksanakan tugasnya dalam membangun kesejahteraan dan kemandirian energi di Indonesia !!
Artikel #15 dari #15HariCeritaEnergiÂ
Berita terkait energi dan mineral, serta kebijakannya dapat diakses di https://www.esdm.go.id/id/
Sumber dan referensi :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
Global CCS Institute, 2016, The Global Status of CCS : Summary Report 2016
http://www.econotimes.com/US-Department-Of-Energy-Officially-Declares-War-On-Renewable-Energy-868932
Diakses pada : 31 Agustus 2017 pukul 21.00
https://ec.europa.eu/clima/policies/international/negotiations/paris_en
Diakses pada : 31 Agustus 2017 pukul 21.04
https://www.carbonbrief.org/around-the-world-in-22-carbon-capture-projects
Diakses pada : 31 Agustus 2017 pukul 21.23
http://www.ccsassociation.org/what-is-ccs/
Diakses pada : 31 Agustus 2017 pukul 21.40
https://www.youtube.com/watch?v=aHtbDmzjYgg
Diakses pada : 31 Agustus 2017 pukul 22.13
http://ccsnetwork.eu/projects/sleipner-co2-injection
Diakses pada : 31 Agustus 2017 pukul 22.15
https://www.globenewswire.com/NewsRoom/AttachmentNg/59de2ac3-9eef-4d4b-87cf-d3b7dc1f8b6f
Diakses pada : 31 Agustus 2017 pukul 22.23
Diakses pada : 31 Agustus 2017 pukul 22.32
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H