Mohon tunggu...
Lubisanileda
Lubisanileda Mohon Tunggu... Editor - I'm on my way

A sky full of stars

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangun, Bangun, Bangunlah Seperti Ir. Derom Bangun

21 Juli 2022   10:39 Diperbarui: 21 Juli 2022   10:44 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Derom Bangun, Memoar Duta Besar Sawit Indonesia. (Foto: Dokumentasi Pribadi Penulis)

"Sejak kecil cita-cita saya ingin menjadi insinyur, agar bisa membangun banyak pabrik. Sejak SD hingga SMA, saya juga ingin bisa berbahasa Inggris lancar seperti berbahasa Karo," kata Ir. Derom Bangun.

"Tapi dari semua keinginan yang telah tercapai itu apa sebenarnya keinginanmu? What do you want?" tanya tokoh kelapa sawit dunia ini.

"Ternyata keinginan yang paling penting itu sederhana sekali. Saya inging disayang dan juga menyayangi oleh keluarga, juga teman, bukan sebagai apa-apa. Namun sebagai manusia," sahutnya.

Secara pribadi aku tak mengenal Ir. Derom Bangun. Hingga Februari 2020, sebulan sebelum wabah covid-19 menyapa Indonesia, sebuah kerja jurnalistik membawaku untuk mengenal lebih jauh tentang pria kelahiran 16 Juni 1940 ini. Pimpinan telah memplot hasil wawancara menjadi tulisan bergenre feature. Maka deskriptif juga detil situasi menjadi catatan penting sepanjang wawancara. "Jangan lupakan ekspresi, ingat itu. Bagaimana ekspresinya, marah, sedih, tertawa, apakah terbahak, tersenyum simpul. Pokoknya detil," begitu pesan dari pimpinan. 

Secara pengalaman jurnalistik, baru kali itulah aku mewawancarai Ir. Derom Bangun. Padahal nomor kontaknya sudah tersimpan sejak tahun 2010 di ponselku. Berselancar informasi mengenai sosok Derom Bangun memang telah kumulai sejak tugas jurnalistik itu diembankan padaku. Kata kunci kelapa sawit begitu kental, bahkan identik dengan nama tokoh satu itu. Sawit, sawit, ada juga pabrik, pabrik, kemudian ada juga Eropa, mancanegara dan informasi mengenai buku yang bertajuk 'Memoar Duta Besar Sawit Indonesia' dengan cover foto Derom Bangun dengan senyum yang sumringah. Itu belum termasuk prestasi-prestasi beliau, yang kupikir jika kutulis butuh berhalaman-halaman koran untuk memuatnya.

Sayangnya informasi tentang hal-hal yang berbau pribadi di luar ketokohan dan mendunianya nama Derom Bangun tak kutemui dalam selancar dunia maya. Padahal sejatinya itulah yang ingin diungkapkan, tentang aktivitas keseharian, tentang keluarga, hingga makanan juga olahraga yang disukai. Memang sangat pribadi, ya juga intim. Puas berselancar, langkah berikutnya adalah memohon waktu untuk bisa berjumpa dalam maksud wawancara. Aku memilih mengirim pesan ketimbang menghubunginya lewat suara. Sekian detik berlalu, tanda pesan di kolom chat masih saja centang satu. Benar adanya, aku pun tak yakin, apakah nomor kontak itu masih aktif atau malah tak lagi nomor beliau. Siapa yang tahu, sejak 2010 hingga 2020, ada jeda 10 tahun yang terabaikan. 

Aku hampir menyerah, dan sudah bersiap untuk mengabarkan kepada pimpinan bahwa aku mati langkah dan kehilangan jejak. Pasalnya seiring waktu pasca drama centang satu, aku berupaya untuk mencari tahu nomor kontak beliau. Siapa tahu rekan-rekan jurnalis mengetahuinya. Namun hasilnya nihil; zonk.  Jelang dini hari, sebuah pesan masuk ketika aku sedang mati kutu memikirkan lead tulisan untuk tugas jurnalistik yang lain. Rupanya dari Derom Bangun, sebuah balasan yang melegakan, karena bukan sekadar menyahuti pesanku, beliau juga sangat santun merangkai kata. Sungguh, aku merasa terhargai.  Dalam pesan itu, beliau meminta aku untuk mengirimkan daftar pertanyaan wawancara. Pasalnya beliau sedang tidak berada di Kota Medan, namun saat itu beliau sedang berada di Jakarta.

Buku Derom Bangun, Memoar Duta Besar Sawit Indonesia. (Foto: Dokumentasi Pribadi Penulis)
Buku Derom Bangun, Memoar Duta Besar Sawit Indonesia. (Foto: Dokumentasi Pribadi Penulis)

Meskipun sulit nantinya bagaimana menebak ekspresi dalam barisan kalimat yang menjadi jawabannya. Namun pikirku hanya satu, terpenting dapat, dan kerja jurnalistik dapat selesai sesuai target. Aku cepat-cepat menyusun daftar pertanyaan kemudian mengirimkannya ke email yang beliau sebut dalam pesan balasan itu. Setelah memastikan pesan email terkirim, aku pun tak membuang waktu untuk memberi kabar bahwa daftar pertanyaan telah sukses terkirim ke email beliau. Aku lega, dan setelah itu tinggal menunggu kabar email balasan. 

Kuakui secara pribadi, aku tidak begitu suka melakukan wawancara tanpa tatap muka, terlalu straight, dan tak bisa mengeksplor lebih jauh perihal jawaban nara sumber. Tapi persis kataku tadi, yang penting tugas jurnalistik selesai tepat waktu dan sesuai target. Meskipun berisiko kurang puas karena tidak dapat bertemu langsung, tapi kan alasannya jelas, beliau memang sedang tidak berada di Kota Medan. Tiit, tiit, tiit. Sebuah notif dari email baru saja aku dengar, dan benar saja dari Derom Bangun. Tapi bukan itu saja, notif pesan whatsApp juga berbunyi. Meski tak bersamaan, dan ternyata itu dari beliau. Dari 10 pertanyaan yang aku ajukan, Derom Bangun tak melewati satupun pertanyaan, dia menjawab keseluruhan pertanyaan. Menariknya jawaban Derom sangat komunikatif, bahkan lugas dan juga detil dan jelas. Aku jadi merasa menjadi orang yang paling beruntung, karena penjelasan yang jelas juga detil sangat membantuku untuk menulis jawaban-jawaban itu menjadi satu tulisan yang persentase ketidaksempurnaannya hanya sekitar 10 persen. Selebihnya ya perfect! Bukankah aku beruntung?  

Semangat Juang Derom Bangun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun