Di pundak anak kecil itu tersangkut banyak beban. Ada utang 150 dollar. Lintah darat siap merapat jika janji tak tuntas. Sementara, dia masih usia sembilan tahun, belum tahu apa-apa soal dana yang harus diganti. Bersama sang ibu, dia pun menyeberang lautan, tujuh hari tujuh malam, ke negeri jauh yang belum pernah dia injak. Sang ayah yang sebelumnya berutang dana itu, menungggu di sana, di Makassar, di sebuah kawasan yang berada di Pulau Sulawesi, jauh dari negeri asalnya.
Adalah dia Oei Ek Tjhong, anak kecil itu. Lahir dari keluarga miskin, tepatnya pada 27 Februari 1921 di Quanzhou ,Fujian, China. Di Makassar, di wilayah yang kini menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, dia menetap dan membantu sang ayah yang memiliki sebuah toko kecil. Ini tak lain karena utang sang ayah 150 dollar tersebut memang harus cepat dibayarkan. Mujur, utang dapat ia lunasi ketika berusia 11 tahun.
Nyatanya, kegigihannya untuk membantu sang ayah guna membayar utang harus dibayar mahal. Dia putus sekolah. Praktis, dia hanya punya ijazah sekolah dasar di Makassar. Hidup dalam selimut kekurangan materi pun belum bisa terlepas. Tapi, dia tak mau berpangku tangan.
Anak kecil itu memilih untuk berjualan secara berkeliling. Dia mulai berjualan di sekitar Kota Makassar dengan mengendari sepeda. Dia menjajakan permen, kue, dan aneka barang dari toko ayahnya. Berkat keuletan yang dimilikinya, usaha yang dijalankannya mulai berhasil.
Di kemudian hari, anak kecil yang bernama Oei Ek Tjhong itu berganti nama. Dan, nama yang dia pilih adalah Eka Tjipta Widjaja. Ya, seperti kata pepatah, "Nama adalah doa."
Eka Tjipta seakan menjelma menjadi daya cipta; menciptakan sebuah daya demi sebuah keberhasilan; mendayakan cipta demi sebuah keberuntungan; dan sebagainya.
Tak Mau Patah Arang
Lihat saja ketika berusia 15 tahun, Eka mengayuh sepedanya melewati hutan yang rimbun dan kondisi jalan yang jelek guna mencari pemasok kembang gula dan biskuit. Begitu ketemu, bukan langgsung dapat bekerja sama. Eka harus berpikir keras karena kebanyakan penyedia barang tidak percaya dan meminta pembayaran di muka sebelum barang dibawa pulang. Eka tak patah arang, dia ikuti kemauan penyedia barang itu. Ujung-ujung, dari kerja kerasnya hanya selang 2 bulan, ia memiliki laba Rp20. Angka ini sangat luar biasa karena harga beras saat itu hanya 3-4 sen per kg. Melihat perkembangan usaha yang dijalankannya Eka pun membeli becak untuk memuat barang dagangannya.
Ketika usahanya itu berkembang, saat itulah Jepang datang. Tak pelak, usaha yang dibangunnya itu hancur lebur. Tapi sekali lagi, Eka tak mau patah arang. Dia mengayuh sepedanya kelilling kota. Bahkan, sampai ke Paotere, daerah pinggiran Makassar. Dan di tempat itulah, dia melihat truk-truk tentara Jepang yang sedang membuang tumpukan tepung, semen, dan gula. Naluri bisnis Eka memanggil, bukankah bahan yang dibuang itu bisa dimanfaatkan?
Dia kembali ke rumah dan membuat persiapan untuk membuka tenda di dekat lokasi tersebut. Dengan kata lain, dia berencana untuk menjual makanan dan minuman kepada tentara Jepang yang berada dalam lokasi itu. Tapi, besoknya, tak ada tentara Jepang yang belanja. Tak masalah bagi Eka, dia malah mendekati pimpinan di sana dan mempersilakan makan dan minum di tenda. Setelah semua laki-laki dan tahanan diizinkan untuk makan dan minum di tenda, Eka lalu minta izin untuk mengangkat semua barang yang sudah dibuang. Dia kumpulkan semua barang tersebut di rumahnya dan memilih barang mana yang masih baik untuk dijual atau dipakai.
Mengetahui Eka memiliki barang tersebut, ada seorang kontraktor yang tertarik untuk membeli. Sang kontraktor mendapat proyek membuat makam untuk orang kaya. Bukannya menyambut rezeki itu, Eka malah menolak. Dia malah memutuskan untuk menjadi kontraktor pembuat kuburan orang kaya. Dengan kata lain, keuntungan lebih berlipat dari sekadar menjual semen bukan?
Setelah berhenti menjadi seorang kontraktor, Eka beralih sebagai pedagang kopra. Dalam bisnis ini Eka nyaris bangkrut karena adanya aturan dari penjajah Jepang. Eka lalu mencari peluang usaha lain yaitu dengan berdagang gula, teng-teng, wijen, dan kembang gula. Tapi ketika usaha tersebut mulai berkembang, harga gula jatuh dan dia pun rugi besar. Eka kehabisan modal bahkan harus berutang.
Asal Punya Keinginan Berjuang
"Kesulitan apapun dalam menjalankan bisnis, asal punya keinginan untuk berjuang, pasti semua kesulitan bisa diatasi," aku Eka.
Setelah mengalami aral dan rintang tersebut, Eka memang seakan tak bisa berhenti. Dia masuki sekian banyak bisnis. Dia lihat celah guna menciptakan daya cipta. Kerajaan bisnisnya pun dilabeli dengan nama Sinarmas Group. Tercatat, kini, perusahaannya tersebar dari Sumatra sampai ke Papua.
Begitulah, dalam momen "100 tahun Eka Tjipta Widjaja" ini, sekian keberhasilan Eka ada sebuah contoh yang menarik untuk ditiru. Apalagi, bagi Eka keberhasilannya tidak lepas dari dukungan keluarga dan prinsip hidup yang ia pegang yakni jujur, menjaga kredibilitas, bertanggung jawab, baik terhadap keluarga, pekerjaan, maupun lingkungan sekitar. Hidup hemat dan tidak berfoya-foya.
"Bila kita hidup hemat, uang yang ditabung bisa digunakan untuk membantu orang lain yang membutuhkan,'" begitu katanya.
Untuk menyalurkan pikirannnya itu, pada Maret 2006, Eka mendirikan sebuah yayasan yaitu "Eka Tjipta Foundation (ETF)". Yayasan ini dibangun dengan fokus aksi pada bidang pendidikan dan lingkungan hidup, dengan sumber daya lingkungan yang terkelola baik sebagai tanggung jawab sosial yang nyata ke masyarakat sekitar.
Eka langsung menjadi ketua badan pembinanya. Hal ini penting, karena Eka sangat paham seperti apa beratnya hidup. Dia yang langsung mengalami jatuh bangun hingga bisa menjadi contoh nyata. Maka tak berlebihan ketika yayasan ini membangun program dan terlibat langsung dalam upaya menciptakan daya cipta, sejalan dengan motto yang dipilih: menanam kebaikan menuai kesejahteraan. Semua tak lain demi mewujudkan "Sinar Mas untuk Indonesia".
Dan, Eka paham betul, Indonesia adalah bangsa yang jamak. Tidak dikuasai oleh satu suku bangsa. Semua sama di mata bangsa. Setiap individu memiliki peran masing-masing tanpa harus mengusik individu lainnya; yang dibutuhkan dukungan, bukan perundungan. Contohnya dia, lahir di China, tapi berusaha sekuat tenaga untuk membangun Indonesia. Â Maka dari itu, "Sinar Mas dan Keberagaman" adalah sebuah prinsip yang wajib dipegang teguh.
"Kita harus sebisa mungkin berusaha membantu orang lain yang kurang mampu, tanpa diskriminasi. Kemanusiaan itu tidak pandang bulu," begitu katanya.
Sejalan dengan yayasan yang semakin masif, dia pun sudah tak lagi masuk ke dalam dunia bisnis, anak-anaknya yang memegang perusahaan. Dan, anak kecil yang menginjakkan kaki di Makassar ketika berusia sembilan tahun itu, pun banyak menghabiskan hari-harinya untuk melakukan kegiatan sosial juga bertemu dengan teman-teman lama. Untuk apa? Jawabnya, semua untuk Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H