Mohon tunggu...
Rahmi Angreni
Rahmi Angreni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi Menonton

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Fenomena Dokter Asing Kuatkan Kapitalisasi Kesehatan

9 Juli 2024   12:54 Diperbarui: 9 Juli 2024   12:54 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pemecatan Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.OG(K). sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) tengah menyedot perhatian publik. Pemecatan itu terjadi tak lama setelah Ia menyatakan penolakannya terhadap rencana pemerintah mendatangkan dokter asing ke Indonesia. (CNN Indonesia, 4/7/24)

"Secara pribadi dan institusi, kami dari fakultas kedokteran tidak setuju," katanya. Prof. Budi juga yakin bahwa 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia mampu meluluskan dokter-dokter berkualitas. Bahkan, ia yakin kualitasnya tidak kalah dengan dokter-dokter asing. (tekno.tempo.co, 9/7/24)

Perekrutan dokter asing untuk berpraktik di Indonesia merupakan mandat UU Kesehatan (2023) yang baru saja disahkan. Terkait topik ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tujuan dokter-dokter asing didatangkan ke Indonesia bukan untuk menyaingi dokter lokal. Dia menjelaskan bahwa hampir 80 tahun merdeka, Indonesia masih kekurangan tenaga spesialis, dan yang paling banyak kosong adalah dokter gigi. Selain itu, ujarnya, distribusi juga kurang, seperti 65 persen puskesmas di Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan (DTPK) yang mengalami kekosongan 9 jenis tenaga kesehatan. (antaranews.com, 3/7/24)

Ironis Nakes

Di tengah isu perekrutan dokter asing, dunia nakes sejatinya sedang tidak baik-baik saja.

Menurut data WHO (2019), rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,47 per 1.000 penduduk, padahal standar WHO adalah 1,0 per 1.000 penduduk. Indonesia sendiri menempati peringkat 147 dunia dalam hal ketersediaan dokter spesialis. Jika dicermati, Indonesia masih kekurangan 124.000 dokter umum dan 29.000 dokter spesialis. Sebaliknya, Indonesia hanya mampu mencetak 2.700 dokter spesialis per tahun.

Karena tidak dapat dipungkiri juga bahwa bidang kesehatan dalam sistem ekonomi kapitalis merupakan tempat mencari keuntungan. Sistem pendidikan kedokteran yang bertumpu pada sistem pendidikan sekuler bersifat kapitalis, industrialisasi dan penuh dengan kepentingan korporasi, terutama yang bergerak di bidang kesehatan. Hal ini tidak hanya mempersulit aksesnya karena harganya yang sangat mahal, tetapi juga menimbulkan masalah kualitasnya.

Belum lagi kita dihadapkan fakta bahwa sebanyak 2.716 calon dokter spesialis disebut mengalami gejala depresi. Angka tersebut berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sesuai hasil skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) 28 RS vertikal pendidikan bagi 12.121 PPDS per Maret 2024.

 Tak heran, data ini turut memperkuat legitimasi pemerintah dalam mempekerjakan dokter asing. Selain itu, muatan UU Kesehatan mengenai rekrutmen dokter asing  tidak berpihak pada dokter lokal. Namun, jika satu-satunya alasan mempekerjakan dokter asing adalah untuk mengisi kekurangan dokter di Indonesia, hal tersebut terkesan terlalu basi.

Lalu apa yang akan terjadi pada dokter lokal dan sistem pendidikan kedokteran di negara ini secara keseluruhan jika pemerintah berusaha memenuhi kebutuhan dokter nasional dengan mendatangkan dokter asing? Yang terjadi adalah di satu sisi, kapitalisasi layanan kesehatan semakin terkonsentrasi. Di sisi lain, kehadiran dokter asing bisa semakin meningkatkan biaya kesehatan. Kualitas pelayanan juga tidak selalu terjamin dan bisa lebih berbahaya lagi tergantung kemampuan membayar, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi.

Pandangan Islam

Perlu ditegaskan bahwa wujud asasi kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat dan mekanisme pengelolaannya sama dengan fasilitas umum. Secara syar'i, fasilitas umum adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan umum umat manusia. Seperti inilah Islam memandang terkait bidang kesehatan.

Sehingga dalam Islam, kehadiran dokter asing sebenarnya tidak menjadi masalah. Sebab paradigma rekrutmen bukanlah paradigma liberal seperti kapitalisme. Terkait hal ini, Rasulullah saw. pernah mendapatkan hadiah seorang tabib (dokter) dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun mengangkat dokter tersebut sebagai dokter umum bagi seluruh rakyatnya (HR Muslim). Meski demikian, Negara Islam, dalam hal ini Khilafah, harus mempunyai kendali penuh atas perekrutan dokter asing.

Penyelenggaraan dan pembiayaan pelayanan kesehatan pada masa kekhalifahan menjadi tanggung jawab negara. Memaksakan hal ini pada masyarakat sebenarnya akan sangat sulit. Oleh karena itu, pihak berwenang tidak boleh mengabaikan tanggung jawab ini. Rasulullah saw. bersabda, "Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad).

Kekhalifahan berperan penting dalam penyediaan tenaga medis, baik dalam hal ketersediaan dokter dan perawat, sistem pendidikan ilmu kedokteran dan kesehatan yang informatif dan efektif, jumlah staf yang memadai, dan kualitas pelayanan medis. Seperti halnya sistem pendidikan pada umumnya, pendanaan untuk pelatihan dokter dan tenaga kesehatan diberikan secara cuma-cuma oleh Khilafah.

Ingatlah bahwa Khilafah mengutamakan penguatan sumber daya dokter dalam negeri dibandingkan perekrutan dokter asing, dan pada akhirnya perekrutan dokter asing dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Khilafah juga menjamin kesehatan para dokter dan tenaga medis serta menjunjung tinggi idealisme dan tekad mereka untuk memenuhi tanggung jawab negara di bidang medis. Memang benar, upaya pengadaan dokter dan tenaga medis di dalam negeri tidak lepas dari biaya yang besar. Namun Khilafah mempunyai banyak sumber pendapatan yang signifikan melalui Baitulmal.

Sudah menjadi rahasia umum, masa keemasan Khilafah melahirkan dokter-dokter hebat yang ilmunya masih dapat kita manfaatkan hingga saat ini. Menurut kutipan dari buku History of the Arabs oleh Philip K. Hitti dan jurnal "Origin and Development of Unani Medicine: An Analytical Study" oleh Arshad Islam, begitu banyak ilmuwan Islam yang membawa kemajuan dalam bidang kedokteran dunia. Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Az-Zahwari hanyalah sedikit di antaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun