"Hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi, karena semakin seseorang paham perbedaan, dia akan paham makna kebersamaan." Pernyataan ini menjadi cerminan sempurna dari makna kegiatan ekskursi di Pondok Pesantren Al-Furqon yang dilakukan oleh Kolese Kanisius. Kalimat seperti itu akan kehilangan maknanya jika hanya menjadi teori yang tidak dibuktikan dalam pengalaman nyata. Ekskursi ini menjadi wujud konkret dari upaya memahami makna toleransi melalui interaksi langsung dengan berbagai latar belakang.
Pada awal kedatangan, kekhawatiran sempat muncul tentang bagaimana keberadaan rombongan dengan latar belakang berbeda akan diterima. Namun, realitas berkata lain. Santri-santri di pesantren menyambut dengan senyum hangat dan keramahan yang begitu tulus. Mereka bahkan sering kali memulai percakapan lebih dulu, menunjukkan rasa penasaran yang sehat tanpa sedikit pun prasangka. Interaksi ini menepis segala kekhawatiran dan menghadirkan kenyamanan yang luar biasa. Fenomena ini membuktikan bahwa keramahan dan rasa keterbukaan mampu melewati batas-batas identitas. Nilai-nilai universal, seperti saling menghormati dan empati menjadi pengikat yang kuat sehingga perbedaan bukanlah penghalang untuk menjalin hubungan yang harmonis.
Rombongan tiba di Pondok Pesantren Al-Furqon pada sore hari pukul 15.00. Begitu bus berhenti, antusiasme langsung terasa. Anak-anak turun dari bus dengan penuh semangat, membawa barang-barang mereka sambil memandangi lingkungan baru yang akan mereka jelajahi. Di sisi lain, santri-santri pesantren berdiri memandangi kedatangan tamu dengan rasa penasaran. Perbedaan terlihat begitu mencolok---baik dari segi fisik, logat, maupun pakaian. Anak-anak pesantren dengan kulit yang lebih gelap dan pakaian khas pesantren menunjukkan keunikan tersendiri dibandingkan kanisian yang mengenakan pakaian kasual khas kota. Perbedaan agama juga tampak dari detail seperti penggunaan peci dan gaya bicara mereka yang lebih pelan dan tenang. Namun, di tengah semua perbedaan itu, kehangatan dan rasa ingin tahu menghubungkan dua kelompok ini dalam interaksi yang penuh rasa hormat.
Lingkungan pesantren memberikan pengalaman yang sangat berbeda dari suasana di Jakarta. Di ibu kota, kebisingan, ritme cepat, dan kebebasan yang begitu terbuka sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, di pesantren, suasana yang dirasakan justru penuh ketenangan. Lingkungan yang dikelilingi alam hijau di Cipanas, udara segar, dan ritme kegiatan yang teratur menciptakan atmosfer yang menenangkan. Tidak ada hiruk-pikuk atau tekanan aktivitas yang tergesa-gesa, melainkan kedisiplinan dan kebersahajaan yang tercermin dari kehidupan sehari-hari di sana. Meskipun berbeda, suasana ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kesederhanaan dan ketenangan dalam menjalani kehidupan.
Di balik semua perbedaan yang dirasakan, ada satu hal yang tetap sama, yakni ikatan persaudaraan yang terjalin. Interaksi yang terjadi selama ekskursi penuh dengan kehangatan. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, komunikasi terjalin layaknya teman lama yang sudah saling mengenal. Percakapan, tawa, dan cerita yang dibagikan selama perjalanan menjadi bukti bahwa perbedaan budaya, agama, atau asal usul tidak mampu memisahkan manusia ketika rasa saling menghormati hadir. Pengalaman ini menegaskan bahwa hubungan antarmanusia dapat tumbuh subur jika semua pihak bersedia menerima dan menghargai keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Pertemuan selalu diakhiri dengan perpisahan, namun dampaknya akan tetap terasa. Selama tiga hari dua malam, waktu terasa cukup untuk menciptakan hubungan yang bermakna antara dua kelompok yang berbeda. Saat makan bersama, masing-masing pihak saling menyesuaikan diri tanpa merasa terganggu oleh perbedaan. Saat sesi pengenalan ibadat, mereka memperhatikan dengan hormat. Waktu yang tepat bagi mereka untuk merenungkan eksistensi sila ketiga Pancasila sebagai fondasi kebersamaan dalam keberagaman tanpa gangguan pihak ketiga. Ini adalah kesempatan langka bagi banyak orang untuk menyadari betapa pentingnya memahami arti toleransi secara langsung.
Ekskursi ini juga menjadi cermin penting bagi dunia pendidikan dalam membentuk generasi yang siap menghadapi keberagaman. Proses pembelajaran tidak cukup hanya dilakukan di ruang kelas, tetapi juga melalui pengalaman langsung di lapangan. Dalam kegiatan seperti ini, anak-anak muda diajak untuk keluar dari zona nyaman, melihat kehidupan yang berbeda, dan belajar untuk menghormati setiap perbedaan. Hal ini menjadi bekal penting bagi mereka yang kelak akan terjun ke masyarakat yang lebih luas.
Pengalaman seperti ini menegaskan bahwa toleransi adalah kunci untuk menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Di tengah dunia yang penuh dengan perbedaan---baik budaya, agama, maupun cara hidup---kemampuan untuk saling memahami dan menghormati menjadi fondasi utama. Generasi muda, khususnya yang beranjak dewasa, sangat perlu mempelajari pentingnya nilai-nilai ini karena mereka akan menghadapi masyarakat yang semakin beragam. Toleransi tidak hanya berarti menerima perbedaan, tetapi juga merayakannya sebagai anugerah yang memperkaya kehidupan bersama.
Keberagaman adalah anugerah yang tak ternilai, sebuah kekayaan yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk menciptakan harmoni dalam perbedaan. Namun, mewujudkan toleransi sebagai nilai yang nyata dalam kehidupan memerlukan usaha aktif, terutama dari generasi muda. Pendidikan memiliki peran penting dalam mendorong anak-anak muda untuk terlibat dalam interaksi nyata yang menghadirkan perjumpaan dan membangun rasa saling memahami. Tantangan terbesar adalah keberanian orang tua dan masyarakat untuk memberi ruang bagi generasi muda menjelajahi keberbedaan, termasuk dalam hal keyakinan. Dengan keterbukaan dan empati, makna toleransi dapat diwujudkan, menciptakan dunia yang lebih harmonis dan adil bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H