Mohon tunggu...
Luca Cada Lora
Luca Cada Lora Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Entrepreneur, vegan & energy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Eksploitasi Matahari dalam Konsep Green Building dan Pemanfaatannya sebagai Energi Terbarukan

27 Agustus 2017   23:56 Diperbarui: 28 Agustus 2017   07:14 2306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Green buildingatau bangunan ramah lingkungan memiliki kontribusi menahan laju pemanasan global. Menitikberatkan pada penghematan air dan energi dengan menggunakan energi terbarukan, green building menjadi tren dunia bagi pengembangan properti saat ini. Tidak seperti masyarakat di negara maju yang sudah sangat dekat dengan energi terbarukan, Indonesia cenderung lemah di sektor energi terbarukan. Terbukti dengan masih didominasinya PLTU dengan bahan bakar batubara dengan porsi sebesar 63,8% hingga tahun 2022 ke depan, berdasarkan Keputusan Menteri 4092 perihal Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) PT. PLN dari tahun 2013.

Energi surya atau matahari merupakan salah satu energi terbarukan yang telah dimanfaatkan dan dieksploitasi dengan tepat, guna menyediakan konsumsi energi dunia saat ini. Meskipun sumber energi tersebut melimpah dan terbarukan, kepemilikan teknologi Indonesia yang masih rendah menjadi penghambat dalam pengaplikasiannya. Selain energinya dapat dikonversikan menjadi energi listrik, energi dari cahaya yang dipancarkan (foton) matahari menjadi hal yang vital bagi makhluk hidup. Malah, energi ini seakan menjadi sesuatu yang harus dibayar mahal karena keberadaannya yang sejatinya gratis malah tergantikan dengan cahaya yang berasal dari lampu listrik, notabene energinya berasal dari energi fosil batubara. Energi cahaya yang semestinya menerangi seluruh penjuru dunia, seakan mubazir dengan keberadaan gedung-gedung berkaca yang menggunakan energi tak terbarukan baik malam maupun siang hari. 

Jika dihitung-hitung dengan ilmu fisika bangku SMA, bagi anda yang familiar dengan hukum Stefan-Boltzman (Energi kalor yang dipancarkan setiap luas permukaan benda, berbanding lurus dengan pangkat empat suhu mutlaknya) dengan mudah memprediksi betapa banyaknya energi yang dapat dipanen dari bintang tata surya ini. Bayangkan, 173.000 Terawatt energi menumbuk bumi dengan jatah 112.000 Gigawatt untuk Indonesia setiap waktunya, bersama sebuah unit energi bernama foton atau gelombang elektromagnetik. Angka ini mencapai 10.000 kali dari kebutuhan energi dunia

Berasal dari alam, manusia hanya mampu merekayasa apa yang telah alam berikan. Salah satu hasil rekayasa tersebut adalah tabung matahari atau tabung surya. Pada prinsipnya, tabung surya memudahkan manusia dalam memanfaatkan cahaya dari matahari dengan memancarkannya sehingga mampu menerangi ruangan tertutup tanpa mendapatkan efek radiasinya (panas). 


Sumber : Solatube

Sistem yang sangat simpel ini mampu meredam penggunaan lampu hemat energi sekalipun, terlebih teknologi ini dapat dikombinasikan dengan semacam panel surya sehingga pemanfaatannya dapat bertahan 24 jam 7 hari. Komersialisasi teknologi ini telah berhasil dilakukan oleh perusahaan amerika Solatube International Inc.


Sumber : Solatube

Tidak perlu muluk-muluk untuk mendapatkan teknologi seperti amerika. Negara berkembang juga bisa melakukannya dengan sebuah inovasi botol air yang digantung pada loteng rumah yang menghasilkan cahaya setara dengan lampu pijar 55 watt. Konsep green building pun telah diaplikasikan dengan tepat guna pagi warga pedesaan maupun perkotaan dengan memperhatikan nilai estetika seperti pada teknologi Solatube.


Sumber : The Guardian

Sama seperti air dan geothermal yang telah dikembangkan sejak lama, pemanfaatan energi terbarukan ini telah berkembang sejak tahun 1954 oleh Bell Laboratories dengan mengkonversi tumbukan foton tersebut menjadi listrik menggunakan unit sel potovoltaik (PV) atau lebih dikenal dengan sel surya. Jauh dari itu, pada tahun 1839 merupakan cikal bakal adanya teknologi tersebut yang digagas oleh Edmond Becquerel karena penemuan material yang menimbulkan percikan listrik jika terkana sinar matahari, yang dikenal dengan efek fotolistrik.

Hal sangat mendasar dalam fenomena tersebut yakni bagaimana listrik itu bekerja. Sebuah sistem akan menghasilkan listrik apabila ada elektron yang bergerak. Pergerakan elektron inilah yang direkayasa untuk bergerak agar menghasilkan arus listrik, salah satunya melalui efek fotolistrik. Elektron ada di mana saja, baik dalam keadaan diam (statis) ataupun bergerak (dinamis). Dengan material tertentu, elektron didalamnya lebih mudah bergerak dan menghasilkan listrik. Inilah konsep dasar dari sebuah panel surya dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).


Sumber : UCS USA

Gambar di atas menunjukkan terjadinya fenomena eksitasi atau loncatnya elektron yang disebabkan oleh cahaya matahari, yang telah dikemas secara apik dan dapat ditemukan dengan mudah untuk saat ini. Dalam teori kekelan massa, tumbukan foton dari sinar matahari akan mendesak elektron untuk berpindah dari posisinya yang semula, seperti permainan kelereng. Secara tidak sadar, sebenarnya kita sangat dekan dengan teknologi ini, misalnya pada kalkulator dan powerbank. 


Sumber : UCS USA


Berdasarkan data Solar Market Industries Association, 15 Gigawatt energi telah berhasil dipanen pada tahun 2016 di Amerika Serikat. Pertumbuhan pasar dari pemanfaatan energi terbarukan ini meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada quarter pertama 2017, 2044 Megawatt solar PV telah terinstal. Dengan adanya permintaan yang tinggi, harga dari solar PV yang dulu terbilang sangat mahal, kini menurun tajam sehingga dapat dimanfaatkan secara langsung pada masing-masing rumah. Pemanfaatan energi surya ini mencapai 39% dari total kebutuhan di Amerika.


Sumber : SEIA

Kendati demikian, bukan berarti sumber energi ini menjadi tidak ada kekurangannya. Cuaca yang tidak menentu dan pemanfaatannya yang hanya berlangsung pada siang hari menjadi tantangan utama pengembangan energi terbarukan ini. Efisiensi pun menjadi PR yang berat bagi para peneliti karena saat ini konversi maksimum dari solar PV hanya mencapai 40%. Namun dari segi reliability, sebuah solar PV mampu bertahan hingga 25 hingga 30 tahun, hal inilah yang membuat pasar solar PV mampu bertahan dan bahkan meningkat.


Sebuah desa di Jerman. Sumber : The Economist.

Karena efisiensinya yang terbilang kecil, peneliti terus berusaha mendapatkan teknologi yang mujarab untuk mengkonversinya ke energi listrik sebesar-besarnya. Salah satu teknologi alternatif selain solar PV yaitu Concentrating Solar Power (CSP). Teknologi ini menjadikan matahari sebagai sumber bahan bakar dari ketel uap (boiler) sehingga menghasilkan steam untuk menggerakkan turbin dan generator. Konsep dasarnya sama persis seperti PLTU, PLTP dan PLTB yang dapat anda baca pada artikel sebelumnya

Mungkin ketika kita kecil pernah membeli semacam kaca pembesar yang dapat membakar plastik jika dipusatkan fokusnya sehingga menimbulkan panas. Inilah yang menjadi dasar dari teknologi CSP. Concentratoratau Heliostats yang berbentuk cekung secara konvergen mengumpulkan cahaya di satu titik sehingga panasnya akan terakumulasi. Panas inilah yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar dari boiler untuk memanaskan air dan menghasilkan steam.

illust_receiver_dish.gif
illust_receiver_dish.gif


Kebun CSP. Sumber : Solareis

Cogeneration yang baru saja dibahas pada artikel sebelumnya dapat berperan pada teknologi ini, dengan mengintegrasikan CSP sebagai pembangkit listrik dan thermal enchanced oil recovery(EOR) ataupun sebuah sistem penyimpanan panas yang dapat digunakan jika matahari telah terbenam.


Thermal storage

Efisiensi pun dapat meningkat drastis jika diintegrasikan dengan sebuah sistem cogeneration seperti di atas. Agaknya, peneliti telah berhasil memberikan cadangan teknologi sebelum mereka menemukan teknologi solar PV di atas 80% atau bahkan 100% !!

Motivasi : https://www.esdm.go.id/id/
https://www.esdm.go.id/id/page/kompetisi-15-hari-bercerita-energi

Sumber dan referensi :

http://www3.esdm.go.id/berita/56-artikel/5797-matahari-untuk-plts-di-indonesia-.html

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 20.04

http://solareis.anl.gov/guide/solar/csp/

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 20.20

http://www.brightsourceenergy.com/how-it-works#.WaLfQCgjGHt

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 20:30

http://www.seia.org/research-resources/solar-market-insight-report-2017-q2

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 20:32

http://www.ucsusa.org/clean-energy/renewable-energy/how-solar-panels-work#.WaLK8igjGHs

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 20:40

https://energy.gov/articles/top-6-things-you-didnt-know-about-solar-energy

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 21.21

http://www.solatube.com/

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 21.23

https://www.theguardian.com/environment/2011/dec/23/sunlight-bulbs-plastic-bottles-light

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 21.30

https://www.photonicsonline.com/doc/key-challenges-facing-the-photovoltaic-industry-0001

Diakses pada : 27 Agustus 2017 pukul 22.00

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun