Mohon tunggu...
Lubna GhaisaniNafeeza
Lubna GhaisaniNafeeza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cancel Culture: Wadah Keadilan atau Penghakiman Sepihak?

7 Januari 2025   09:23 Diperbarui: 7 Januari 2025   09:23 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin istilah "Cancel Culture" sudah tidak asing di telinga kita, tetapi sebenarnya apa sih istilah dari kata itu sendiri? 

Arti Cancel Culture 

Dikutip dari Merriam-Webster, cancel culture merupakan praktik atau kecenderungan melakukan pembatalan massal sebagai cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial. Biasanya objek dari cancel culture ini adalah seorang tokoh masyarakat atau selebriti yang telah melakukan sesuatu yang kurang diterima oleh masyarakat. Dalam praktiknya, biasanya dilakukan melalui media sosial yang ramai digunakan di zaman sekarang, seperti Instagram, TikTok, ataupun X. 

Menurut KBBI, media sosial adalah laman atau aplikasi yang memungkinkan pengguna dapat membuat dan berbagi isi atau terlibat dalam jaringan sosial. Alasan mengapa media sosial menjadi platform utama dalam berkembangnya cancel culture adalah karena kemampuannya dalam menyebarkan informasi yang cepat juga luas. Melalui laman atau aplikasi ini, individu dapat menyuarakan ketidakadilan, berbagi pengalaman, dan menggalang dukungan publik, sehingga cancel culture sering dianggap sebagai alat untuk memperjuangkan penuntutan tanggung jawab. Namun, di sisi lain, media sosial juga kerap menjadi arena penghakiman sepihak akibat penyebaran informasi yang tidak selalu benar atau lengkap, yang dapat menciptakan gelombang kecaman tanpa mempertimbangkan konteks atau hak pembelaan diri.

Oleh karena itu, munculah pertanyaan utama yang muncul dari fenomena cancel culture. Apakah budaya ini benar-benar menciptakan keadilan atau justru memunculkan masalah baru. Di satu sisi, cancel culture sering dianggap sebagai bentuk penuntutan tanggung jawab, memberikan ruang bagi mereka yang selama ini tidak memiliki kekuatan untuk melawan ketidakadilan. Namun, di sisi lain, cancel culture juga dapat menimbulkan kekhawatiran karena dapat berubah menjadi penghakiman sepihak yang tidak memberikan kesempatan bagi pihak yang dikritik untuk membela diri. Fenomena ini memunculkan dilema: apakah cancel culture menjadi alat pemberdayaan yang efektif atau malah menciptakan lingkungan sosial yang lebih intoleran dan tidak sehat.

Asal-Usul Cancel Culture

Cancel culture bermula dari konsep boikot yang sudah ada sejak era perjuangan hak sipil, di mana masyarakat menggunakan kekuatan kolektif untuk menolak mendukung individu atau institusi yang dianggap melakukan pelanggaran moral. Dalam perkembangannya, istilah ini mulai digunakan di blog Tumblr pada awal 2010-an. Isu yang diangkat adalah Your Fave is Problematic, di dalamnya mereka mendiskusikan mengapa bintang favorit mereka tidak sempurna. Hingga pada akhirnya istilah ini cukup berkembang pesat dan mulai diterima di masyarakat seiring meningkatnya kesadaran sosial terhadap isu-isu seperti rasisme, seksisme, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Contoh Cancel Culture

Akhir-akhir ini, isu cancel culture cukup ramai, terutama yang ditujukan kepada para selebritas, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.  Di luar negeri, seperti Korea Selatan budaya ini cukup banyak terjadi bahkan menyasar pada berita hoaks. Cancel culture ini sempat dialami oleh mantan member boygoup Riize, yaitu Seunghan. Sebelum tersandung rumor yang semakin ramai dibicarakan, Seunghan beraktivitas normal bersama teman-teman satu grupnya selama kurang lebih dua bulan, mulai dari September hingga November 2023. Rumor yang beredar menyebutkan bahwa Seunghan pernah berpacaran sebelum debut dan menjadi member Riize. Meskipun berpacaran seharusnya bukan masalah besar, isu ini tetap menjadi sensitif di dunia K-Pop, di mana banyak fans yang kontra dan melakukan cancel culture. Akibatnya, Seunghan memutuskan untuk hiatus selama 10 bulan. Ketika akhirnya diumumkan bahwa ia akan kembali aktif pada 11 Oktober 2024, fans yang kontra kembali menyuarakan ketidaksetujuan mereka, bahkan mengirimkan bunga duka di sekitar gedung agensi. Keputusan akhir yang diambil adalah mengumumkan keluarnya Seunghan dari Riize tepat dua hari setelah pengumuman tentang kembalinya ia ke grup. 

Cancel culture yang berasal dari rumor berpacaran juga dialami akhir-akhir ini oleh salah satu member boygroup dan girlgroup Korea Selatan, yaitu Jung Won dari Enhypen dan Winter dari Aespa. Keduanya dirumorkan memiliki hubungan tanpa ada sumber ataupun bukti yang jelas. Sayangnya, rumor tersebut cepat ramai diperbincangkan mengingat keduanya berasal dari agensi juga grup yang besar. Mengingat sampai saat itu dari kedua agensi belum melakukan tindakan apa-apa, membuat Jung Won berinisiatif untuk melakukan klarifikasi mandiri melalui siaran langsungnya di platform weverse. Dalam siaran langsungnya, ia mengklarifikasi bahwa ia tidak berpacaran dan juga merokok. Seharusnya, dengan hal ini sudah jelas bahwa rumor yang ramai tersebut merupakan hoaks. Meskipun sudah adanya klarifikasi dari salah satu pihak, keduanya tetap menjadi sasaran cancel culture. Mulai dari pengiriman truk yang menyuruh Jung Won untuk keluar dari Enhypen hingga hate speech yang dilakukan di haters  yang melakukan mengutuk keluarga Winter saat fansign Aespa sedang berlangsung.

Cancel Culture sebagai Wadah Keadilan

Kabar baiknya adalah cancel culture memang sangat memberikan ruang bagi individu atau kelompok yang sebelumnya tidak memiliki platform untuk menyuarakan pengalaman atau ketidakadilan yang mereka alami. Dengan media sosial sebagai alat utamanya, cancel culture memungkinkan isu-isu yang sering diabaikan oleh media arus utama untuk mendapatkan perhatian publik. Hal ini terutama bermanfaat bagi kelompok marginal yang sering kali menghadapi ketidakadilan tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.

Oleh karena itu, cancel culture kerap menjadi alat yang efektif untuk menuntut tanggung jawab dari figur publik atau institusi besar yang memiliki pengaruh signifikan. Ketika tindakan atau pernyataan mereka dianggap merugikan, masyarakat melakukan cancel culture dan memberikan tekanan agar mereka bertanggung jawab atas perilaku mereka. Dalam hal ini, cancel culture berfungsi sebagai pengingat bahwa kekuasaan atau popularitas tidak memberikan kekebalan terhadap kritik atau tuntutan keadilan.

Sehubungan dengan itu, maka dapat kita katakan bahwa budaya ini ikut memainkan peran penting dalam melawan ketidakadilan, diskriminasi, dan penyalahgunaan kekuasaan dengan membawa isu-isu tersebut ke dalam percakapan publik. Dengan memobilisasi opini masyarakat, cancel culture sering kali memaksa perubahan kebijakan atau perilaku dari pihak yang bersalah. Ini membuat cancel culture tidak hanya menjadi bentuk protes sosial, tetapi juga alat untuk mendorong reformasi yang lebih inklusif dan adil.

Cancel Culture sebagai Wadah Penghakiman

Namun, budaya ini tidak selamanya membawa pengaruh positif dalam masyarakat. Salah satu permasalahan utama terhadap cancel culture adalah munculnya mob mentality, di mana masyarakat cenderung ikut-ikutan mengecam tanpa mempertimbangkan konteks atau bukti yang lebih mendalam. Hal ini seringkali disebabkan oleh kurangnya tingkat literasi dari para pengguna di media sosial, sehingga mungkin mereka bahkan tidak paham sama sekali terkait  dengan isu yang mereka komentari. Dalam banyak kasus, tekanan sosial yang kuat dan cepat membuat individu atau institusi menjadi sasaran kemarahan kolektif, tanpa adanya kesempatan yang adil untuk klarifikasi atau pembelaan. Akibatnya, kerap terjadi pengambilan keputusan secara terburu-buru dalam masyarakat. Biasanya, keputusan itu diambil tanpa mempedulikan proses hukum atau prinsip-prinsip keadilan dasar.

Tentunya, hal ini akan berdampak pada individu yang menjadi korban cancel culture. Sering kali dampak yang mereka alami cukup serius, terutama bagi kesehatan mental mereka. Tindakan boikot atau kecaman massal dapat menyebabkan perasaan terisolasi, cemas, atau depresi, karena mereka harus menghadapi hujatan yang tidak hanya datang dari publik, tetapi juga bisa mengganggu kehidupan pribadi dan karir mereka. Tekanan ini bisa berlanjut dalam jangka panjang, menyebabkan trauma emosional dan merusak kepercayaan diri korban.

Selain itu, budaya ini juga berpotensi dapat membungkam kebebasan berpendapat, karena mengakibatkan individu takut mengungkapkan pendapat atau gagasan yang berbeda dengan pandangan mayoritas. Ketika kritik atau pandangan yang tidak populer langsung berujung pada serangan sosial, hal ini menyebabkan munculnya ketakutan yang membatasi ruang untuk diskusi terbuka dan keberagaman pendapat. Akibatnya, masyarakat bisa terjebak dalam konformitas atau keseragaman, di mana hanya pandangan mayoritas yang dianggap sah, sementara suara-suara alternatif terpinggirkan.

Untuk menyelesaikan konflik atau ketidaksetujuan dengan cara yang lebih sehat, perlu adanya pendekatan yang mengutamakan dialog yang membangun dan pemahaman bersama. Alih-alih langsung menghakimi atau melakukan "cancel" kepada pihak yang berbeda pendapat, kita bisa mengutamakan komunikasi yang terbuka dan saling menghargai. Pendekatan ini memberi kesempatan bagi semua pihak untuk menjelaskan perspektif mereka dan mencari solusi yang lebih inklusif tanpa merusak hubungan sosial.

Penting untuk menekankan pendidikan dan pemahaman yang lebih dalam sebagai fondasi dalam menyelesaikan ketidaksetujuan. Diskusi terbuka yang menghargai berbagai pandangan memungkinkan kita untuk memahami lebih baik posisi orang lain dan mencari titik temu. Selain itu, pendekatan seperti restorative justice dapat menjadi alternatif yang lebih konstruktif, dimana pelaku kesalahan diberi kesempatan untuk memperbaiki tindakan mereka dan memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan, alih-alih hanya dihukum atau "dihapus" dari ruang sosial.

Kesimpulan

Cancel culture, dalam banyak hal, bisa dilihat sebagai upaya untuk memberikan keadilan bagi mereka yang terdampak oleh perilaku atau pernyataan yang merugikan. Namun, fenomena ini juga sering kali menimbulkan penghakiman sepihak yang cepat tanpa mempertimbangkan bukti atau konteks yang lengkap. Meskipun dapat membawa perubahan sosial yang positif, terkadang cancel culture lebih banyak berfokus pada hukuman sosial daripada pada pemahaman atau rehabilitasi, yang bisa mengarah pada ketidakadilan bagi individu yang menjadi target.

Penting untuk menjaga keseimbangan antara penuntutan tanggung jawab dan kebebasan berpendapat dalam masyarakat kita. Penuntutan tanggung jawabmemungkinkan individu dan institusi untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka, tetapi kebebasan berpendapat harus tetap dihormati sebagai hak dasar. Dengan menciptakan ruang untuk diskusi yang konstruktif dan saling menghargai, kita dapat memastikan bahwa perubahan sosial yang diinginkan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, tanpa mengorbankan pluralisme atau kebebasan berpikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun